Pengertian Dakwah Islam
Secara harfiah dakwah diartikan ajakan, panggilan, seruan, dan
permohonan. Sehingga dakwah sering kali diartikan sebagai ajakan, panggilan,
atau seruan yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Secara terminologi,
istilah dakwah memiliki banyak definisi konseptual. Pertama, dakwah diartikan sebagai usaha yang mengarah pada upaya
perbaikan suasana kehidupan yang lebih baik dan layak sesuai dengan kehendak
dan tuntunan kebenaran.
Kedua, dakwah
diartikan sebagai usaha membuka konfrontasi keyakinan di tengah-tengah arena
kehidupan manusia yang sangat beragam, sehingga membuka kemungkinan bagi
manusia untuk menentukan pilihannya sendiri. Ketiga, dakwah diartikan sebagai ajakan kepada standar nilai-nilai
kemanusiaan dalam tingkah laku pribadi, dalam konteks hubungan antar manusia,
dan sikap perilaku antar manusia. Keempat,
dakwah diartikan sebagai proses mengajak manusia dengan cara-cara yang
bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah SWT, demi
kesejahteraan dan kebahagiaannya di dunia dan akhirat.
Kelima, dakwah
diartikan sebagai proses usaha untuk mengajak orang lain agar beriman kepada
Allah, percaya dan menaati apa yang telah diberitakan oleh Rasulullah. Keenam, dakwah diartikan sebagai usaha
mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap individu
maupun masyarakat. Ketujuh, dakwah
diartikan sebagai gerakan untuk merealisasikan undang-undang Allah (ihya’
nidham Allah) yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Kedelapan, dakwah juga
diartikan sebagai pendorong atau motivasi manusia agar melaksanakan kebaikan
dan mengikuti petunjuk serta memerintah berbuat ma’ruf dan mencegah dari
perbuatan munkar, supaya mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Kesembilan, dakwah diartikan sebagai
usaha atau aktivitas manusia baik melalui lisan, tulisan, atau lainnya yang
bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan menaati
Allah SWT.
Amrullah
Ahmad menyebutkan bahwa secara garis besar pola pendefinisian istilah
dakwah ada dua, yaitu dakwah diartikan
sebagai tablig, penyiaran, atau penerangan agama dan dakwah diartikan sebagai segala bentuk usaha yang bertujuan untuk
merealisir ajaran agama Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Dalam konteks komunikasi, dakwah juga sering dibedakan menjadi dakwah melalui lisan (komunikasi oral), dakwah melalui tulisan (komunikasi
tulis), dan dakwah bil hal, yang
terealisasi melalui tindakan nyata dalam kehidupan (komunikasi tubuh).
Pengertian Bimbingan dan
Konseling
Secara bahasa istilah bimbingan dan konseling memiliki akar yang
berbeda. Bimbingan berasal dari kata guidance
yang berasal dari kata kerja to
guide, yang berarti ‘membimbing’ atau ‘menunjukkan’. Konseling menurut asal
kata dari bahasa lainnya, consilium yang
berarti ‘dengan’ atau ‘bersama’ yang dirangkai dengan ‘menerima’ atau
‘memahami’. Namun dari segi pengertiannya, kedua istilah tersebut memiliki
berbagai ragam pengertian, yang terkadang saling tumpang tindih, bahkan
disamakan.
Menurut Prayitno dan Erman Amti, istilah bimbingan diartikan
sebagai “proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli terhadap seseorang atau beberapa individu,
baik anak-anak, remaja, maupun dewasa, agar orang yang dibimbing dapat
mengembangkan kemampuannya secara mandiri, dengan memanfaatkan kekuatan
individu dan sarana yang ada serta dapat menyelesaikan konflik diri berdasarkan
norma-norma yang berlaku. Menurut Bimo Walgito, istilah bimbingan diartikan
sebagai bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada seorang individu atau
sekelompok individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan-kesulitan di
dalam kehidupannya, supaya mereka dapat mencapai kesejahteraan hidup.
Menurut Prayitno dan Erman Amti, istilah konseling dapat diartikan
sebagai proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling
oleh seorang ahli (konselor) kepada individu yang sedang mengalami masalah
(klien), yang berujung pada teratasinya masalah yang dihadapi klien tersebut. Menurut
Dewa Ketut Sukardi, istilah konseling diartikan sebagai upaya bantuan yang
dilakukan dengan empat mata atau tatap muka antara konselor dan konseli.
Berisikan usaha yang laras, unik, human (manusiawi), yang dilakukan dalam
suasana keahlian dan didasarkan pada norma-norma yang berlaku, agar konseli
memperoleh konsep diri tentang dirinya sendiri dalam usaha untuk memperbaiki
tingkah laku pada saat ini menuju ke masa yang akan datang.
Atas dasar inilah keberadaan aktivitas bimbingan dan konseling
sangat mungkin diintegrasikan dengan aktivitas dakwah Islam, karena secara
persamaan tujuan dan manfaat bisa dikatakan ada keterkaitan. Sedangkan dalam
aplikasi dan metode yang sedikit berbeda, namun semua itu tidak lepas dari
tujuan untuk kebaikan dan membantu manusia.
Kesehatan Mental dalam Pandangan
Psikoreligius
Dalam sejarah agama, manusia berusaha selalu mencari perlindungan
dalam agama tertentu untuk mencari ketenteraman jiwa, yaitu usaha untuk
memperbaiki kesehatan mental. Kesehatan mental dapat dicapai antara lain dengan
keyakinan akan ajaran agama, keteguhan dalam mengindahkan norma-norma sosial,
hukum, moral dan lainnya, karena yang menentukan ketenangan dan kebahagiaan
hidup adalah kesehatan mental.
Orang yang sehat mentalnya tidak akan cepat merasa putus asa,
pesimis, apatis, karena dia dapat menghadapi semua rintangan atau kegagalan
dalam hidup dengan tenang dan wajar serta menerima kegagalan itu sebagai sebuah
pelajaran berharga untuk dia di kemudian hari, dia mampu tulus dan ikhlas dalam
melakukan kegiatan, serta total dalam beramal (kegiatan).
Dalam pembinaan moral, peranan agama sangat penting melalui
kebiasaan dan pengalaman hidup yang ditanamkan sejak kecil oleh orang tua
dengan jalan memberi contoh. Istilah kesehatan mental dalam al-qur’an dan hadits
banyak sekali, antara lain ; najat (keselamatan),
fawz (keberuntungan), falah (kemakmuran), dan sa’adah (kebahagiaan) bentuknya meliputi
yang berlaku di dunia ini dan kehidupan di akhirat kelak.
Agama merupakan kebutuhan dasar spiritual manusia. Dari kajian
ilmiah yang telah dilakukan oleh Dr. Howard Clinebell dalam Hawari (1999:
493-497) diperoleh inventarisasi 10 butir kebutuhan dasar spiritual manusia,
yaitu :
1. Kebutuhan
akan kepercayaan dasar (basic Trust), yang senantiasa secara teratur
terus menerus diulang guna membangkitkan kesadaran bahwa hidup ini adalah
ibadah.
2. Kebutuhan
akan makna hidup, tujuan hidup dalam membangun hubungan yang selaras serasi dan
seimbang dengan Tuhan-Nya (vertikal)
dan dengan sesama manusia (horizontal)
serta alam sekitarnya.
3. Kebutuhan
akan komitmen peribadatan dan hubungannya dalam hidup keseharian pengamalan
agama hendaknya integratif antara ritual dan pengalaman dalam kehidupan
sehari-hari.
4. Kebutuhan
akan pengisian keimanan dengan selalu teratur mengadakan hubungan dengan Tuhan
(vertikal). Hal ini dimaksudkan agar
kekuatan iman dan takwa senantiasa tidak melemah, dengan menjalankan ibadah
shalat lima waktu, sehingga dalam kehidupan (horizontal) selalu terpadu olehnya.
5. Kebutuhan
akan bebas dari rasa bersalah dan berdosa. Hal ini merupakan beban mental bagi
seseorang yang menjadi ciri-ciri jiwa yang sehat.
6. Kebutuhan
akan penerimaan diri dan harga diri (self-acceptance dan self-esteem) dapat
dilakukan bersama-sama baik terhadap Tuhan-Nya maupun terhadap sesama manusia.
7. Kebutuhan
akan rasa aman, terjamin dan keselamatan terhadap harapan masa depan. Bagi
orang beriman hidup ini ada dua tahapan, yaitu jangka pendek hidup di dunia,
dan jangka panjang hidup di akhirat.
8. Kebutuhan
akan dicapainya derajat dan martabat yang semakin tinggi sebagai pribadi yang
utuh (integrated personality). Bagi orang yang beriman akan senantiasa mendekatkan
diri pada Tuhan, sehingga diharapkan derajat dan martabatnya di mata sesama
manusia akan lebih tinggi.
9. Kebutuhan
akan terpeliharanya interaksi dengan alam dan sesama manusia, dengan demikian
orang akan hidup dalam kedamaian, aman, tenang, dan tenteram, bebas dari
pencemaran lingkungan dan kriminalitas.
10. Kebutuhan
akan kehidupan bermasyarakat yang syarat dengan nilai-nilai religiusitas.
Konseling dan Islam: Upaya
Perbandingan
Berdasarkan konsep psikospiritual atau religius yang terdapat
dalam ilmu psikologi yang berkaitan dengan aktivitas konseling, kegiatan
konseling dapat diintegrasikan ke dalam sumber ajaran Islam, baik berupa
ayat-ayat al-qur’an maupun hadist dan sunnah sebagai landasan untuk membangun Konseling Islam.
Allah mewahyukan agama ini dalam nilai kesempurnaan tertinggi yang
meliputi segi fundamental tentang duniawi dan ukhrawi guna mengantarkan manusia
kepada kebahagiaan lahir batin di dunia dan akhirat. Karena itu Islam bersifat
universal dan External serta sesuai dengan fitrah manusia. Konsekuensinya Islam
menjadi agama dakwah, yang harus disampaikan kepada seluruh manusia dan itu
menjadi tugas setiap muslim.
Dalam Islam telah dibentangkan berbagai konsep yang tegas dan
jelas tentang hakikat hidup dan kehidupan, tujuan hidup, dan siapakah manusia
itu. Manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah
di muka bumi ini serta memakmurkannya (QS. Al-an’am [6]: 165). Selain itu,
manusia diciptakan juga untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah (QS.
Adz-dzariyat [51]: 56). Seluruh konsep-konsep tersebut dapat dijadikan kerangka
acuan dalam menjelaskan hakikat manusia yang berlaku dalam konseling Islam.
Orientasi keberadaan manusia menurut Islam adalah dunia akhirat.
Islam memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki fitrah
keimanan, mempunyai potensi akal, penglihatan, pendengaran dan hati. Semua
potensi tersebut bisa dijadikan sebagai penunjuk jalan hidupnya, landasan moral
untuk bertanggung jawab atas jalan yang dipilihnya, dan selalu berpikir positif
dalam setiap gerak langkahnya untuk menggapai hari esok yang lebih baik. Islam
mengajarkan manusia untuk tidak terikat oleh masa lalu yang suram, demikian
juga tidak boleh terpaku dan silau oleh keberhasilan yang telah dicapai. Semua
yang ada, adalah ujian sekaligus amanat yang harus dipertanggungjawabkan kelak
di akhirat. Oleh karena itu manusia harus beriman dengan mengendalikan diri,
ikhtiar dan tawakal kepada Allah SWT.
Secara umum, dapat diperjelas bahwa pandangan Islam yang dapat
dijadikan kerangka acuan analisa Konseling Islam dalam merumuskan hakikiat
manusia, pribadi sehat, pribadi tidak sehat, dan tujuan konseling, seperti
berikut :
Pertama, hakikat
manusia menurut Islam adalah netral-pasif dan aktif, yang hanya dibedakan
dengan rentang waktu, faktor usia, yakni balita dan dewasa. Manusia itu
netral-pasif pada masa balita, karena pada masa itu potensi yang dimiliki oleh
individu belum berfungsi secara optimal, belum mandiri dan masih bergantung
pada orang lain (orang tua). Manusia itu netral-aktif setelah usia akil balig,
karena pada masa ini potensi yang dimiliki oleh individu sudah berfungsi secara
optimal. Secara fitrah, manusia itu beragama tauhid, sebagai penerima
kebenaran, serta terikat oleh perjanjian untuk mengakui Allah sebagai Tuhannya.
Manusia diberi kebebasan dalam hidupnya dan dibekali dengan potensi akal,
pendengaran, penglihatan dan hati serta petunjuk Ilahiyah untuk menentukan jalan mana yang dipilih, apakah jalan ketakwaan
atau kefasikan.
Kedua, pribadi
sehat menurut Islam diukur berdasarkan berfungsinya iman sebagai penentu
kognitif, afektif dan psikomotorik manusia. Dalam hal ini berarti berpikir,
bertindak dan berbuat sesuai dengan fitrahnya yang mengarah pada kebahagiaan
hidup di dunia dan di akhirat merupakan batasan kriteria kesehatan pribadinya.
Pribadi yang sehat akan mengarah kepada mental yang sehat meliputi; mencintai
Allah, bertakwa, mengakui kesalahan, ber-amar
ma’ruf nahi munkar, memelihara hubungan dengan Allah dan dengan sesama
manusia, berpandangan hidup lurus, saling menolong dalam kebaikan dan melarang
berbuat dosa, batinnya kuat, berlaku sabar dan adil, bernasihat tentang
kebenaran, selalu mengingat Allah, menjaga keseimbangan dunia akhirat, selalu
berpikir positif, dan banyak lagi.
Ketiga, pribadi
tidak sehat menurut Islam adalah tidak berfungsinya iman dengan penuh sebagai
penentu atau pengendali kognitif, afektif dan psikomotorik manusia. Pribadi
tidak sehat ini dalam al-qur’an termasuk golongan hamba yang tidak mendapat
petunjuk dan tidak dicintai Allah. Mereka tersesat karena tidak mau menggunakan
akalnya. Hal ini berarti manusia tidak memanfaatkan potensi yang diberikan
Allah, melupakan Allah, dhalim, kafir, musyrik, munafik, selalu mengikuti hawa
nafsu, dan perbuatan yang menimbulkan kerugian serta kerusakan.
Keempat, tujuan
Konseling menurut Islam adalah pemberdayaan iman, atau lebih tepatnya
mengembalikan manusia sesuai dengan fitrahnya yaitu beragama tauhid dan
penerima kebenaran, terikat perjanjian dengan Allah dan mengakui bahwa Allah
itu Tuhannya, dibekali dengan potensi akal, pendengaran, penglihatan, hati, dan
petunjuk Ilahiyah, sebagai khalifah atau pemegang amanat untuk tugas keagamaan,
dan sebagai abdullah (pengabdi),
bertanggung jawab atas perbuatan- perbuatannya, serta diberi kebebasan
menentukan jalan hidupnya sesuai dengan fitrahnya.
Berdasarkan kerangka acuan di atas, maka hakikat fungsi dan proses
konseling menurut Islam adalah memberikan layanan bantuan kepada seseorang yang
mengalami masalah melalui cara yang baik untuk menumbuhkan kesadaran akan
perbuatan dosa yang dilakukan dan memohon ampunan kepada Allah dan berjanji
tidak akan mengulangi lagi, menumbuhkembangkan kesadaran untuk dekat kepada
Allah dengan penuh kesadaran dan kesungguhan, dengan dzik-rullah, beramal
shaleh, ikhlas dan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi serta
meninggalkan larangan-Nya (Tajri, dalam Dahlan, 2005:261).
Dengan demikian dapat diperjelas bahwa Konseling Islam bersifat holisme, yaitu mencakup seluruh dimensi
kemanusiaan yang tercantum dalam konseling secara umum, yaitu memfungsikan
kelima unsur dalam diri manusia secara proporsional dan seimbang. Kelima unsur
tersebut disebut pentagon, yang
meliputi; behavior (tingkah laku), kognitif (pikiran), perasaan (pemelihara stabilitas), nafsu (pendorong), iman/kepercayaan
(penentu). Penerapan konseling berbasis religius, khusus Islam seperti ini
sesuai dengan perkembangan kecenderungan manusia dewasa ini yang berusaha
menjadikan kembali nilai-nilai agama untuk menata kehidupan mereka.
Untuk menjadi seorang Konselor muslim menurut adz-Dzaky (2001:
295) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Aspek
spiritual, yaitu memiliki keimanan, kemakrifatan dan ketauhidan yang berkualitas.
2. Aspek
moralitas, yaitu aspek yang memperhatikan nilai-nilai sopan santun, adab, etika
dan tata krama kebutuhan, meliputi : niat,
i’tikad (keyakinan), shiddiq (kejujuran
dan kebenaran), amanah, tablig, sabar (tabah),
ikhtiar dan tawakal, mendoakan, memelihara pandangan mata, menggunakan
kata-kata yang baik dan terpuji.
3. Aspek
keilmuan dan skill, yaitu konselor harus memiliki ilmu pengetahuan
yang cukup luas tentang manusia dengan berbagai persoalannya; serta potensi
yang siap pakai yang diperoleh melalui latihan-latihan yang disiplin,
berkelanjutan, konsisten dengan metode tertentu di bawah bimbingan dan
pengawasan para ahli yang senior. Sedangkan keterampilan (skill) antara lain
berupa : empati, tenang, siap berdialog
dengan klien, menumbuhkan keberanian klien untuk bicara, dan melaksanakan
kegiatan konseling dengan terarah.
Beberapa keterampilan yang perlu dilatih berupa : takhalli (pembersihan diri), tahalli (pengisian diri), tajalli (kelahiran baru), dan
pemberdayaan menuju insan kamil. Untuk
bisa melaksanakan tugas dalam konseling, seorang konselor harus memulai dari
diri sendiri, yaitu dengan memahami pribadinya, membekali diri dengan
pengetahuan dan pemahaman tentang konseling umum dan khasanah ke-Islam-an pada
khususnya, kemapanan dalam konseling dan keagamaan.