SAATNYA DAN SELAYAKNYA ANDA MENGETAHUI

Jumat, 16 November 2012

Integrasi Bimbingan Konseling dalam Dakwah Islam


Pengertian Dakwah Islam
Secara harfiah dakwah diartikan ajakan, panggilan, seruan, dan permohonan. Sehingga dakwah sering kali diartikan sebagai ajakan, panggilan, atau seruan yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Secara terminologi, istilah dakwah memiliki banyak definisi konseptual. Pertama, dakwah diartikan sebagai usaha yang mengarah pada upaya perbaikan suasana kehidupan yang lebih baik dan layak sesuai dengan kehendak dan tuntunan kebenaran.

Kedua, dakwah diartikan sebagai usaha membuka konfrontasi keyakinan di tengah-tengah arena kehidupan manusia yang sangat beragam, sehingga membuka kemungkinan bagi manusia untuk menentukan pilihannya sendiri. Ketiga, dakwah diartikan sebagai ajakan kepada standar nilai-nilai kemanusiaan dalam tingkah laku pribadi, dalam konteks hubungan antar manusia, dan sikap perilaku antar manusia. Keempat, dakwah diartikan sebagai proses mengajak manusia dengan cara-cara yang bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah SWT, demi kesejahteraan dan kebahagiaannya di dunia dan akhirat.

Kelima, dakwah diartikan sebagai proses usaha untuk mengajak orang lain agar beriman kepada Allah, percaya dan menaati apa yang telah diberitakan oleh Rasulullah. Keenam, dakwah diartikan sebagai usaha mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap individu maupun masyarakat. Ketujuh, dakwah diartikan sebagai gerakan untuk merealisasikan undang-undang Allah (ihya’ nidham Allah) yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Kedelapan, dakwah juga diartikan sebagai pendorong atau motivasi manusia agar melaksanakan kebaikan dan mengikuti petunjuk serta memerintah berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan munkar, supaya mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Kesembilan, dakwah diartikan sebagai usaha atau aktivitas manusia baik melalui lisan, tulisan, atau lainnya yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan menaati Allah SWT.

Amrullah Ahmad menyebutkan bahwa secara garis besar pola pendefinisian istilah dakwah ada dua, yaitu dakwah diartikan sebagai tablig, penyiaran, atau penerangan agama dan dakwah diartikan sebagai segala bentuk usaha yang bertujuan untuk merealisir ajaran agama Islam dalam seluruh aspek kehidupan.

Dalam konteks komunikasi, dakwah juga sering dibedakan menjadi dakwah melalui lisan (komunikasi oral), dakwah melalui tulisan (komunikasi tulis), dan dakwah bil hal, yang terealisasi melalui tindakan nyata dalam kehidupan (komunikasi tubuh).

Pengertian Bimbingan dan Konseling
Secara bahasa istilah bimbingan dan konseling memiliki akar yang berbeda. Bimbingan berasal dari kata guidance yang berasal dari kata kerja to guide, yang berarti ‘membimbing’ atau ‘menunjukkan’. Konseling menurut asal kata dari bahasa lainnya, consilium yang berarti ‘dengan’ atau ‘bersama’ yang dirangkai dengan ‘menerima’ atau ‘memahami’. Namun dari segi pengertiannya, kedua istilah tersebut memiliki berbagai ragam pengertian, yang terkadang saling tumpang tindih, bahkan disamakan.

Menurut Prayitno dan Erman Amti, istilah bimbingan diartikan sebagai “proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli terhadap seseorang atau beberapa individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa, agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuannya secara mandiri, dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada serta dapat menyelesaikan konflik diri berdasarkan norma-norma yang berlaku. Menurut Bimo Walgito, istilah bimbingan diartikan sebagai bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada seorang individu atau sekelompok individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam kehidupannya, supaya mereka dapat mencapai kesejahteraan hidup.

Menurut Prayitno dan Erman Amti, istilah konseling dapat diartikan sebagai proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (konselor) kepada individu yang sedang mengalami masalah (klien), yang berujung pada teratasinya masalah yang dihadapi klien tersebut. Menurut Dewa Ketut Sukardi, istilah konseling diartikan sebagai upaya bantuan yang dilakukan dengan empat mata atau tatap muka antara konselor dan konseli. Berisikan usaha yang laras, unik, human (manusiawi), yang dilakukan dalam suasana keahlian dan didasarkan pada norma-norma yang berlaku, agar konseli memperoleh konsep diri tentang dirinya sendiri dalam usaha untuk memperbaiki tingkah laku pada saat ini menuju ke masa yang akan datang.

Atas dasar inilah keberadaan aktivitas bimbingan dan konseling sangat mungkin diintegrasikan dengan aktivitas dakwah Islam, karena secara persamaan tujuan dan manfaat bisa dikatakan ada keterkaitan. Sedangkan dalam aplikasi dan metode yang sedikit berbeda, namun semua itu tidak lepas dari tujuan untuk kebaikan dan membantu manusia.

Kesehatan Mental dalam Pandangan Psikoreligius
Dalam sejarah agama, manusia berusaha selalu mencari perlindungan dalam agama tertentu untuk mencari ketenteraman jiwa, yaitu usaha untuk memperbaiki kesehatan mental. Kesehatan mental dapat dicapai antara lain dengan keyakinan akan ajaran agama, keteguhan dalam mengindahkan norma-norma sosial, hukum, moral dan lainnya, karena yang menentukan ketenangan dan kebahagiaan hidup adalah kesehatan mental.

Orang yang sehat mentalnya tidak akan cepat merasa putus asa, pesimis, apatis, karena dia dapat menghadapi semua rintangan atau kegagalan dalam hidup dengan tenang dan wajar serta menerima kegagalan itu sebagai sebuah pelajaran berharga untuk dia di kemudian hari, dia mampu tulus dan ikhlas dalam melakukan kegiatan, serta total dalam beramal (kegiatan).

Dalam pembinaan moral, peranan agama sangat penting melalui kebiasaan dan pengalaman hidup yang ditanamkan sejak kecil oleh orang tua dengan jalan memberi contoh. Istilah kesehatan mental dalam al-qur’an dan hadits banyak sekali, antara lain ; najat (keselamatan), fawz (keberuntungan), falah (kemakmuran), dan sa’adah (kebahagiaan) bentuknya meliputi yang berlaku di dunia ini dan kehidupan di akhirat kelak.

Agama merupakan kebutuhan dasar spiritual manusia. Dari kajian ilmiah yang telah dilakukan oleh Dr. Howard Clinebell dalam Hawari (1999: 493-497) diperoleh inventarisasi 10 butir kebutuhan dasar spiritual manusia, yaitu :
1.   Kebutuhan akan kepercayaan dasar (basic Trust), yang senantiasa secara teratur terus menerus diulang guna membangkitkan kesadaran bahwa hidup ini adalah ibadah.
2.  Kebutuhan akan makna hidup, tujuan hidup dalam membangun hubungan yang selaras serasi dan seimbang dengan Tuhan-Nya (vertikal) dan dengan sesama manusia (horizontal) serta alam sekitarnya.
3.   Kebutuhan akan komitmen peribadatan dan hubungannya dalam hidup keseharian pengamalan agama hendaknya integratif antara ritual dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.
4.   Kebutuhan akan pengisian keimanan dengan selalu teratur mengadakan hubungan dengan Tuhan (vertikal). Hal ini dimaksudkan agar kekuatan iman dan takwa senantiasa tidak melemah, dengan menjalankan ibadah shalat lima waktu, sehingga dalam kehidupan (horizontal) selalu terpadu olehnya.
5.  Kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan berdosa. Hal ini merupakan beban mental bagi seseorang yang menjadi ciri-ciri jiwa yang sehat.
6.   Kebutuhan akan penerimaan diri dan harga diri (self-acceptance dan self-esteem) dapat dilakukan bersama-sama baik terhadap Tuhan-Nya maupun terhadap sesama manusia.
7.  Kebutuhan akan rasa aman, terjamin dan keselamatan terhadap harapan masa depan. Bagi orang beriman hidup ini ada dua tahapan, yaitu jangka pendek hidup di dunia, dan jangka panjang hidup di akhirat.
8.   Kebutuhan akan dicapainya derajat dan martabat yang semakin tinggi sebagai pribadi yang utuh (integrated personality). Bagi orang yang beriman akan senantiasa mendekatkan diri pada Tuhan, sehingga diharapkan derajat dan martabatnya di mata sesama manusia akan lebih tinggi.
9.      Kebutuhan akan terpeliharanya interaksi dengan alam dan sesama manusia, dengan demikian orang akan hidup dalam kedamaian, aman, tenang, dan tenteram, bebas dari pencemaran lingkungan dan kriminalitas.
10. Kebutuhan akan kehidupan bermasyarakat yang syarat dengan nilai-nilai religiusitas.

Konseling dan Islam: Upaya Perbandingan
Berdasarkan konsep psikospiritual atau religius yang terdapat dalam ilmu psikologi yang berkaitan dengan aktivitas konseling, kegiatan konseling dapat diintegrasikan ke dalam sumber ajaran Islam, baik berupa ayat-ayat al-qur’an maupun hadist dan sunnah sebagai landasan untuk membangun Konseling Islam.

Allah mewahyukan agama ini dalam nilai kesempurnaan tertinggi yang meliputi segi fundamental tentang duniawi dan ukhrawi guna mengantarkan manusia kepada kebahagiaan lahir batin di dunia dan akhirat. Karena itu Islam bersifat universal dan External serta sesuai dengan fitrah manusia. Konsekuensinya Islam menjadi agama dakwah, yang harus disampaikan kepada seluruh manusia dan itu menjadi tugas setiap muslim.

Dalam Islam telah dibentangkan berbagai konsep yang tegas dan jelas tentang hakikat hidup dan kehidupan, tujuan hidup, dan siapakah manusia itu. Manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi ini serta memakmurkannya (QS. Al-an’am [6]: 165). Selain itu, manusia diciptakan juga untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah (QS. Adz-dzariyat [51]: 56). Seluruh konsep-konsep tersebut dapat dijadikan kerangka acuan dalam menjelaskan hakikat manusia yang berlaku dalam konseling Islam. Orientasi keberadaan manusia menurut Islam adalah dunia akhirat.

Islam memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki fitrah keimanan, mempunyai potensi akal, penglihatan, pendengaran dan hati. Semua potensi tersebut bisa dijadikan sebagai penunjuk jalan hidupnya, landasan moral untuk bertanggung jawab atas jalan yang dipilihnya, dan selalu berpikir positif dalam setiap gerak langkahnya untuk menggapai hari esok yang lebih baik. Islam mengajarkan manusia untuk tidak terikat oleh masa lalu yang suram, demikian juga tidak boleh terpaku dan silau oleh keberhasilan yang telah dicapai. Semua yang ada, adalah ujian sekaligus amanat yang harus dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Oleh karena itu manusia harus beriman dengan mengendalikan diri, ikhtiar dan tawakal kepada Allah SWT.

Secara umum, dapat diperjelas bahwa pandangan Islam yang dapat dijadikan kerangka acuan analisa Konseling Islam dalam merumuskan hakikiat manusia, pribadi sehat, pribadi tidak sehat, dan tujuan konseling, seperti berikut :

Pertama, hakikat manusia menurut Islam adalah netral-pasif dan aktif, yang hanya dibedakan dengan rentang waktu, faktor usia, yakni balita dan dewasa. Manusia itu netral-pasif pada masa balita, karena pada masa itu potensi yang dimiliki oleh individu belum berfungsi secara optimal, belum mandiri dan masih bergantung pada orang lain (orang tua). Manusia itu netral-aktif setelah usia akil balig, karena pada masa ini potensi yang dimiliki oleh individu sudah berfungsi secara optimal. Secara fitrah, manusia itu beragama tauhid, sebagai penerima kebenaran, serta terikat oleh perjanjian untuk mengakui Allah sebagai Tuhannya. Manusia diberi kebebasan dalam hidupnya dan dibekali dengan potensi akal, pendengaran, penglihatan dan hati serta petunjuk Ilahiyah untuk menentukan jalan mana yang dipilih, apakah jalan ketakwaan atau kefasikan.

Kedua, pribadi sehat menurut Islam diukur berdasarkan berfungsinya iman sebagai penentu kognitif, afektif dan psikomotorik manusia. Dalam hal ini berarti berpikir, bertindak dan berbuat sesuai dengan fitrahnya yang mengarah pada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat merupakan batasan kriteria kesehatan pribadinya. Pribadi yang sehat akan mengarah kepada mental yang sehat meliputi; mencintai Allah, bertakwa, mengakui kesalahan, ber-­amar ma’ruf nahi munkar, memelihara hubungan dengan Allah dan dengan sesama manusia, berpandangan hidup lurus, saling menolong dalam kebaikan dan melarang berbuat dosa, batinnya kuat, berlaku sabar dan adil, bernasihat tentang kebenaran, selalu mengingat Allah, menjaga keseimbangan dunia akhirat, selalu berpikir positif, dan banyak lagi.

Ketiga, pribadi tidak sehat menurut Islam adalah tidak berfungsinya iman dengan penuh sebagai penentu atau pengendali kognitif, afektif dan psikomotorik manusia. Pribadi tidak sehat ini dalam al-qur’an termasuk golongan hamba yang tidak mendapat petunjuk dan tidak dicintai Allah. Mereka tersesat karena tidak mau menggunakan akalnya. Hal ini berarti manusia tidak memanfaatkan potensi yang diberikan Allah, melupakan Allah, dhalim, kafir, musyrik, munafik, selalu mengikuti hawa nafsu, dan perbuatan yang menimbulkan kerugian serta kerusakan.

Keempat, tujuan Konseling menurut Islam adalah pemberdayaan iman, atau lebih tepatnya mengembalikan manusia sesuai dengan fitrahnya yaitu beragama tauhid dan penerima kebenaran, terikat perjanjian dengan Allah dan mengakui bahwa Allah itu Tuhannya, dibekali dengan potensi akal, pendengaran, penglihatan, hati, dan petunjuk Ilahiyah, sebagai khalifah atau pemegang amanat untuk tugas keagamaan, dan sebagai abdullah (pengabdi), bertanggung jawab atas perbuatan- perbuatannya, serta diberi kebebasan menentukan jalan hidupnya sesuai dengan fitrahnya.

Berdasarkan kerangka acuan di atas, maka hakikat fungsi dan proses konseling menurut Islam adalah memberikan layanan bantuan kepada seseorang yang mengalami masalah melalui cara yang baik untuk menumbuhkan kesadaran akan perbuatan dosa yang dilakukan dan memohon ampunan kepada Allah dan berjanji tidak akan mengulangi lagi, menumbuhkembangkan kesadaran untuk dekat kepada Allah dengan penuh kesadaran dan kesungguhan, dengan dzik-rullah, beramal shaleh, ikhlas dan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi serta meninggalkan larangan-Nya (Tajri, dalam Dahlan, 2005:261).

Dengan demikian dapat diperjelas bahwa Konseling Islam bersifat holisme, yaitu mencakup seluruh dimensi kemanusiaan yang tercantum dalam konseling secara umum, yaitu memfungsikan kelima unsur dalam diri manusia secara proporsional dan seimbang. Kelima unsur tersebut disebut pentagon, yang meliputi; behavior (tingkah laku), kognitif (pikiran), perasaan (pemelihara stabilitas), nafsu (pendorong), iman/kepercayaan (penentu). Penerapan konseling berbasis religius, khusus Islam seperti ini sesuai dengan perkembangan kecenderungan manusia dewasa ini yang berusaha menjadikan kembali nilai-nilai agama untuk menata kehidupan mereka.

Untuk menjadi seorang Konselor muslim menurut adz-Dzaky (2001: 295) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Aspek spiritual, yaitu memiliki keimanan, kemakrifatan dan ketauhidan yang berkualitas.
2.   Aspek moralitas, yaitu aspek yang memperhatikan nilai-nilai sopan santun, adab, etika dan tata krama kebutuhan, meliputi : niat, i’tikad (keyakinan), shiddiq (kejujuran dan kebenaran), amanah, tablig, sabar (tabah), ikhtiar dan tawakal, mendoakan, memelihara pandangan mata, menggunakan kata-kata yang baik dan terpuji.
3.   Aspek keilmuan dan skill,  yaitu konselor harus memiliki ilmu pengetahuan yang cukup luas tentang manusia dengan berbagai persoalannya; serta potensi yang siap pakai yang diperoleh melalui latihan-latihan yang disiplin, berkelanjutan, konsisten dengan metode tertentu di bawah bimbingan dan pengawasan para ahli yang senior. Sedangkan keterampilan (skill) antara lain berupa : empati, tenang, siap berdialog dengan klien, menumbuhkan keberanian klien untuk bicara, dan melaksanakan kegiatan konseling dengan terarah.

Beberapa keterampilan yang perlu dilatih berupa : ­takhalli (pembersihan diri), tahalli (pengisian diri), tajalli (kelahiran baru), dan pemberdayaan menuju insan kamil. Untuk bisa melaksanakan tugas dalam konseling, seorang konselor harus memulai dari diri sendiri, yaitu dengan memahami pribadinya, membekali diri dengan pengetahuan dan pemahaman tentang konseling umum dan khasanah ke-Islam-an pada khususnya, kemapanan dalam konseling dan keagamaan.
Baca SelengkapnyaIntegrasi Bimbingan Konseling dalam Dakwah Islam

Kamis, 15 November 2012

Metode Evaluasi Perkembangan Peserta Didik


Psikologi Pendidikan Dan Optimalisasi Perkembangan Peserta Didik
1.      Metode Psikologi Pendidikan
Psikologi pendidikan esensinya merupakan aplikasi teori dan metode psikologi ke dalam dunia pendidikan atau pembelajaran. Metode psikologi pendidikan adalah cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan dan pembelajaran. Aplikasi metode ini didasari atas pertimbangan, esensi, hakikat, dan prinsip-prinsip tentang perilaku peserta didik dalam situasi pendidikan dan pembelajaran. Aplikasi metode ini diperuntukkan bagi keperluan pemahaman kondisi awal, pengumpulan data, analisis data, refleksi, perumusan simpulan, dan rekomendasi untuk solusi. Beberapa metode yang umum dipakai dalam psikologi pendidikan, sebagai berikut.

Metode Wawancara
Metode wawancara biasanya dilakukan kepada peserta didik secara individual atau dalam kelompok-kelompok kecil. Wawancara kepada peserta didik yang memiliki masalah spesifik harus dilakukan secara individual. Wawancara ada dua jenis, yaitu wawancara relatif berstruktur dan wawancara bebas. Wawancara relatif berstruktur adalah wawancara yang dilakukan oleh guru kepada peserta didik dengan mengajukan sejumlah pertanyaan atau pernyataan disertai dengan alternatif jawabannya, namun sangat terbuka bagi perluasan jawaban. Wawancara tidak berstruktur identik dengan wawancara bebas dan paling umum dipakai ketika psikolog pendidikan atau guru menemukan permasalahan atau aspirasi peserta didik secara tiba-tiba. Di sini, pewawancara hanya mengajukan sejumlah pertanyaan atau pernyataan-pernyataan yang mengundang jawaban atau komentar peserta didik secara bebas.
Secara umum langkah-langkah wawancara disajikan seperti berikut ini.
1)   Pembukaan, di mana psikolog pendidikan atau guru menciptakan suasana yang kondusif, memberi penjelasan tentang fokus dan tujuan wawancara, serta waktu yang akan dipakai, dan sebagainya.
2)   Pelaksanaan, di mana psikolog pendidikan atau guru memasuki inti wawancara, sifat kondusif tetap diperlakukan dan jaga suasana informal.
3)   Penutup, berupa pengakhiran dari wawancara, ucapan terima kasih, kemungkinan wawancara lebih lanjut, tindak lanjut yang akan dilakukan, dan sebagainya.

Metode Introspeksi
Introspeksi adalah metode tertua dari semua metode psikologi pendidikan. Introspeksi berarti melihat secara mendalam melalui pengamatan diri sendiri atau pribadi. Metode ini dipakai untuk memahami kesehatan mental dan keadaan pikiran sendiri. Metode ini dipakai untuk mengumpulkan data tentang pengalaman sadar subjek.

Metode Observasi
Pengamatan secara harfiah berarti mencari di luar diri, metode ini yang sangat penting untuk mengumpulkan data dalam semua jenis penelitian, termasuk dalam psikologi pendidikan. Pengamatan dilakukan secara langsung atau tidak langsung, terjadwal atau tidak terjadwal, alami atau buatan, atau peserta dan non-peserta. Metode observasi dilakukan dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap tingkah laku peserta didik dalam situasi yang wajar. Untuk terlaksananya observasi yang baik perlu menyusun pedoman atau garis-garis besar fokus observasi. Pedoman observasi dapat juga dalam bentuk daftar cek (check list) atau daftar isian. Metode ini dapat dilakukan secara individual atau dengan orang lain, sesuai dengan fokus objek observasi tersebut.

Metode Tes
Untuk mengetahui minat, bakat, potensi, tingkat intelegensi, dan kecenderungan-kecenderungan lainnya dari peserta didik, sering kali konselor sekolah atau guru melakukan tes kepada peserta didiknya. Ada beberapa macam tes, misalnya, tes intelegensi, tes sikap, tes kecepatan reaksi, dan tes hasil belajar, dll. Hasil tes ini di analisis sedemikian rupa untuk “ memosisikan ” peserta didik sesuai dengan tujuan tes tersebut.

Metode Kuesioner
Angket atau kuesioner adalah seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis dalam lembaran kertas atau sejenisnya dan disampaikan oleh konselor atau guru kepada peserta didik untuk diisi tanpa intervensi pihak lain. Kuesioner dapat bersifat terbuka atau tertutup. Kuesioner terbuka adalah kuesioner yang berisi sejumlah pertanyaan yang jawabannya ditentukan oleh peserta didik tanpa perlu “ dipandu jawabannya “ oleh konselor atau guru. Konselor tidak menentukan alternatif jawaban untuk setiap pertanyaan yang diajukan. Sebuah kuesioner dapat memenuhi syarat jika dirumuskan secara singkat dan dapat dicerna isinya, mempunyai urutan yang logis, jawaban mengacu pada fokus, mengundang jawaban bebas dari subjek, hanya untuk tujuan menjaring data bagi kepentingan pendidikan dan pembelajaran, jawaban yang ada memungkinkan ditafsirkan secara cepat, dan jumlah sesuai dengan kebutuhan. Jawaban-jawaban atas kuesioner itu kemudian dianalisis dan disimpulkan.

Studi Kasus
Studi kasus merupakan kajian atau penelitian mendalam tentang subjek. Studi kasus juga bermakna analisis mendalam tentang seseorang, kelompok, atau fenomena. Berbagai teknik yang digunakan dalam kerangka studi kasus antara lain adalah wawancara pribadi, tes psikometri, pengamatan langsung, dan catatan arsip. Studi kasus yang paling sering digunakan dalam psikologi klinis penelitian untuk menggambarkan peristiwa langka dan kondisi mengenai subjek. Studi kasus semacam ini khusus yang digunakan dalam psikologi.

Metode Lainnya
Beberapa metode lainnya yang dapat dipakai oleh konselor atau guru adalah eksperimen (baik semu maupun sungguhkan), metode diferensial, metode klinis, dan lain-lainnya.
Metode eksperimen telah dikembangkan dalam psikologi dengan upaya terus menerus oleh para psikolog untuk membuat penelitian objektif dan ilmiah tentang perilaku manusia. Metode eksperimen merupakan pengamatan yang paling tepat, terencana, dan sistematis. Metode percobaan menggunakan prosedur sistematis yang disebut desain eksperimental. Desain eksperimental memberikan garis panduan penting bagi peneliti untuk melaksanakan penelitiannya secara sistematis.
Metode klinis terutama digunakan untuk mengumpulkan informasi rinci tentang masalah perilaku kasus tidak dapat menyesuaikan diri atau menyimpang. Tujuan dari metode ini adalah studi atas kasus individu atau kelompok untuk mendeteksi dan mendiagnosa masalah-masalah khusus mereka dan menyarankan langkah-langkah terapi untuk merehabilitasi mereka di lingkungan mereka.
Metode diferensial digunakan untuk meneliti perbedaan-perbedaan individual yang terdapat di antara peserta didik. Menggunakan berbagai macam teknik pengukuran serta menggunakan statistik untuk menganalisis data sangat lazim dalam metode-metode psikologi.

2.      Kontribusi Psikologi Pendidikan
Ilmu psikologi telah dampak yang mendalam pada pendidikan melalui penerapan pengujian. Psikologi pendidikan akan terus memberikan kontribusi bagi pendidikan, karena ilmu ini mempelajari lebih lanjut tentang otak dan bagaimana belajar terjadi, perkembangan intelek, penaruh, kepribadian, karakter, dan motivasi, cara menilai pembelajaran, dan penciptaan multifaset lingkungan belajar. Pada sisi lain, isi kurikulum sangat penting bagi peserta didik untuk mengubah perilaku dan meningkatkan keterampilan yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Konsep keterampilan fungsional tidak terbatas pada bidang membantu diri sendiri atau mobilitas masyarakat. Keterampilan itu juga mencakup apa yang dibutuhkan untuk mencari penghidupan dan kehidupan peserta didik secara independen, menanggapi perubahan lingkungan, sukses dalam pekerjaan, berfungsi secara memadai sebagai manusia dewasa dan orang tua, serta mencapai kehidupan yang memuaskan dan produktif.
Psikologi pendidikan membantu para guru bagi pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dengan tujuan-tujuan berikut ini.
1)   Untuk memahami karakteristik perkembangan peserta didik. Peserta didik berkembang melalui tahap-tahap perkembangan yang berbeda dalam kehidupan mereka sejak bayi, kanak-kanak, sampai remaja dan dewasa. Tahapan-tahapan perkembangan ini memiliki karakteristik dan tuntunan tersendiri bagi peserta didik.
2)   Untuk memahami sifat kelas atau ruang belajar. Dengan bantuan psikologi pendidikan guru memahami peserta didik serta kebutuhan dan masalah mereka. Pemahaman ini akan membantu guru dalam proses pembelajaran pada umumnya dan aktivitas di ruang kelas pada khususnya.
3)   Untuk memahami perbedaan individual. Guru dengan pengetahuan psikologi pendidikan dapat memahami perbedaan individu hingga menyesuaikan dengan kegiatan pembelajaran dan kebutuhan serta persyaratan kelas tersebut.
4)   Untuk memahami metode pengajaran efektif. Kurangnya metode pengajaran yang tepat kadang-kadang menyebabkan kegagalan komunikasi guru dengan peserta didik di kelas. Psikologi pendidikan memberi guru pengetahuan tentang metode pengajaran yang tepat. Psikologi pendidikan membantu guru dalam mengembangkan strategi baru pengajaran.
5)   Pengetahuan tentang kesehatan mental. Pengetahuan mental peserta didik dan guru sangat penting untuk kegiatan belajar dan mengajar efisien. Dengan bantuan psikologi pendidikan, guru dapat memahami berbagai faktor penentu kesehatan mental dan ketidakmampuan peserta didik menyesuaikan diri.
6)   Konstruksi kurikulum. Prinsip-prinsip psikologis juga digunakan dalam merumuskan kurikulum untuk tahapan yang berbeda. Pemberlakuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut guru harus banyak memahami prinsip-prinsip psikologis dalam “menyusun kurikulum” dan implementasinya dalam pembelajaran.
7)   Pengukuran hasil atau dampak pembelajaran. Pemahaman mengenai psikologi pendidikan dan masalah-masalah psikologis membantu guru untuk mengevaluasi hasil dan dampak pembelajaran peserta didik. Juga, membantu guru untuk mengevaluasi kinerja sendiri.
8)   Pedoman layanan pendidikan anak-anak luar biasa. Dengan bantuan psikologi pendidikan guru akan dapat memberikan layanan khusus bagi anak-anak “luar biasa”, baik dalam makna kelebihan maupun kekurangannya dibandingkan peserta didik lainnya.
Baca SelengkapnyaMetode Evaluasi Perkembangan Peserta Didik

Metode Penguatan dan Pengubahan Tingkah Laku Peserta Didik


MENGATASI PERILAKU PESERTA DIDIK YANG MENYIMPANG

Prinsip dasar dari teori belajar perilaku menunjukkan bahwa perilaku peserta didik yang bermasalah (menyimpang) di dalam kelas perlu diatasi melalui penggunaan berbagai penguatan (reinforcer). Perilaku menyimpang di sini berarti perilaku yang di luar moral dan etika peserta didik dalam proses belajar di kelas. Dalam hal ini kita harus dapat menerapkan bentuk penguatan yang sesuai dengan jenis perilaku menyimpang dari siswa itu sendiri. Bentuk penguatan yang umum terjadi di dalam kelas adalah berupa perhatian, yang berasal dari pihak guru dan atau sesama peserta didik (peer group).
Banyak macam-macam penguatan sekaligus persoalan yang kalau tidak diperhatikan atau digunakan dengan baik dapat mempengaruhi dan menyebabkan peserta didik berperilaku menyimpang di dalam kelas. Pertama adalah keinginan peserta didik untuk memperoleh perhatian dari guru (teacher's attention), kedua ialah untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan dari rekannya sesama peserta didik (peers' attention) , sedangkan yang ketiga merupakan upaya menghindar dan mencegah dari situasi kelas yang membosankan, monoton, kelelahan, atau jenis situasi lainnya yang kurang menyenangkan (release from unpleasant activities).
1.       Perhatian guru (teacher's attention)
·         Terkadang peserta didik berperilaku nyentrik atau menyimpang oleh karena ia ingin mendapat perhatian dari gurunya, jadi seorang pendidik memandang perilaku peserta didik yang aneh-aneh tersebut sebagai tindakan yang normal dan wajar.
·     Berikan perhatian kepada peserta didik yang mengerjakan tugas atau berperilaku baik dengan cara memberikan hadiah atau pujian yang tulus, sedangkan bila berperilaku sebaliknya abaikan atau pura-pura tidak memperhatikan peserta didik yang melakukan perbuatan tersebut.
·     Bila dengan cara mengabaikan peserta didik masih belum (kurang) berhasil, maka lakukan "time-out" atau “Punishment”, yaitu dengan ganjaran atau hukuman yang sifatnya edukatif dan menimbulkan efek jera seperti ; memberikan sanksi menulis, merangkum, atau sanksi-sanksi lain yang memiliki dasar untuk mendidik.

2.       Perhatian siswa (peers' attention)
·         Dorongan, dukungan, dan motivasi dari rekan-rekannya dapat membuat peserta didik berperilaku menyimpang, perilaku tersebut bisa muncul dikarenakan fantasi, impian, atau imajinasi yang tidak logis dari pemikiran peserta didik, perbuatan tersebut janganlah diabaikan dan dibiarkan karena akan dapat mempengaruhi pola pikir peserta didik lainnya.
·         Setidaknya ada dua cara dalam menghadapi peserta didik yang berperilaku aneh-aneh karena dukungan dari rekannya, yakni dengan memindahkan posisi atau tempat duduk peserta didik tersebut dari yang lainnya, sedangkan yang kedua adalah dengan menerapkan strategi "group contigencies" yaitu dengan cara menawarkan atau memberikan hadiah dan keuntungan (reward) yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh kelas berdasarkan sikap atau perilaku peserta didik yang diinginkan oleh guru. Bila ada seorang peserta didik saja melakukan kekeliruan maka dampaknya seluruh kelas tidak akan memperoleh hadiah tersebut. Misalnya, seluruh siswa akan memperoleh tambahan waktu istirahat 5 menit apabila tidak ada seorang siswa pun yang berbuat kesalahan di dalam kelas.

3.       Menghindari situasi tidak menyenangkan
·         Peserta didik yang merasa bosan, jenuh, lelah di dalam kelas dapat mendorongnya berperilaku menyimpang, hal tersebut sangat wajar dan guru wajib menanggapi hal tersebut dengan normal dan tidak berprasangka terhadap peserta didik.
·         Cara mengatasi masalah ini diantaranya memperbaiki strategi pembelajaran di kelas, misalnya dengan menggunakan metode belajar bersama (cooperative learning) yang membuat peserta didik terlibat secara aktif, langsung, dan dinamis dalam belajar. Misalnya, diskusi kelompok, pemecahan masalah, dan masih banyak yang lainnya.
·         Gunakan pula penghargaan dan atau hadiah-hadiah ringan misalnya dengan memberikan pujian dan sanjungan bagi peserta didik yang melakukan atau menanggapi tugas dengan baik. Akan tetapi cara ini kurang efektif bila diterapkan bagi peserta didik yang tingkat pencapaian tugasnya rendah (low-achieving student), pada kasus ini guru perlu memberikan bimbingan belajar yang khusus.

PRINSIP-PRINSIP MODIFIKASI PERILAKU
Modifikasi perilaku sejalan dengan strategi "group contingency" yang merupakan suatu strategi memodifikasi atau merubah perilaku siswa dari yang kurang baik menjadi lebih baik.
Sekurang-kurang terdapat tiga indikasi diperlukannya menerapkan strategi modifikasi perilaku atau "group contigency" yaitu: bila dalam satu kelas masih terdapat beberapa siswa yang berperilaku menyimpang, kedua ketika perilaku menyimpang tersebut mendapat dukungan dari rekan-rekannya, serta apabila di dalam kelas terdapat banyak siswa yang rendah motivasinya maupun dalam penyelesaian tugas-tugasnya. Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam menerapkan strategi ini adalah sebagai berikut:
1.       Identifikasi sasaran perilaku (yang menyimpang) dan identifikasi bentuk penguatan.
Pada langkah ini guru perlu mengidentifikasi asal mula jenis-jenis perilaku menyimpang dan melihat kemungkinan menerapkan bentuk-bentuk penguatan dalam mengatasi perilaku tersebut. Misal, bila siswa menunjukkan kebolehannya bermain akrobat (sirkus) di dalam kelas, maka dapat disimpulkan bahwa perilakunya itu memperoleh dukungan dan rekan-rekannya. Sedangkan seandainya seorang siswa keluar kelas tanpa permisi atau sering menolak tugas tanpa terlebih dahulu berupaya untuk melakukannya, maka perilaku ini mengindikasikan siswa memerlukan lebih banyak perhatian guru.
2.       Menetapkan batasan dari perilaku menyimpang tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari frekuensi perilaku menyimpang yang dilakukan siswa, misal berapa kali seorang siswa keluar ruangan tanpa permisi atau bila satu jenis perilaku siswa mengganggu rekan lainnya, maka perlu ditetapkan bentuk perilaku apa yang mengganggu tersebut (apakah berbisik-bisik, mengambil barang milik rekannya atau melakukan interupsi/menyela pembicaraan).
3.       Menentukan bentuk penguatan (reinforcer) dan kriteria pelaksanaan penguatan (reinforcement).
Bentuk penguatan haruslah konsisten diberikan terhadap perilaku siswa yang baik (sesuai harapan) pada saat permulaan dari program modifikasi perilaku ini. Kemudian pemberian penguatan itu dikurangi secara bertahap tatkala perkembangan perilakunya sudah dapat dinilai meningkat lebih baik. Dalam program modifikasi perilaku ini hukuman (punishment) sedapat mungkin dihindari, karena hanya membuat situasi menjadi tidak kondusif bagi tercapainya suasana kelas yang menyenangkan. Hukuman hanya dilakukan dalam kondisi terpaksa dan tak ada jalan lain lagi untuk mengatasi masalah perilaku tersebut.
4.       Menentukan bentuk hukuman dan kriteria pelaksanaan hukuman, bila diperlukan.
Apabila masalah perilaku siswa cukup serius/berat, sedangkan program penguatan yang telah dirancang sedemikian rupa masih belum efektif, maka tidak ada jalan lain dalam mengatasinya kecuali menerapkan bentuk hukuman (punishment). Bentuk hukuman merupakan stimulus yang tidak menyenangkan yang setiap individu berusaha untuk menghindarinya. Namun demikian agar pelaksanaan hukuman berjalan efektif dan cukup manusiawi maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1)Gunakan hukuman secara ketat/terbatas dan seperlunya (tidak royal),(2) Jelaskan kepada siswa kenapa ia memperoleh hukuman seperti itu, (3) Sediakan pula jalan alternatif bagi siswa dalam memperoleh penguatan (untuk menjauhi hukuman),(4) Berikan penguatan dan hukuman secara proporsional, misal beri hukuman ketika siswa tidak menyelesaikan tugas sementara itu beri penguatan ketika siswa berhasil melaksanakan tugasnya, (5) Hindari bentuk-bentuk hukuman fisik,(6) Sesegeralah memebrikan hukuman sewaktu perilaku menyimpang tersebut mulai terjadi, jangan dibiarkan terlalu lama baru diberikan hukuman.
5.       Mengamati perilaku yang terjadi selama kegiatan implementasi strategi modifikasi perilaku dan membandingkannya dengan batasan perilaku menyimpang yang telah ditetapkan.
Pada langkah ini perlu kiranya mengukur efektivitas dari program modifikasi ini. Biasanya program ini dapat membuahkan hasil yang baik setelah beberapa hari dilakukan. Apabila setelah seminggu belum juga menunjukkan hasil positif, maka perlu dipertimbangkan cara/sistem atau bentuk penguatan lainnya.
Tatkala program modifikasi perilaku laku ini berjalan dengan baik, maka kurangi sedikit demi sedikit frekuensi/aktivitas pelaksanaan penguatan. Sekali program modifikasi dilaksanakan dan perilaku para siswa meningkat dengan baik serta stabil pada tingkat tertentu, frekuensi pemberian penguatan pun bisa mulai dikurangi. Awalnya, penguatan diberikan pada setiap kasus (kejadian), kemudian seiring dengan berjalannya waktu penguatan diberikan lagi terhadap kasus lainnya. Setelah itu penguatan diberikan setiap terjadi beberapa kasus. Dengan mengurangi penguatan memungkinkan perilaku baru yang telah terbentuk tersebut dapat berlangsung lama dan bisa memperluas perilakunya itu dalam situasi (setting) yang berlainan.
Baca SelengkapnyaMetode Penguatan dan Pengubahan Tingkah Laku Peserta Didik