Ketika Kita berbicara
tentang Cinta, banyak sekali penafsiran-penafsiran personal dari yang abstrak
hingga yang konkrit, dari yang konvensional hingga ke fenomenal, subyektif atau
objektif, dan memang Kita boleh berargumen sesuai kapasitas masing-masing. Cinta
merupakan bagian penting dari isi Hati (qalb), karakteristik dari Cinta
seseorang diwarnai oleh karakteristik hatinya. Orang yang hatinya baik maka
ekspresi Cintanya juga bersifat positif, sebaliknya orang yang kualitas hatinya
jelek maka dalam mengekspresikan Cintanya pun bersifat negatif. Hal ini bisa
Kita perhatikan pada realita yang ada.
Setiap manusia normal,
setiap kali mengerjakan sesuatu perbuatan pasti di balik perbuatan itu ada
tujuan yang ingin dicapai. Tujuan-tujuan itu terkadang hanya bersifat biologis,
terkadang pemuasan kebutuhan psikologis, atau bisa juga untuk pencapaian
nilai-nilai tertentu sesuai keinginan masing-masing. Tingkah laku manusia tidak
mudah dipahami tanpa mengetahui apa yang mendorongnya melakukan perbuatan
tersebut. Faktor-faktor yang menggerakkan tingkah laku manusia itulah biasa
disebut “Motif”. Dalam bahasa Arab, faktor-faktor penggerak tingkah laku itu
disebut ad dawafi’an nafsiyyah yang
artinya dorongan-dorongan yang bersifat psikologis. Salah satu motif yang
paling kuat dalam mendorong nafs
(jiwa) manusia adalah Motif Cinta. Pada tingkat tertentu Motif Cinta bisa
mendorong orang mampu melakukan pekerjaan yang besar yang positif, juga dapat
mendorong orang melakukan perbuatan luar biasa yang sangat destruktif.
Menurut Al-Qur’an,
manusia diciptakan Tuhan berpasangan lelaki-perempuan dan kepada mereka
dianugerahi perasaan Cinta dan Kasih Sayang, dan sudah menjadi fitrahnya bahwa
manusia ingin mencintai dan dicintai. Tercapainya kebutuhan Cinta itu bilamana
ketika mengerjakannya dengan benar akan membuat manusia merasa tenteram, tenang
dan bahagia, sebaliknya Cinta yang dikerjakan dengan cara yang salah akan
mengantarkan pada penderitaan. Al-Qur’an memberikan perumpamaan perasaan Cinta
antar laki-laki perempuan dengan istilah mawaddah,
rahmah, syaghafa, mail, dan hubb-mahabbah.
Cinta memang memiliki
dimensi yang sangat luas dan mendalam dimana perbedaan karakteristik itu akan
membawa implikasi pada perbedaan tingkah laku. Cinta itu sendiri diungkap dalam
bahasa Arab dengan tiga kelompok karakteristik, yaitu; 1) apresiatif (ta’dzim), 2) penuh perhatian (ihtimaman) dan 3) cinta (mahabbah). Ketiga kelompok karakteristik
itu terkumpul dalam ungkapan mahabbah,
orang yang disebut habib, habibah atau mahbub. Dalam ayat-ayat Al-Qur’an ada beberapa istilah, sebagai
berikut :
1. Cinta mawaddah, artinya adalah jenis Cinta yang menggebu-gebu, membara,
keinginan untuk selalu berdua-duaan, romantis, enggan berpisah dan selalu ingin
memuaskan dahaga cintanya.
2. Cinta rahmah, artinya adalah jenis Cinta yang penuh kasih sayang, lembut,
siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki jenis Cinta ini,
biasanya lebih memperhatikan orang yang dicintainya daripada dirinya sendiri.
Dia sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya.
3. Cinta mail, artinya adalah jenis Cinta yang menyedot perhatian. Begitu
menyilaukan sehingga membuat orang yang terkena Cinta ini akan cenderung
melalaikan hal-hal lainnya yang juga berharga.
4. Cinta syaghaf, artinya adalah Cinta yang mendalam, alami dan memabukkan.
Orang yang terserang Cinta ini bisa seperti orang gila, lupa diri dan
hampir-hampir tak menyadari apa yang dia lakukan.
5. Cinta ra’fah, yaitu rasa kasih sayang yang bersumber dari rasa iba dan
kasihan, rasa sayang ini bisa cenderung membuat orang lain lupa dengan norma-norma
kebenaran.
6. Cinta shobwah, yaitu Cinta buta yang mendorong perilaku penyimpangan
tanpa sanggup mengelak. Orang yang terkena Cinta ini, sanggup melakukan apa
saja demi hasrat dan gejolaknya terluapkan.
7. Cinta syauq, adalah pengembaraan hati kepada sang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan kobaran Cinta yang apinya berada di dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah wa il tihab naruha fi
qalb al muhibbi. Cinta ini berarti adalah perasaan rindu yang menggebu-gebu
tak terbendung dan menyesak dada orang yang mencinta.
8. Cinta kulfah, yakni perasaan Cinta yang disertai kesadaran mendidik
kepada hal-hal yang positif meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh
anaknya untuk mandiri. Cinta seperti ini cenderung menginginkan orang yang
dicintainya bisa melakukan apa yang dia pikirkan/ kehendaki.
Menurut hadist, orang
yang sedang jatuh Cinta cenderung selalu mengingat dan menyebut orang yang
dicintainya (man ahabba syai’an katsura
dzikruhu), kata Rasulullah, orang bisa diperbudak oleh cintanya (man ahabba syai’an fa huwa ‘abduhu).
Kata Rasul pula, ciri dari Cinta sejati ada tiga : 1) lebih suka berbicara
dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, 2) lebih suka berkumpul dengan
yang dicintai dibanding dengan yang lain, dan 3) lebih suka mengikuti kemauan
yang dicintai dibanding kemauan orang lain/ diri sendiri. Bagi orang yang telah
jatuh Cinta kepada Tuhan, maka ia lebih suka berbicara dengan Tuhan, dengan
membaca firman-Nya, lebih suka bercengkerama dengan Tuhan dalam I’tikaf, dan
lebih suka mengikuti perintah Tuhan daripada perintah yang lain.
Menurut Imam Gazali,
ada empat tingkat kualitas Cinta; 1) Cinta diri, semua hal yang berhubungan
dengan Cinta diukur dengan kesenangan diri sendiri, 2) Cinta transaksional,
yakni Cinta kepada orang lain sepanjang orang yang dicintainya itu membawa
keuntungan bagi dirinya, seperti cintanya pedagang kepada pembeli, 3) Cinta
kepada orang baik meski tak memperoleh keuntungan langsung, seperti Cinta orang
kepada ulama dan pemimpin, ia sanggup berkorban demi orang baik yang
dicintainya, 4) Cinta kepada kebaikan, terlepas dari siapa yang memiliki
kebaikan itu, bahkan kebaikan yang ada pada musuhnya. Cinta jenis terakhir
inilah yang bisa mengantar manusia ke tingkat Cinta kepada Tuhan. Seperti
Rabi’ah al Adawiyah, cintanya kepada Tuhan bahkan sudah tidak memberi ruang di
dalam hatinya untuk membenci, bahkan untuk membenci syaitan.
Karena Cinta adalah
motif atau faktor penggerak tingkah laku, maka kualitas cintanya akan memengaruhi
kualitas perilakunya. Tidak bolehlah kita terlalu fanatik dengan Cinta yang
subtansinya belum kita ketahui. Orang Islam diajarkan untuk selalu ikrar
minimal lima kali dalam sehari kepada Tuhan, inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahirabbil’alamin,
sesungguhnya shalatku, ibadahku, bahkan hidup dan matiku hanyalah untuk Allah,
Tuhan semesta alam. Karena Cinta bersifat indah, maka orang yang sedang dimabuk
Cinta hatinya selalu berbunga-bunga, wajahnya berseri-seri, memersepsi alam
(misalnya bulan, samudra, langit, bentangan alam dsb) sebagai dukungan atas
cintanya, oleh karena itu ia mengerjakan pekerjaan dengan riang gembira.
Cinta merupakan fitrah
isi hati maka perasaan Cinta tumbuh bersamaan dengan berfungsinya hati sebagai
instrumen psikologis, hati (qalb) berfungsi cenderung mengikuti masa
pertumbuhan dan usia. Pada masa puber pertama, (15-17 tahun) perasaan Cinta itu
selalu muncul dan mencari-cari objek. Anak usia puber yang belum menemukan
lawan jenis sebagai obyek cintanya akan didera rasa gelisah secara terus
menerus, namun ketika menemukan obyek cintanya bahkan membuat hatinya makin
mengelisah. Cinta puber sangat membara tetapi belum bisa dipastikan, oleh
karena itu ia juga mudah putus dan mudah berganti. Ia indah, menggoda, tetapi penuh
gejolak, jarang sekali cinta puber yang berakhir dengan pernikahan.
Setelah melewati masa
puber pertama, sekitar usia 21-25, perasaan Cinta yang muncul sudah merupakan
perasaan yang mapan. Ia muncul bisa oleh pandangan pertama, bisa juga karena
pergaulan setiap hari.
Cinta
Pandangan Pertama
Cinta seperti ini
biasanya dipicu oleh bertemunya unsur daya tarik tertentu dan selera tertentu.
Daya tarik itu bisa oleh sosok utuh seseorang, bisa juga oleh lirikan maut,
bisa oleh senyumannya yang sangat menawan, bisa juga oleh suaranya yang sangat
merdu atau perilaku khas dari orang itu yang sangat mengesankan, daya tarik
khas mana kemudian bertemu dengan orang yang memiliki selera khas pula. Cinta
sulit dianalisa secara ilmiah, karena ini berhubungan dengan perasaan.
Sebagaimana sulit menerangkan rasa manisnya gula, demikian juga sulit
menguraikan gemuruh Cinta. Bagi orang yang sudah merasakan manisnya gula, meski
tidak sanggup menguraikan secara ilmiah, tetapi manisnya gula sudah menjadi “haqqulyaqin” yang tidak tergoyahkan oleh
argumen apapun yang mengatakan bahwa gula tidak manis. Demikian pula orang yang
telah merasakan manisnya Cinta, ia tidak pernah mau mendengar penilaian orang
lain yang menggugat berdasarkan analitik.
Cinta
Karena Biasa
Perasaan Cinta juga bisa
tumbuh karena berlangsungnya komunikasi yang lama, misalnya Cinta yang tumbuh
antara dua orang yang kuliah bersama, atau antara teman sekerja, atau teman
seperantauan, teman sependeritaan, dsb. Bisa juga terjadi antara dua orang yang
tadinya saling membenci, setelah bergaul lama, terutama pergaulan senasib dan
sependeritaan, atau jujur, atau setia atau sebaliknya. Pengenalan dalam
kehidupan keseharian dalam waktu yang lama akan mengubah pengenalan kognitif
menjadi pengenalan afektif sehingga seseorang sudah dikenali karakternya
sebagai orang yang menawan hati maka kesejukan, keceriaan, ketenangan akan
terasa dalam kebersamaan. Sebaliknya perasaan kehilangan dan kesepian akan
muncul jika berpisah, dan jika masih harus menunggu, rasa rindu mendera hatinya.
Proses psikologis itulah yang mengukir hati mereka berdua dalam keindahan
perasaan, dan selanjutnya dalam diri masing-masing terbangun imajinasi masa
depan yang penuh harapan.
Ilham
Cinta
Perasaan Cinta juga
bisa tumbuh melalui ilham, yang berarti adalah suatu gagasan yang tiba-tiba
tertanam kuat di dalam hati. Ilham seperti ini bisa didahului oleh pertemuan,
oleh pengenalan ide melalui bacaan, bisa juga oleh mimpi. Menurut sebuah tafsir
Al-Qur’an, dulu zulaikha putri seorang gubernur Yaman akan dinikahkan dengan
seorang pangeran, tetapi ia menolak karena ia bermimpi menikah dengan seorang
menteri urusan pangan dari kerajaan fir’aun mesir. Singkatnya zulaikha
dipertemukan dengan sang menteri, namun zulaikha sangat terkejut ketika ia
dipertemukan dengan calon suaminya itu, karena orangnya berbeda dengan yang ia
jumpai dalam mimpi. Menteri yang dijumpai dalam mimpinya itu ganteng dan masih
muda, sementara menteri yang akan menikahinya itu duda tua. Sang menteri pun
menikahi zulaikha, sang menteri syahdan, sudah sekian tahun belum juga
dikaruniai putra, dalam perjalanan mereka berdua mendapati seorang anak bernama
yusuf yang dijual sebagai budak oleh saudara-saudaranya. Zulaikha usul kepada
suaminya agar budak itu dibeli saja. Perjalanan hidup selanjutnya, yusuf tumbuh
sebagai remaja cakep dalam asuhan zulakiha. Birahi zulaikha terusik oleh sosok
yusuf yang sangat menawan, apalagi suaminya sudah tua. Rayuan zulaikha tidak
berhasil, tetapi menurut tafsir itu selanjutnya yusuf dijebloskan ke penjara
demi menjaga nama baik martabat ibu menteri. Sekian tahun akhirnya kebenaran
terbuka, zulaikha mengakui kesalahannya. Singkat cerita, suami zulaikha pun
meninggal, raja mesir melihat yusuf memiliki kecerdasan yang luar biasa, maka
dia pun dianggap menjadi menteri menggantikan ayah angkatnya, lanjut cerita,
sesungguhnya yusuf juga mencintai zulaikha, maka akhirnya keduanya menikah.
Setelah yusuf benar-benar menjadi suaminya, zulaikha berkata, inilah orang yang
aku lihat dalam mimpi ku dulu sewaktu masih gadis, jadi Cinta zulaikha sudah
diilhamkan sejak yusuf masih anak-anak dab belum dikenalinya.
Cinta
yang Mapan
Cinta itu ada yang
menghanyutkan, ada yang bergelora, tetapi ada juga Cinta yang mapan dan stabil.
Cinta seperti ini lebih menonjolkan rasa simpati dan kasihan dibanding rasa
ingin memiliki. Sebab-sebab terjadinya, biasanya karena faktor merasa berhutang
budi, simpati atau kagum atas perjuangan seseorang. Cinta yang mapan lebih
mengutamakan kepolosan, ikhlas, dan keluguan serta jauh dari kesan konotasi
seksual. Cinta seperti ini bisa terjadi pada siapa saja dalam kondisi yang
bagaimana, tergantung orang itu mengartikan perasaan yang datang padanya dalam
persepsi yang ideal baginya. Proses psikologis yang mengawali Cinta ini adalah
nilai-nilai keadilan ketika melihat orang yang kita cintai dicurangi atau
disakiti oleh orang lain. Sehingga kita merasa bertanggung jawab dan merasakan
ketidakadilan terhadap orang itu adalah karena kita tidak melakukan apa yang
harusnya dilakukan walau secara nalar, tidak ada hubungannya dengan tindakan
kita.