TTL : Sampit, 16 Agustus 1991
“Seseorang yang tidak memiliki alasan untuk mati,
maka dia tidak layak untuk hidup”
Kata-kata inilah yang sering kali membuat saya
berpikir bahwa mengingat kematian adalah hal yang baik agar menjauhkan saya
dari kesalahan dan kekhilafan. Sejenak kadang saya renungkan bahwa memang
kehidupan di dunia ini sangatlah sebentar, saking sebentarnya sampai-sampai
saya tak sadar bahwa saya sudah seperti sekarang ini.
Jika saya mengingat-ingat kembali masa kecil saya,
rasanya masa-masa itu bagi saya pribadi banyak menyisakan kenangan-kenangan,
baik itu senang maupun duka. Pertama kali yang saya ingat dulu adalah kenangan
tentang kedua orang tua, bagaimana orang tua saya membangun rumah yang sampai
sekarang masih menjadi tempat berlindung kami dari panas dan hujan. Kemudian
kenangan tentang adik saya, kenangan tentang paman saya, juga lain-lainnya yang
sekarang sudah semakin saya tidak ingat lagi.
Saya sangat merasakan sekali saat ini, bagaimana
pengalaman-pengalaman dulu sangat berpengaruh terhadap pola pikir saya pada
masa-masa sekolah. Rasa takut, gugup, khawatir, cemas, dan tidak percaya diri
adalah pikiran-pikiran dominan yang ada pada diri saya. Saya tidak bisa
menentukan atau memilih mana yang baik atau buruk, saya merasakan sekali bahwa
kehidupan saya pada masa itu sebatas fantasi dan terpenjarakan. Saya merasakan
bahwa saya terpenjerakan dari logika, ilmu, dan kemampuan individu yang
seharusnya dapat saya optimalkan menjadi kelebihan dalam kehidupan saya.
Saya paling ingat dulu, bahwa hidup itu ibarat hukum
rimba, siapa yang kuat dia yang akan bertahan, sedangkan yang lemah mau tidak
mau harus mengikuti keinginan yang kuat. Pola pikir seperti itu tentu tidak
lepas dari efek lingkungan dan cara pergaulan saya pada waktu itu. Sehingga
saya beranggapan bahwa saya harus menjadi yang terkuat atau setidaknya mampu
menjadi teman dari yang terkuat. Anggapan seperti itu membuat kehidupan saya
penuh dengan prasangka dan dendam, hidup serasa tidak tenang, selalu
mencari-cari kesalahan orang lain, hura-hura dan hanya mampu menjadi penonton
di setiap permainan.
Setidaknya seperti itulah seingat saya kehidupan
saya pada waktu itu, dari segi religius dan keagamaan juga saya tidak begitu
mendalami. Seingat dulu saya pernah mengikuti belajar mengaji Al-Qur’an dan
tuntas, namun seiring dengan waktu kemampuan saya mengaji Al-Qur’an
perlahan-lahan memudar. Mungkin karena setelah tuntas, saya tidak pernah lagi
mengaji atau membuka satu ayat di Al-Qur’an, sehingga lama-lama lupa cara baca
dan huruf-huruf yang tertera. Karena memang pada waktu itu, keinginan saya
untuk tuntas mengaji Al-Qur’an hanya sebatas mengikuti kehendak orang tua saja,
sehingga sepertinya saya tidak memiliki motivasi yang khusus untuk belajar
mengaji.
Saya juga merasakan bahwa agama bagi saya pribadi
adalah sesuatu hal yang umum dan tergantung siapa dan bagaimana memandangnya,
saya tahu Islam adalah agama yang pasti benar setidaknya seperti itulah yang
guru-guru saya katakan. Saya beragama Islam, namun saya tidak mengetahui apa
itu Islam? Siapa yang dikatakan Islam? Bagaimana cara menjadi orang yang Islam?
Atau lebih sederhana lagi, Islam itu apa sih?. Saya beranggapan bahwa Islam
adalah budaya yang banyak orang-orang sekitar saya yang mengaku Islam. Saya
tidak tahu dan tidak tahu menahu bagaimana menjadi seorang yang Islam, karena
bagi saya Islam itu umum, tidak ada anjuran yang ada hanya kebiasaan, dan
kebiasaan-kebiasaan yang sering lakukan itulah bagi saya Islam. Karena itulah
setidaknya sampai saya menginjak pendidikan sekolah tinggi, saya merasa
tuntunan sholat lima waktu itu tidak wajib bagi saya, toh banyak saja
orang-orang di luar sana yang seperti saya, bahkan lebih parah dari saya,
sehingga sering saya beranggapan, ah.. nggak apa lah!.
Jika menggambarkan posisi saya dalam keluarga, saya
adalah anak sulung dan putra tunggal dari ayah ibu saya. Kehidupan saya dalam
keluarga sangat baik dan keluarga saya juga terhitung keluarga yang baik-baik.
Sering kali saya merenung tenang kejadian-kejadian yang terjadi dalam keluarga
saya, pada awalnya hanya sekilas, namun lama-kelamaan akhirnya saya mengerti
bahwa dari sinilah saya mengetahui baik atau buruk dalam lingkungan masyarakat.
Terutama untuk ibu saya, dialah yang selalu memperhatikan saya lebih dari
siapapun, bahkan bila ada seseorang yang mencintai saya, itu tidak mungkin
melebihi cinta ibu saya kepada saya. Saya pikir pada awalnya bahwa kadar
seorang ibu mencintai anaknya sama seperti ibu saya mencintai saya, namun yang
saya dapati di lingkungan sekitar saya, banyak teman-teman saya mengeluh karena
ibu mereka begini begitu sehingga saya berpikir, beruntung sekali saya memiliki
ibu sebaik ibu saya.
Kejadian yang paling sangat saya mengetahui seberapa
besar cinta ibu saya kepada saya adalah saat saya terkena musibah kecelakaan
lalu lintas. Saya sangat bersyukur sekali sampai saat ini masih terhindar dari
maut dan itu sangat mengubah kehidupan saya serta membuat saya sadar begitu
besarnya cinta ibu kepada saya. Beliau tak henti-henti berada di samping saya
sambil membelai-belai dahi saya, bahkan sepengetahuan saya, ibu tak pernah
beranjak dari samping saya selain hanya untuk makan atau mandi. Ibu yang
merawat saya dengan istiqomah, menenangkan saya dari mimpi buruk, membersihkan
saya, memberi makan, memberikan saya semangat untuk segera sembuh dan
menjanjikan saya akan masa depan yang lebih baik. Awalnya saya belum tersadar
betapa kasih sayang ibu begitu besar dan mulianya sikap beliau, awalnya saya
anggap itu biasa, namun setelah saya mengetahui, mengapa ibu tidak pernah
mengungkit-ungkit apa yang pernah beliau berikan kepada saya atau meminta
pamrih dari apa yang pernah beliau lakukan untuk saya. Ternyata bagi ibu saya,
apa yang beliau pernah lakukan untuk saya, merawat saya, menyayangi saya,
menghibur saya, semua itu tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan melihat
saya tubuh dewasa, cinta ibu kepada saya sama halnya dengan cinta ibu kepada
dirinya sendiri. Bagi ibu, mata saya adalah mata dia, tangan saya adalah tangan
dia, kaki saya adalah kaki dia, semua yang ada pada saya bagi ibu adalah bagian
dari dirinya, Allahuakbar,.. Subhanallah,.. Terima kasih Ya Rabb, engkau
jadikan ibu saya sebagai perumpamaan kasih sayang-Mu pada saya yang terhina
ini.!
Dari sinilah saya mulai sedikit mengetahui apa itu kasih
sayang, apa itu kecintaan pada sesuatu, rindu pada yang dirindukan, semua itu
saya ketahui tanpa saya rencanakan atau terpikir untuk mengetahuinya. Sering
kali saya merenungkan apa-apa saja yang tidak saya miliki dan apa-apa saja yang
saya miliki sekarang, perasaan seperti itu menimbulkan motivasi bagi saya untuk
menjadi yang lebih baik. Apalagi bila mensyukuri apa yang saya miliki yaitu ibu
saya,.. itu membuat saya semakin percaya dengan Islam sebagai agama saya, Islam
begitu rinci menjelaskan makna ibu, keberadaan ibu, seberapa mulianya ibu, dan
banyak hal tentang ibu yang Islam jelaskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Cukup
dengan ini saya sudah mengetahui mana yang baik dan mana yang benar karena saya
telah merasakan kasih sayang seorang ibu yang luar biasa dan itu bukan hanya
cerita namun benar-benar saya alami dalam kehidupan saya.
Mungkin begitulah proses pencarian jati diri saya,
banyak kesalahan yang pernah saya lakukan dan mungkin masih menyisakan sesal
dan kesedihan, namun sisi baiknya saya sekarang sudah bisa mengetahui letak
kesalahan itu di mana, dan itu cukup sebagai alat menjadikan diri menjadi insan
kamil dan anggun dalam moral serta unggul intelektual.
That All Me..
Billahi fii sabillil haq, fastabiqul khairat,
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar