Sekilas kita bisa memikirkan dari
judul yang tertulis, istilah “seniman” yang bermakna pelaku atau orang yang
memiliki kemampuan seni. Lantas
kemudian apakah makna seni berarti ?
mungkin Anda memiliki persepsi masing-masing, karena hakikat seni adalah perihal
mendasar yang sudah menjadi fitrah manusia. Wujud fitrah itu bisa kita pandang
pada diri kita masing-masing. Misalnya, seberapa besar pengetahuan dan
kemampuan Anda dalam menyusun alunan-alunan bunyi hingga menjadi sebuah
instrumen ? mungkin kemampuan kita bervariasi, ada yang mampu dan ada yang
tidak mampu. Namun, seberapa besar kemampuan Anda dalam mengamati, mendengar
atau mungkin merasakan alunan-alunan, gambaran-gambaran yang seakan-akan mampu
kita simpulkan suasananya ? mungkin rata-rata kita mampu melakukannya walau
sesuai dengan kadar masing-masing dalam menafsirkannya.
Itulah fitrah dasar dari manusia,
mampu merasakan kemudian meresapi dan menghayati apa yang dilihat dan didengar
walau belum memahami sumber dan kaidah asal perihal tersebut. Lalu apa yang
bisa kita simpulkan dari penjelasan singkat di atas ? mari kita sama-sama simak
wacana di bawah ini..!!
Apa yang Anda pikirkan dengan
seseorang yang menjadi Artis, Selebritis atau Musikus yang menggambarkan diri
sebagai seorang seniman ? bagaimana pola pikirnya atau gaya hidupnya ?
bagaimana moralitasnya atau spiritualitasnya ? semua ini percaya tidak percaya
sudah Anda generalisasikan dalam alam bawah sadar Anda dengan satu jawaban
pembenaran, yaitu “kemewahan dan kegemerlapan”. Semua ini adalah stereotip para
seniman dewasa sekarang ini, apapun jenisnya.
Bila jawaban Anda mengacu kepada
kedua hal di atas, maka itu adalah kesalahan mendasar Anda, juga tidak lepas
dari kesalahan sebagian orang dalam menafsirkan makna “seni”. Sebelum saya
terangkan apa sebenarnya seni, ada sebuah syair yang secara eksklusif
menerangkan makna seni ; “Keindahan ini pertama-tama adalah abadi, ia
tidak tidak pernah diwujudkan maupun dimatikan, tak mengalami pasang-surut,
kemudian ia bukan indah sebagian dan jelek sebagian, bukan indah pada satu saat
dan jelek pada saat lain, bukan indah dalam kaitannya dengan hal ini dan jelek
dengan hal itu, tidak beraneka menurut keragaman pemerhatinya, tidak pula
keindahan ini akan tampil di dalam imajinasi seperti kecantikan seraut wajah
atau tangan atau sesuatu pemikiran atau ilmu pengetahuan, atau seperti
keindahan yang bersemayam di dalam sesuatu di luar dirinya sendiri, apakah itu
makhluk hidup atau bumi atau langit atau apa pun lainnya, dia akan melihatnya
sebagai yang absolut, ada sendirian di dalam dirinya, unik, abadi.” (Socrates).
Seni adalah “keindahan”, begitu
menurut Socrates, seorang guru besar filsuf Yunani kuno yang pada abad keemasan
Islam, buku-bukunya banyak diterjemahkan ke bahasa Arab dan dipelajari secara
umum. Ciri-ciri keindahan adalah unik, abadi, dan mutlak. Secara mendasar,
Socrates ingin mengajak orang-orang pada masanya untuk memikirkan seni, melalui seni-lah hukum-hukum akan dijalankan dan sarana individu untuk menghayati
keberadaan/ kebesaran Tuhan. Jadi, pengertian seni bukanlah seperti yang khalayak awam katakan, bahkan mereka
yang mengaku-ngaku sebagai seniman namun perbuatannya masih jauh dari
nilai-nilai seni, patutlah kita
pertanyakan siapa mereka.
Kita kembalikan sejarah pada
masa-masa yang banyak dilupakan, yaitu masa-masa keemasan Islam, pada zaman
kejayaan Daulah Khilafah Islamiyah, negara Islam bukanlah sebuah negara yang
dingin dan kaku. Di sana, selain terdapat banyak ulama mujtahid yang membuat
hidup jadi terarah, lalu para ilmuwan dan insinyur yang membuat hidup lebih
mudah, juga bertebaran para seniman yang membuat hidup lebih indah. Dan yang
paling utama para seniman ini adalah orang-orang yang beriman, yang menjadikan
iman sebagai poros hidupnya, bukan sebaliknya. Berbeda pada zaman sekarang,
banyak mereka yang mengaku seniman, terjebak dengan aktivitas yang mereka
anggap sebuah seni sehingga
meninggalkan “keimanan” dan melupakan segala hal-hal yang mendasar dalam
hidupnya.
Macam-Macam Seni
dalam Dunia Islam
Secara umum, dunia seni dapat dibagi dalam lima macam; 1)
seni rupa, 2) seni sastra, 3) seni suara (musik), 4) seni gerak (akrobat), 5)
seni gabungan (treatikal). Ketika aliran naturalis yang menggambar atau membuat
patung hewan atau manusia diharamkan dalam Islam, para perupa muslim dapat
tetap menuangkan kreativitasnya dalam bentuk-bentuk abstrak yang memerlukan
jiwa seni dan kemampuan matematis yang lebih tinggi, misalnya dalam bentuk
kaligrafi yang rumit yang juga tertuang pada karpet atau keramik, arsitektur
masjid yang canggih, atau taman kota yang simetri. Bentuk seni rupa yang
membawa permisanya serasa mi’raj ke dimensi spiritual, dimensi ilahiyah.
Dunia sastra juga menggelora dengan
karya-karya yang menggugah. Berbagai hikayat dari zaman pra-Islam dimodifikasi
dan diberi semangat iman. Karya sastra yang paling legendaris tentu saja adalah
“Kisah 1001 Malam”, yang mengisahkan seorang ratu Persia Syahrazad yang setiap
malam tak lelah mendongeng kisah-kisah fantastis seperti Aladin, Ali Baba atau
Sinbad ke suaminya Raja Syahriar, dan baru berhenti saat adzan subuh pada titik
yang membuat orang penasaran. Setelah 1001 malam, ada perubahan sikap yang
signifikan dari Raja Syahriar, yang semula dikenal sebagai raja yang paranoid,
yang karena takut dikhianati selalu menyingkirkan istrinya pada hari kedua
pernikahannya. Namun Syahrazad berhasil mengubah kebiasaannya itu dengan sebuah
dongeng yang indah.
Karya sastra juga sering dipakai
untuk memberikan pelajaran, Ibnu Malik membuat puisi 1000 bait yang dikenal
dengan “Alfiah Ibnu Malik” untuk memberikan pelajaran bahasa Arab secara
komprehensif. Barangsiapa hafal 1000 bait tersebut, dia telah belajar dan
menguasai nahwu, shorof dan balaghah sekaligus.
Seni suara pada zaman daulah Islam
mendapat tempat yang layak dan dapat digunakan untuk terapi mental. Bacaan
al-Qur’an dapat dilantunkan dengan suara yang indah untuk suasana apapun, sedih
ataupun gembira. Rasulullah membolehkan lagu dan musik dimainkan untuk
mengiring acara gembira seperti walimah nikah. Semula yang berkembangadalah
nasyid, konsert vokal tanpa instrumen (Accapella). Berbagai lirik nasyid yang
penuh makna diciptakan untuk berbagai peringatan, misalnya maulid Nabi. Konon
Salahuddin al-Ayyubi mengadakan sayembara untuk itu, agar masyarakat ingat
kembali pada Sirah Nabawiyah dengan cara yang indah dan menyenangkan. Kiat ini
dilakukan untuk memperkuat kembali kaum muslim dalam menghadapi tentara salib.
Dalam instrumen musik, umat Islam
tak hanya mengenal rebana sebagai satu-satunya alat musik yang sudah dikenal di
zaman Nabi. Khilafah Islam mewarisi berbagai alat musik bangsa-bangsa yang
ditaklukannya sekaligus memerkayanya dengan alat-alat musik baru. Saklipun ada
ikhtilaf di antara para fuqoha dari yang menghalalkan dan mengharamkan musik,
tokoh Al-Farabi tetap meneliti dan menciptakan berbagai alat musik yang
sebelumnya tidak dkenal, seperti piano. Dia juga menemukan hubugan matematis
antara tinggi tiap nada dan hubungan ritme dengan kejiwaan seseorang. Islam
tidaklah melarang seseorang untuk memainkan musik atau bernyanyi selalma apa
yang dia lantunkan tidak berkaitan dengan kemunkaran dan syirik, serta tidak
menimbulkan kelalaian terhadap diri sendiri dan orang lain.
Dalam seni gerak, seni akrobat
sudah diterima oleh Rasulullah, bahkan beliau telah menyaksikan pertunjukan
suatu tim dari Habasyah bersama Ummul Mukminin Aisyah di masjid. Seni gerak ini
kemudian berkembang pesat di kalangan shufi, seperti halnya Darwish di Turki,
yang mendapatkan semacam perasaan “ectasse” ketika berputar-putar ratusan kali
sambil berdzikir. Sedangkan untuk seni teater dikenal baik yang dimainkan oleh
orang maupun dalam bentuk boneka, yang di Indonesia kemudian berkembang dalam
bentuk wayang. Seni ini sudah dikenal di masa Abbasiyah kira-kira 1000 tahun
yang lalu dengan mengambil alur cerita dari sejarah Islam. Para khalifah
Utsmaniyah, termasuk Sulaiman al-Qanuni juga dikenal sangat antusias menonton
sandiwara boneka.
Seni Musik
Seniman Muslim
Ketika Khilafah Islam jaya, seni
musik dan seni-seni yang lainnya tidak pernah menjadi sesuatu yang melalaikan.
Bahkan kaum muslimin pernah ikut berkontribusi dalam teknologi musik. Sejumlah
besar alat musik yang dipakai di musik klasik Barat dipercaya berasal dari alat
musik Arab. Lute berasal dari
“al-‘ud”, rebec (violin) dari “rabab”, guitar
dari “qitara”, naker dari “naqareh”, adufe dari “al-duff” alboka dari “al-buq”, anafil dari al-nafir”, exabeba (flute) dari “al-syabbaba”, atabal
(bass drum) dari “al-tabl”, atambal
dari “al-tinbal”, sonajas de azofar dari “sunuj al-sufr”, dan masih
puluhan alat musik lainnya yang ternyata berawal dari alat musik Arab.
Kenyataan bahwa teori musik banyak
ditemukan oleh orang Islam cukup berasal, Meninski dalam bukunya Thesaurus Linguarum Orientalum (1680)
dan Laborde dalam tulisannya Essai sur la Musique Ancienne et Moderne
(1780) sepakat bahwa asal muasal notasi musik Solfege (do, re, mi, fa, sol, la,
si) diturunkan dari huruf-huruf Arab sistem “solmization” Durar-Mufassalat
(dal, ro, mim, fa’, sod, lam, to’) yang bermakna “mutiara yang terpisah”.
Setiap huruf memiliki frekuensi getar dalam perbandingan logaritmis dengan
huruf sebelumnya.
Kehebatan musik dari negara
Khilafah bertahan sampai abad-18 M, yakni ketika militer Utsmaniyah sebagai
militer terkuat dunia memiliki marching band yang hebat bahkan dianggap sebagai
marching band tertua di dunia. Orang barat menyangka bahwa semangat jihad yang
menyala-nyala dari tentara Utsmaniyah ini ditunjang atau diciptakan oleh musik
militernya. Padahal sejatinya, aqidah Islam dan semangat syahidlah yang membuat
militer ini jadi hebat. Ketika belakangan aqidah dan semangat mencari syahid
mengendur, militer ini tinggal marching-band-nya saja yang hebat.
Marching band berasal dari istilah
Persia “Mehler”. Instrument yang digunakan oleh Mehler adalah Bass-drum
(timpani), Kettledrum (nakare), Frame-drum (davul). Cumbals (zil), Oboes,
Flutes, Zuma, “Boru”, Triangle dan “Cevgen”. Marching-band militer ini
menginspirasi banyak bangsa barat, bahkan juga menginspirasi para komponis
orkestra Barat seperi Wolfgang Amedeus Mozart (1756-1791) dan Ludwig van
Beethoven (1770-1827), yang mungkin nama mereka tidak asing lagi bagi kita.
Perlu kita sadari khususnya sebagai
Muslim kita belum sepenuhnya mengetahui bagaimana besar dan agungnya sejarah
peradaban Islam pada masa-masa Khilafah. Kita sering bangga dengan pengetahuan
yang kita dapat dari peradaban Barat, memuja-muja kedikdayaan Barat, padahal
kalau mau kita merinci bahwasanya sumber ilmu dan pengetahuan berawal dari
cendikia-cendikia muslim, maka sepatutnyalah kita berbesar hati dan menanamkan
semangat pembaharuan dan pantang menyerah. Islam adalah ajaran yang selalu
terintegritas dengan seni, bahkan cakupan seni dalam Islam sangatlah luas,
sehingga janganlah Anda menutupi bahkan membatasi usaha Anda tanpa meninggalkan
dan melupakan syar’i dan iman sebagai Muslim. Billahi fi sabililhaq, fastabiqul
khoirot..