Karakteristik Perkembangan Konsep Diri Peserta Didik
Konsep diri bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir,
ketika kita lahir, kita tidak memiliki konsep diri, tidak memiliki pengetahuan
tentang diri, dan tidak memiliki pengharapan apa pun terhadap diri kita
sendiri. Konsep diri terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung sejak
masa pertumbuhan hingga dewasa.
Karakteristik Konsep
Diri Anak Usia Sekolah
Seiring dengan pertumbuhan dan perubahan fisik, kognitif,
dan kemampuan sosial, anak usia sekolah dasar juga mengalami perubahan
pandangan terhadap dirinya sendiri. Pada awal-awal sekolah dasar, terjadi
penurunan dalam konsep diri anak-anak. Sekolah dasar banyak memberikan
kesempatan kepada anak-anak untuk membandingkan dirinya dengan teman-temannya,
sehingga penilaian dirinya secara gradual menjadi lebih realistis. Menurut
Santrock (1995), perubahan-perubahan dalam konsep diri anak selama tahun-tahun
sekolah dasar dapat dilihat sekurang-kurangnya dari tiga karakteristik konsep
diri, yaitu (1) karakteristik internal, (2) karakteristik aspek-aspek sosial,
dan (3) karakteristik perbandingan sosial.
Karakteristik
Internal. Anak usia sekolah dasar lebih memahami dirinya melalui
karakteristik internal daripada melalui karakteristik eksternal. Penelitian F.
Abound dan S. Skeryy (1983), menemukan bahwasanya anak-anak kelas dua jauh
lebih cenderung menyebutkan karakteristik psikologis (seperti preferensi atau
sifat-sifat kepribadian) dalam pendefinisian diri mereka dan kurang cenderung
menyebutkan karakteristik fisik (seperti warna mata atau pemilikan).
Karakteristik Aspek-aspek
Sosial. Selama tahun-tahun sekolah
dasar, aspek-aspek sosial dari pemahaman diri anak-anak juga meningkat. Dalam
suatu investigasi, anak-anak sekolah dasar sering kali menjadikan
kelompok-kelompok sosial sebagai acuan dalam deskripsi diri mereka (Livesly
& Bromley, 1983).
Karakteristik
Perbandingan Sosial. Pemahaman diri anak-anak usia sekolah dasar juga
mengacu pada perbandingan sosial (social comparison). Pada tahap ini, anak-anak
cenderung membedakan diri mereka dari orang lain secara komparatif daripada
secara absolut. Pergeseran perkembangan ini menyebabkan suatu kecenderungan
yang meningkat untuk membentuk perbedaan-perbedaan seseorang dari orang lain
sebagai seorang individu.
Sejumlah ahli psikologi perkembangan percaya bahwa dalam
perkembangan pemahaman diri, pengambilan perspektif (perspective taking,
kemampuan untuk mengambil perspektif orang lain dan memahami pemikiran dan
perasaan-perasaannya) memainkan peranan penting. Menurut sejumlah ahli,
anak-anak usia 6 tahun mampu memahami perspektif orang lain, namun belum bisa
diasosiasikan dengan masing-masing tingkat, sebab kemampuan anak dalam
pengambilan peran mungkin berfluktuasi dari suatu waktu ke waktu lain (Macoby,
1980). Beberapa anak dapat memahami perspektif orang lain pada suatu peristiwa,
tetapi mungkin gagal mempertahankan perspektif tersebut dalam jangka waktu yang
lama.
Karakteristik Konsep
Diri Remaja (SMP-SMA)
Ketika anak-anak memasuki masa remaja, konsep diri mereka
akan mengalami perkembangan yang sangat kompleks dan melibatkan sejumlah aspek
dalam diri mereka. Santrock (1998) menyebutkan sejumlah karakteristik penting
perkembangan konsep diri pada masa remaja, yaitu :
Abstract and
Idealistic. Pada masa remaja, anak-anak lebih mungkin membuat gambaran
tentang diri mereka dengan kata-kata yang abstrak dan idealistis. Contoh
pernyataan remaja usia 14 tahun mengenai dirinya : “ saya seorang manusia, saya
tidak dapat memutuskan sesuatu, saya tidak tahu siapa diri saya, saya orang
yang sensitif, saya rasa, saya cukup cantik “. Meskipun tidak semuanya, namun
sebagian besar remaja membedakan antara diri mereka yang sebenarnya dengan diri
yang diidamkannya.
Differentiated. Dibandingkan
dengan anak-anak yang lebih muda, remaja lebih mungkin untuk menggambarkan
dirinya sesuai dengan konteks atau situasi yang semakin berdiferensiasi.
Dibandingkan dengan anak-anak, remaja lebih mungkin memahami bahwa dirinya
memiliki diri-diri yang berbeda-beda (differentiated selves), sesuai dengan
peran atau konteks tertentu.
Contradictions Within the Self. Setelah
remaja mendiferensiasikan dirinya ke dalam sejumlah peran dan dalam konteks
yang berbeda-beda, maka muncullah kontradiksi antara diri-diri yang
berdiferensiasi ini. Susan Harter (1986), dalam penelitiannya menemukan bahwa
terdapat sejumlah istilah yang kontradiktif yang digunakan remaja dalam
mendeskripsikan dirinya (seperti; jelek dan menarik, mudah bosan dan ingin
tahu, peduli dan tak peduli, tertutup dan suka bersenang-senang) meningkat pada
remaja kelas tujuh dan kelas sembilan.
The Fluctiating
Self. Sifat yang kontradiktif dalam diri remaja pada gilirannya akan
memunculkan fluktuasi diri dalam berbagai situasi dan lintas waktu. Diri remaja
akan terus memiliki ciri ketidakstabilan hingga masa di mana remaja berhasil
membentuk teori mengenai dirinya yang lebih utuh, dan biasanya tidak terjadi
hingga masa remaja akhir, bahkan hingga masa dewasa awal.
Real and Ideal,
True and False Selves. Kemampuan untuk menyadari adanya perbedaan antara
diri yang nyata (real self) dengan diri yang dianggap ideal (ideal self)
menunjukkan adanya peningkatan kemampuan kognitif remaja. Penelitian yang
dilakukan Strachen dan Jones (1982) menunjukkan bahwa pada pertengahan masa
remaja diskrepansi yang lebih besar antara diri yang nyata dengan diri ideal
dibandingkan dengan pada awal dan akhir masa remaja. Remaja cenderung
menunjukkan diri yang palsu ketika berada di lingkungan teman-teman sekelasnya,
namun ketika berada bersama sahabat atau teman baiknya, kecil kemungkinan
remaja menunjukkan dirinya yang palsu.
Social Comparison.
Sejumlah ahli perkembangan percaya bahwa dibandingkan dengan anak-anak, remaja
lebih sering menggunakan social comparison (perbandingan sosial) untuk
mengevaluasi diri mereka sendiri. Menurut remaja, terungkapnya motif
perbandingan sosial mereka akan membahayakan popularitas mereka. Demikian juga,
informasi perbandingan sosial di masa remaja dapat menimbulkan kebingungan
karena banyaknya kelompok referensi.
Self-Concscious.
Karakteristik lain dari konsep diri remaja adalah bahwa remaja lebih sadar akan
dirinya (self-conscious) dibandingkan dengan anak-anak dan lebih memikirkan
tentang pemahaman diri mereka. Remaja menjadi lebih introspektif, yang mana hal
ini merupakan bagian dari kesadaran diri mereka dan bagian dari eksplorasi
diri. Remaja kadang-kadang meminta dukungan dan penjelasan dari teman-teman
sebayanya, memperoleh opini teman-temannya mengenai definisi diri yang baru
muncul.
Self-Protective.
Mekanisme untuk mempertahankan diri (self-protective) adalah salah satu aspek
dari konsep diri remaja. Dalam upaya melindungi dirinya, remaja cenderung
menolak adanya karakteristik negatif dalam dirinya. Gambaran diri yang positif
seperti menarik, suka bersenang-senang, sensitif, penuh kasih sayang, dan ingin
tahu, lebih sering disebutkan sebagai bagian inti dari diri remaja yang
penting. Remaja memiliki kecenderungan untuk menutupi keadaan yang dianggapnya
tidak penting karena remaja cenderung menggambarkan diri mereka dengan cara
yang idealistis.
Unconscious.
Konsep diri remaja pada masa remaja akhir, melibatkan adanya pengenalan bahwa
komponen yang tidak disadari (unconscious) termasuk dalam dirinya, sama seperti
komponen yang disadari (conscious). Remaja yang lebih tua akan lebih yakin
dengan adanya aspek-aspek tertentu dari pengalaman mental diri mereka yang
berada di luar kesadaran atau kontrol mereka dibandingkan dengan remaja yang
lebih muda.
Self-Integration.
Pada masa remaja akhir, konsep diri menjadi lebih berintegrasi, di mana bagian
yang berbeda-beda dari diri secara sistematik menjadi satu kesatuan. Remaja
yang lebih tua, lebih mampu mendeteksi adanya ketidakkonsistenan dalam gambaran
diri mereka pada masa sebelumnya ketika ia berusaha untuk mengonstruksikan
teori mengenai diri secara umum. Ketika remaja menghadapi tekanan untuk
membagi-bagi diri menjadi sejumlah peran, muncullah pemikiran formal
operasional yang mendorong proses integrasi dan perkembangan dari suatu teori
diri yang konsisten dan koheren.
McDevitt dan Ormrod (2002) mencatat dua fenomena yang
menonjol dalam perkembangan konsep diri pada masa remaja awal (10-14 tahun). Pertama, kebanyakan anak-anak remaja
awal percaya bahwa dalam situasi sosial, dirinya menjadi pusat perhatian dari
orang lain. Aspek egosentris (self-centered) dari konsep diri remaja ini
disebut dengan istilah imaginary
audience. Anak gadis SMP misalnya, ketika berjalan memasuki kelas, dia
berpikir bahwa semua mata tertuju pada penampilannya. Karena mereka percaya
bahwa dirinya menjadi pusat perhatian, maka remaja gadis cenderung memerhatikan
penampilan mereka dan sangat kritis terhadap dirinya sendiri, serta juga
beranggapan bahwa orang lain suka memerhatikan dan mengkritik dirinya.
Kedua, fenomena
lainnya dalam perkembangan konsep diri remaja awal adalah personal fable, yaitu perasaan akan adanya keunikan pribadi yang
dimilikinya. Remaja awal sering percaya bahwa dirinya berbeda dengan orang
lain. Mereka sering berpikir bahwa orang-orang di sekitar mereka tidak pernah
merasakan apa yang ia alami.
Implikasi
Perkembangan Konsep Diri Peserta Didik Terhadap Pendidikan
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa konsep diri
merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan psikososial peserta
didik. Konsep diri memengaruhi perilaku peserta didik dan akan mempunyai
hubungan yang sangat menentukan proses pendidikan dan prestasi belajar peserta
didik. Berikut ini adalah beberapa strategi yang mungkin dapat dilakukan guru
dalam mengembangkan dan meningkatkan konsep diri peserta didik.
1. Membuat siswa merasa mendapat
dukungan dari guru. Dukungan dari guru dapat ditunjukkan
dalam bentuk dukungan emosional (emotional support), seperti ungkapan empati,
kepedulian, perhatian, dan umpan balik, dan dapat pula berupa dukungan
penghargaan (esteem support), seperti melalui ungkapan hormat (penghargaan)
positif terhadap siswa, dorongan untuk maju atau persetujuan dengan gagasan dan
perbandingan positif antara satu siswa dengan siswa lainnya.
2. Membuat siswa merasa bertanggung
jawab. Memberi kesempatan kepada siswa untuk membuat
keputusan sendiri atas perilakunya dapat diartikan sebagai upaya guru untuk
memberi tanggung jawab kepada siswa. Tanggung jawab ini akan mengarahkan sikap
positif siswa terhadap diri sendiri, hal ini juga menunjukkan adanya
penghargaan guru terhadap perilaku siswa, sehingga siswa merasa dirinya
mempunyai peranan dan diikutsertakan dalam kegiatan pendidikan.
3. Membuat siswa merasa mampu.
Guru harus berpandangan bahwa semua siswa pada dasarnya memiliki kemampuan, hanya
saja mungkin belum dikembangkan. Dengan sikap dan pandangan positif terhadap
kemampuan siswa ini, maka siswa juga akan berpandangan positif terhadap
kemampuan dirinya.
4. Mengarahkan siswa untuk mencapai
tujuan yang realistis. Dalam upaya guru agar meningkatkan
konsep diri siswa harus membentuk siswa untuk menetapkan tujuan yang hendak
dicapai serealistis mungkin, yakni tujuan yang sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki siswa tersebut. Penetapan tujuan yang realistis ini dapat dilakukan
dengan mengacu pada pencapaian prestasi di masa lampau, sehingga siswa akan
terbantu untuk bersikap positif terhadap kemampuan dirinya sendiri.
5. Membantu siswa menilai diri mereka
secara realistis. Guru perlu membantu siswa menilai
prestasi mereka secara realistis, karena cenderung siswa yang pada saat
mengalami kegagalan akan menilai dirinya secara negatif, dengan memandang
dirinya sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan. Salah satu cara membantu
siswa menilai diri mereka secara realistis adalah dengan membandingkan prestasi
siswa pada masa lampau dan prestasi siswa saat ini agar dapat membangkitkan
motivasi, minat, dan sikap siswa terhadap seluruh tugas di sekolah.
6. Mendorong siswa agar bangga dengan
dirinya secara realistis. Guru semestinya membantu dalam
mengembangkan konsep diri siswa agar bangga dengan prestasi yang telah
dicapainya. Ini penting, karena perasaan bangga atas prestasi yang dicapai
merupakan salah satu kunci untuk menjadi individu yang lebih positif dalam
memandang kemampuan yang dimiliki.