PENGERTIAN KEPRIBADIAN DALAM PSIKOLOGI
Jika kita bicara tentang kepribadian tentu setiap orang
memiliki pendapatnya masing-masing. Kepribadian itu memiliki banyak arti,
bahkan begitu banyaknya boleh dikatakan jumlah definisi dan arti dari
kepribadian adalah sejumlah orang yang menafsirkannya. Hal ini terjadi karena
adanya perbedaan dalam penyusunan teori, penelitian dan pengukurannya.
Istilah kepribadian merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris
“personality”. Sedangkan istilah personality secara etimologis berasal dari
Bahasa latin “person” (kedok) dan “personare” (menembus). Persona biasanya
dipakai oleh para pemain sandiwara pada zaman kuno untuk memerankan suatu
bentuk tingkah laku dan karakter pribadi tertentu. Sedangkan yang dimaksud
dengan personare adalah bahwa para pemain sandiwara itu dengan melalui kedoknya
berusaha menembus keluar untuk mengekspresikan suatu bentuk gambaran manusia
tertentu. Misalnya: seorang pendiam, pemurung, periang, peramah, pemarah dan
sebagainya. Jadi, persona itu bukan pribadi pemain itu sendiri, tetapi gambaran
pribadi dari tipe manusia tertentu dengan melalui kedok yang dipakainya.
Secara umum kepribadian menunjuk
pada bagaimana individu tampil dan menimbulkan kesan bagi individu-individu
lainnya. Pada dasarnya definisi dari kepribadian secara umum ini kurang tepat
karena hanya menilai perilaku yang dapat diamati saja dan tidak mengabaikan
kemungkinan bahwa ciri-ciri ini bisa berubah tergantung pada situasi sekitarnya
selain itu definisi ini disebut lemah karena sifatnya yang bersifat evaluatif
(menilai), bagaimanapun pada dasarnya kepribadian itu tidak dapat dinilai
“baik” atau “buruk” karena bersifat netral.
Dalam kawasan Psikologi mengenai
kepribadian, para ahli psikolog khususnya sepakat bahwa kepribadian adalah keunikan
atau keistimewaan individu dalam berinteraksi dengan individu sekitarnya. Teori
yang paling populer adalah teori “Sigmund Freud” yang memandang kepribadian
sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga sistem yaitu Id, Ego dan
Superego. Dan tingkah laku, menurut Freud, tidak lain merupakan hasil dari
konflik dan rekonsiliasi ketiga sistem kepribadian tersebut. Sedangkan Gordon
W. Allport memberikan definisi kepribadian sebagai berikut: “ Kepribadian
adalah Organisasi dinamis
dalam diri individu sebagai sistem praktis psikofisis yang menentukan caranya
yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan”.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian
besar pengertian menekankan pentingnya melihat kepribadian dari sudut “sejarah
hidup”, perkembangan, dan perspektif. Kepribadian, menurut teoris kepribadian,
merepresentasikan proses keterlibatan subyek atau individu atas
pengaruh-pengaruh internal dan eksternal yang mencakup faktor-faktor genetik
atau biologis, pengalaman-pengalaman sosial, dan perubahan lingkungan. Atau
dengan kata lain, corak dan keunikan kepribadian individu itu dipengaruhi oleh
faktor-faktor bawaan dan lingkungan.
Kepribadian mengandung kecenderungan-kecenderungan dalam menentukan
(determinasi) yang memainkan peran aktif dalam tingkah laku individu.
Kepribadian adalah sesuatu dalam melakukan sesuatu. Kepribadian terletak di
belakang perbuatan-perbuatan khusus dan di dalam individu. Dalam arti
kepribadian itu bukan hanya ada selama ada orang lain bereaksi terhadapnya,
tetapi lebih jauh dari itu mempunyai eksetensi real (keadaan nyata), yang
termasuk di dalamnya segi-segi neural dan fisiologis.
Para ahli psikologi memberikan penekanan bahwa yang
dipelajari oleh psikologi bukanlah jiwa, tetapi tingkah laku manusia, baik
perilaku yang kelihatan (overt) maupun yang tidak kelihatan (covert).
Tingkah laku manusia dianalisis ke
dalam tiga aspek atau fungsi, yaitu :
Aspek Kognitif (pengetahuan), yaitu pemikiran, ingatan,
khayalan, daya bayang, inisiatif, kreativitas, pengamatan, dan penggunaan
indera. Fungsi aspek kognitif adalah menunjukkan jalan, mengarahkan, dan
mengendalikan tingkah laku.
Aspek Afektif, yaitu kejiwaan yang berhubungan dengan
kehidupan alam perasaan atau emosi, sedangkan hasrat, kehendak, kemauan,
keinginan, kebutuhan, dorongan, dan elemen motivasi lainnya disebut aspek
konatif atau psiko-motorik (kecenderungan atau niat tindak) yang tidak dapat
dipisahkan dengan aspek afektif. Kedua aspek tersebut sering disebut aspek
finalis yang berfungsi sebagai energi atau tenaga mental yang menyebabkan
manusia bertingkah laku.
Aspek Motorik, yaitu berfungsi sebagai pelaksana tingkah laku
manusia seperti perbuatan dan gerakan jasmani lainnya.
Perkembangan Kepribadian
Meskipun kepribadian seseorang itu relatif konstan, namun
dalam kenyataannya sering ditemukan bahwa perubahan kepribadian dapat dan
mungkin terjadi, terutama dipengaruhi oleh faktor lingkungan dari pada faktor
fisik. Erikson mengemukakan tahapan perkembangan kepribadian dengan
kecenderungan yang bipolar :
1. Masa bayi (infancy)
ditandai adanya kecenderungan Trust – mistrust. Perilaku bayi
didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di
sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya, tetapi orang yang dianggap
asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu kadang-kadang bayi
menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia bukan saja tidak
percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada benda asing, tempat
asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya. Kalau menghadapi
situasi-situasi tersebut seringkali bayi menangis.
2. Masa kanak-kanak awal (early
childhood)
ditandai adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt. Pada
masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam
arti duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong
oleh orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan
keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan atau persetujuan
dari orang tuanya.
3. Masa pra sekolah (Preschool Age)
ditandai adanya kecenderungan initiative – guilty. Pada masa
ini anak telah memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut
dia terdorong melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak
tersebut masih terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-kegagalan
tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk sementara waktu
dia tidak mau berinisiatif atau berbuat.
4. Masa Sekolah (School Age)
ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority. Sebagai
kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat aktif
mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk mengetahui dan
berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak lain karena
keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya kadang-kadang dia
menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan. Hambatan dan kegagalan ini
dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.
5. Masa Remaja (adolescence)
ditandai adanya kecenderungan identity – Identity Confusion.
Sebagai persiapan ke arah kedewasaan didukung pula oleh kemampuan dan
kecakapan-kecakapan yang dimilikinya dia berusaha untuk membentuk dan
memperlihatkan identitas diri, ciri-ciri yang khas dari dirinya. Dorongan
membentuk dan memperlihatkan identitas diri ini, pada para remaja sering sekali
sangat ekstrim dan berlebihan, sehingga tidak jarang dipandang oleh
lingkungannya sebagai penyimpangan atau kenakalan. Dorongan pembentukan
identitas diri yang kuat di satu pihak, sering diimbangi oleh rasa setia kawan
dan toleransi yang besar terhadap kelompok sebayanya. Di antara kelompok sebaya
mereka mengadakan pembagian peran, dan seringkali mereka sangat patuh terhadap
peran yang diberikan kepada masing-masing anggota.
6. Masa Dewasa Awal (Young
adulthood)
ditandai adanya kecenderungan intimacy – isolation. Kalau
pada masa sebelumnya, individu memiliki ikatan yang kuat dengan kelompok
sebaya, namun pada masa ini ikatan kelompok sudah mulai longgar. Mereka sudah
mulai selektif, dia membina hubungan yang intim hanya dengan orang-orang
tertentu yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk
hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab atau renggang
dengan yang lainnya.
7. Masa Dewasa (Adulthood)
ditandai adanya kecenderungan generativity-stagnation. Sesuai
dengan namanya masa dewasa, pada tahap ini individu telah mencapai puncak dari
perkembangan segala kemampuannya. Pengetahuannya cukup luas, kecakapannya cukup
banyak, sehingga perkembangan individu sangat pesat. Meskipun pengetahuan dan
kecakapan individu sangat luas, tetapi dia tidak mungkin dapat menguasai segala
macam ilmu dan kecakapan, sehingga tetap pengetahuan dan kecakapannya terbatas.
Untuk mengerjakan atau mencapai hal– hal tertentu ia mengalami hambatan.
8. Masa hari tua (Senescence)
ditandai adanya kecenderungan ego integrity – despair. Pada
masa ini individu telah memiliki kesatuan atau intregitas pribadi, semua yang
telah dikaji dan didalaminya telah menjadi milik pribadinya. Pribadi yang telah
mapan di satu pihak digoyahkan oleh usianya yang mendekati akhir. Mungkin ia
masih memiliki beberapa keinginan atau tujuan yang akan dicapainya tetapi
karena faktor usia, hal itu sedikit sekali kemungkinan untuk dapat dicapai.
Dalam situasi ini individu merasa putus asa. Dorongan untuk terus berprestasi
masih ada, tetapi pengikisan kemampuan karena usia seringkali mematahkan
dorongan tersebut, sehingga keputusasaan acapkali menghantuinya.
Ericson tidak merasa bahwa semua periode yang penting dalam
bertambahnya perbuatan yang disengaja dan kemampuan yang lebih tinggi terjadi
pada masa kritis secara berturut-turut. Ia menegaskan bahwa perkembangan
psikologi terjadi karena tahapan-tahapan kritikal. Kritikal adalah karakteristik
saat membuat keputusan antara kemajuan dan kemunduran. Pada situasi seperti ini
bisa saja terjadi perkembangan atau kegagalan, sehingga dapat mengakibatkan
masa depan yang lebih baik atau lebih buruk, tetapi sebetulnya situasi tersebut
dapat disusun kembali. Ericson percaya bahwa kepribadian masih dapat dibuat dan
diubah pada masa dewasa.