Setiap manusia pasti memiliki
naluri untuk hidup, naluri adalah kepekaan terhadap sesuatu yang begitu
dibutuhkan oleh diri individu. Juga manusia dibekali Allah Swt suatu naluri
untuk mempertahankan eksistensi kehidupannya di dunia, yaitu naluri untuk berpasang-pasangan.
Masing-masing makhluk memiliki pasangan dan berupaya bertemu dengan
pasangannya. Sepertinya, tidak ada satu naluri yang lebih dalam dan kuat
dorongannya daripada bertemu dengan lawan jenis, laki-laki dan perempuan,
jantan dan betina, positif dan negatif, dsb.
Sebagaimana agama yang memahami
fitrah manusia, Islam telah mensyariatkan pernikahan bagi setiap manusia.
Dengan pernikahan, seseorang dapat memenuhi kebutuhan fitrahnya secara benar
sebagai suami istri. Selain itu, mereka juga memperoleh pahala, karena telah
melaksanakan ibadah yang sesuai dengan syariat-Nya.
Dalam pandangan Islam, menikah
bukan sekedar formalisasi hubungan suami istri, pergantian status, atau upaya
pemenuhan kebutuhan biologis manusia. Pernikahan bukan sekedar upacara sakral
yang termasuk bagian daur hidup manusia. Menikah merupakan ibadah yang
syariatkan oleh Allah Swt melalui rasul-Nya. Atas dasar ini pula pernikahan
menjadi bukti ketundukan seseorang kepada Allah Swt dan rasul-Nya.
Penting sekali untuk diingat bahwa
pernikahan itu adalah ibadah, jadi yang namanya ibadah itu telah ada
tuntunannya sebagaimana ibadah-ibadah lainnya seperti shalat, puasa, zakat,
atau haji. Oleh karena itu, apabila pernikahan dinodai oleh bid’ah (hal-hal
yang tidak diajarkan oleh Rasulullah saw) dan khurafat (ajaran yang tidak masuk
akal, takhayul), maka tercabutlah status aktivitas tersebut dari ibadah dan
malah bisa menjadi dosa. Sebagaimana firman Allah Swt :
“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan
pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari
diri mereka, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (TQS. Yaasiin; 36).
Ayat di atas menunjukkan tentang law of sex atau hukum berpasangan yang
diletakkan oleh Allah Swt, terhadap segala sesuatu. Dengan demikian, pernikahan
atau keinginan memiliki pasangan merupakan sunnatullah. Artinya, ketetapan
tersebut diberlakukan oleh-Nya terhadap semua makhluk.
Manusia merupakan makhluk sosial
yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya, baik secara lahir maupun bathin, tanpa
bantuan orang lain. Sehingga, diperlukan kerjasama serta interaksi harmonis
antarindividu. Meski demikian, semakin dekat hubungan, semakin banyak tuntutan
dan tidak mudah memeliharanya, misalnya hubungan pernikahan yang pada
realitasnya tidak mudah dipertahankan. Pengalaman hidup dan dinamika kejadian
dalam berinteraksi dengan orang lain membuktikan betapa sulitnya hubungan antar
manusia. Namun ketika kita mampu menjaga dan memelihara hubungan baik dengan
sesama manusia lainnya, sebenarnya pada saat itu kita juga telah memenuhi
kebutuhan dasar kita, yaitu kebersamaan.
Setiap orang pada umumnya pasti
senang memiliki pasangan, tapi pernahkah kita bertanya mengapa demikian dan
untuk apa sebenarnya?. Pasangan merupakan benteng sekaligus pendukung kita.
Bahkan, ia menjadi representasi diri kita yang berada di luar. Oleh karena itu,
dalam kehidupan berumah tangga, tidak ada istilah problem pribadi, tapi wajib
dipandang sebagai problem bersama. Kebersamaan dalam ikatan pernikahan
merupakan puncak penyatuan jiwa, akal, harapan, dan cita-cita. Kebersamaan
tersebut merupakan kebersamaan yang paling mendukung lahirnya ketenangan dan
ketentraman hidup. Tidak ada satu kebersamaan pun yang melebihi kebersamaan
dalam pernikahan.
Mendambakan pasangan merupakan
fitrah sebelum dewasa, lalu menjadi dorongan yang sulit dibendung ketika
dewasa. Kesendirian dan keterasingan dapat menghantui manusia. Sebab pada
dasarnya, manusia memiliki sifat ketergantungan pada orang lain.
Ketika Anda
Memilih Pasangan Hidup
Menurut pandangan Islam, pernikahan
bukan hanya persoalan pribadi, namun juga persoalan sosial yang paling besar.
Oleh karenanya, segala hal yang ditimbulkan oleh kesalahan dalam memilih
pasangan tidak hanya berdampak pada pasangan suami istri, tetapi juga bisa
meluas dan merambat ke masyarakat. Sehingga muncullah penyakit-penyakit sosial
sebagai dampak perceraian, karena komponen dalam masyarakat itu sendiri terdiri
dari beberapa keluarga.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra.
Rasulullah Saw, bersabda : “Perempuan itu
dinikahi karena empat hal; harta, keturunan, dan agamanya. Pilihlah atas dasar
agama, tentu kamu akan bahagia.” (HR. Bukhari).
Dalam hadist lainnya yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr. Rasulullah Saw, bersabda : “Janganlah kamu menikahi perempuan karena
kecantikannya. Sebab, boleh jadi kecantikan itu akan membinasakannya. Dan,
janganlah kamu menikahi mereka karena hartanya. Sebab, boleh jadi harta
tersebut akan menjadikannya sombong. Tetapi, nikahilah perempuan karena
agamanya. Budak yang hitam kulitnya, tetapi taat beragama, ia adalah lebih
utama.” (HR. Ibn Majah, Bazzar, & Baihaqi).
Ketika Rasulullah Saw, mengatakan,
“Janganlah kamu menikahi perempuan karena kecantikannya. Sebab, boleh jadi
kecantikan itu akan membinasakannya”, hal itu bukan merupakan larangan mempertimbangkan
kecantikan atau ketampanan calon pasangan hidup. Tetapi, merupakan larangan
agar tidak menjadikan wajah sebagai satu-satunya alasan atau motivasi untuk
menikahi seseorang. Sebab, kecantikan atau ketampanan kadang membawa petaka dan
menimbulkan fitnah jika tidak dijaga dengan akhlak mulia. Jadi, bijaksanalah
anda bila memilih pasangan hidup, selalu minta perlindungan Allah Swt dari tipu
muslihat setan laknatullah yang selalu menghasut serta menggoda kita menuju
jurang kesesatan dan kenistaan. Pilihlah yang cantik, namun cantik bukan segala-galanya.
Dalam memilih pasangan yang benar
dan baik, kita perlu mengetahui ciri-ciri juga kriteria pria/ wanita yang
memiliki kualitas pribadi muslim yang bagus. Ada cukup banyak perbedaan di
masyarakat dalam mempersepsikan pribadi muslim. Banyak orang menganggap bahwa
pribadi muslim hanya terdapat pada orang yang rajin menjalankan Islam dalam hal
ubudiah semata. Padahal, ubudiah hanya salah satu bagian dari beberapa bagian
lainnya yang harus dimiliki oleh seorang muslim. Jika disederhanakan,
setidaknya ada sepuluh karakter yang mencerminkan pribadi muslim, antara lain
sebagai berikut :
a.
Salimul Akidah
(akidah yang benar)
Akidah merupakan persoalan yang sangat penting dalam diri setiap muslim. Dengan akidah yang benar, seorang muslim mampu memiliki ikatan yang kuat dengan Allah Swt, sehingga tidak akan terjerumus pada kesesatan dan penyimpangan.
b.
Shahihul Ibadah
(ibadah yang benar)
Seorang pasangan yang
ideal adalah pasangan yang betul-betul mengedepankan tata cara beribadahnya,
taat terutama dalam urusan shalat. Rasulullah Saw bersabda; “Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku
shalat”. Berdasarkan hadist tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam
melaksanakan setiap ibadah harus merujuk pada sunnah beliau yang benar.
c.
Mathinul Khuluq
(akhlak yang kokoh)
Dari Abu Hurairah,
Rasulullah Saw bersabda; “Jika kalian
didatangi oleh laki-laki yang kalian ridha terhadap agama dan akhlaknya, maka
nikahkanlah ia. Jika tidak, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi ini, serta
kerusakan yang luas”. Akhlak yang kuat merupakan sikap yang harus dimiliki
oleh setiap muslim baik kepada Allah Swt, maupun terhadap makhluk-Nya. Dengan
akhlak mulis, manusia bisa bahagia dalam hidup di dunia dan akhirat.
d.
Qawiyyul Jismi (kekuatan
jasmani)
Kekuatan jasmani juga
menjadi salah satu ciri pribadi muslim. Seorang muslim yang memiliki kekuatan
jasmani mempunyai daya tahan tubuh, sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam
secara optimal dengan fisik yang kuat. Shalat, puasa, dan haji merupakan
beberapa bentuk ibadah yang pelaksanaannya memerlukan fisik yang sehat dan
kuat. Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus menjadi perhatian anda pula
dalam memilih pasangan hidup.
e.
Mutsaqqoful
Fikri (cerdas dalam berpikir)
Kecerdasan pikiran
termasuk salah satu komponen pembentuk kepribadian muslim. Cerdas juga adalah
salah satu sifat rasul, yaitu fathanah
(cerdas). Sebagaimana pula dijelaskan di dalam Al-Qur’an, misalnya seperti ayat
berikut : “... Demikianlah, Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 219).
Islam menganjurkan setiap muslim untuk berpikir terlebih dahulu sebelum
bertindak. Dengan demikian, seorang muslim dengan pribadi muslim harus memiliki
wawasan keislaman dan keilmuan yang luas.
f.
Mujahadatul
Linafsihi (berjihad melawan hawa nafsu)
Pada dasarnya manusia
memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan berbuat buruk. Sehingga, seorang
muslim harus selalu berjuang dan melawann hawa nafsu yang mengajak pada keburukan.
Perjuangan tersebut menuntut adanya kesungguhan dan tindakan yang nyata. Hawa
nafsu dalam setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam.
Rasulullah Saw bersabda: “Tidak beriman
seorang dari kamu, hingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku
bawa (ajaran Islam).” (HR. Hakim).
g.
Harishun ’ala
Waqtihi (pandai menjaga waktu)
Setiap muslim dituntut
untuk pandai mengelola waktu, sehingga dengan begitu waktu berlalu dengan
penggunaan yang efektif dan mengurangi tindakan sia-sia. Rasulullah Saw, selalu
memperingatkan kaum muslim untuk memanfaatkan momentum lima perkara sebelum
datang lima perkara yaitu; waktu hidup sebelum waktu mati, sehat sebelum sakit,
waktu muda sebelum datangnya waktu tua, senggang sebelum sibuk, dan kaya sebelum
miskin. Jadi, pertimbangkanlah pasangan hidup anda yang pandai dalam
menggunakan waktunya dengan tujuan baik.
h.
Munadzamun fi
Syu’unihi (teratur dalam urusan)
Dalam hukum Islam, baik
yang terkait dengan ubudiah maupun muamalah, setiap urusan harus diselesaikan
dengan baik. Ketika suatu urusan ditangani secara bersama-sama, maka harus
dikerjakan sama-sama dengan tuntas dan baik. Bersungguh-sungguh, bersemangat,
berkorban, berkelanjutan, dan berbasis ilmu pengetahuan dalam setiap pekerjaan
yang dia lakukan, perihal tersebut merupakan hal-hal yang wajib diperhatikan
secara serius sebagai seorang muslim.
i.
Qadirun ‘alal
Kasbi (memiliki kemampuan untuk mandiri)
Karakter lain yang
harus ada dalam diri seorang muslim adalah kemampuan berusaha sendiri
(mandiri). Sebab, mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkan nilai-nilai
kehidupan dibutuhkan sikap kemandirian, terutama dari segi ekonomi. Perlu anda
ingat, sosok seorang pribadi muslim tidak selalu miskin, seorang muslim wajib
dan harus kaya agar bisa menunaikan ibadah haji, zakat, infaq, shadaqah, dan
mempersiapkan masa depan yang baik. Dengan tujuan menciptakan kemandirian
itulah, seorang muslim wajib memiliki keahlian apa saja, asalkan baik dan
bermanfaat bagi dirinya, keluarga, serta orang lain.
j.
Nafi’un Lighoirihi
(bermanfaat bagi orang lain)
Bermanfaat bagi orang
lain merupakan tuntutan kepada setiap muslim. Manfaat yang dimaksud adalah
manfaat yang baik, sehingga di mana pun ia berada, orang di sekitar dapat
merasakan manfaatnya. Ini berarti setiap muslim itu harus berpikir,
mempersiapkan diri, dan berupaya semaksimal mungkin agar bisa memberikan
manfaat dan mengambil peran dalam masyarakat. Rasulullah Saw, bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR.
Qudhy).
Kita adalah makhluk dengan
kesempurnaan yang Allah berikan dengan sebaik-baik kepada makhluk-Nya, juga
kita telah diciptakan untuk berpasang-pasangan di muka bumi ini. Mungkin saat
ini dari anda ada yang sudah menemukan pasangannya, ada juga yang belum. Mungkin
anda ada yang merasa belum menemukan pasangan hidup yang pas, padahal anda
telah memiliki pasangan. Mungkin juga ada dari anda yang bingung atau bahkan
tidak tahu bagaimana cara untuk menemukan pasangan yang cocok bagi anda. Perlu sekali
anda ingat bahwa, pasangan anda adalah cerminan dari perilaku anda. Jadi,
apabila anda ingin menemukan pasangan yang baik, anda harus terlebih dahulu
menjadikan diri anda baik dan bermanfaat bagi orang banyak.
Billahi fii sabilil haq, Fastabiqul khairat..
wassalamualaikum wr. wb...!!