Menghargai Nilai-Nilai Pribadi Klien/ Konseli
A. Konsep
nilai-nilai pribadi
Secara umum hubungan konseling
dimaknai sebagai hubungan yang bersifat membantu, artinya pembimbing berusaha
membantu terbimbing agar tumbuh, berkembang, sejahtera dan mandiri. Shertzer
& Stone (1981) mendefinisikan hubungan konseling sebagai: “ interaksi
antara seorang dengan orang lain yang dapat menunjang dan memudahkan secara
positif bagi perbaikan orang tersebut”. Selanjutnya Rogers mendefinisikan
hubungan konseling sebagai : “ Hubungan seorang dengan orang lain yang datang
dengan maksud tertentu”. Hubungan itu bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan,
perkembangan, kematangan,memperbaiki fungsi dan memperbaiki kehidupan.
Sedangkan sifat dari hubungan konseling adalah menghargai terbuka, fungsional
untuk menggali aspek-aspek tersembunyi (emosional, ide, sumber-sumber informasi
dan pengalaman dan potensi secara umum). Benyamin (dalam Shertzer &
Stone,1981) mengartikan hubungan konseling adalah interaksi antara seorang
profesional dengan konseli, dengan syarat bahwa profesional itu mempunyai
waktu, kemampuan untuk memahami dan mendengarkan, serta mempunyai minat,
pengetahuan dan keterampilan. Hubungan konseling yang terjadi harus memudahkan
dan memungkinkan orang yang dibantu untuk hidup lebih mawas diri dan harmonis.
Sofyan S. Willis (2004) menjelaskan sejumlah karakteristik dari hubungan
konseling, yang dapat membedakan antara hubungan konseling dengan relasi
antarmanusia biasa seperti yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Karakteristik
yang dimaksud, antara lain :
1. sifat bermakna.
Maknanya adalah bahwa hubungan konseling mengandung harapan
bagi konseli dan konselor, juga bertujuan, yaitu tercapainya perkembangan
konseli.
2. bersifat efek.
Efek adalah perilaku-perilaku emosional, sikap dan
kecenderungan-kecenderungan yang didorong oleh emosi. Efek hadir dalam hubungan
konseling karena adanya keterbukaan diri ( self-disclosure) konseli,
keterpikatan, keasyikan diri (self-absorbed ) dan saling sensitif satu
sama lain.
3. integrasi pribadi.
Integritas pribadi menyangkut sikap yang genuine” dari kedua
belah pihak (konseli dan konselor), yaitu sikap yang menunjukkan ketulusan,
tanpa kepura-puraan, menampilkan keaslian diri, membuang kesombongan, arogansi
dan kebohongan. Adanya ketulusan, kejujuran keutuhan dan keterbukaan.
4. persetujuan bersama.
Hubungan konseling terjadi atas persetujuan bersama,adanya
komitmen bersama, bukan sebuah paksaan.
5. kebutuhan.
Hubungan konseling yang terjadi didasarkan atas faktor
kebutuhan,yaitu kebutuhan konseli dalam hubungannya dengan persoalan yang
tengah dihadapi. Maka hubungan konseling selalu bercorak pemecahan masalah
( problem solving).
6. perubahan.
Tujuan hubungan konseling adalah perubahan positif yang
terjadi pada diri konseli. Misalnya kemampuan konseli dalam mengatasi
masalah,mampu melakukan penyesuaian diri, mampu mengembangkan diri secara
optimal
B.
Terbentuknya
nilai-nilai pribadi
C.
Keyakinan
konselor terhadap hakikat manusia
B.F Skinner dan Watsan (Gerold Corey,
Terjemahan E. Koeswara, 1988). Menerangkan tentang hakikat manusia : Manusia
dipandang memiliki kecenderungan-kecenderungan positif dan negatif yang sama. Manusia
pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budaya. Segenap
tingkah laku manusia itu dipelajari. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk
membentuk nasibnya sendiri.
Virginia Satir (Dalam Thompson dan
Rodolph, 1983). Memandang bahwa manusia pada hakikatnya positif, Satir
berkesimpulan bahwa pada setiap saat, dalam suasana apapun juga, manusia dalam
keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.
Hal pertama yang perlu diperhatikan
ialah keyakinan atau pandangan konselor tentang hakikat manusia. Manusia itu
pada dasarnya baik. Demikianlah konseli,yang adalah manusia, pada dasarnya
baik. Harus diyakini bahwa konseli (yang adalah manusia) pada dirinya
mengandung kebaikan-kebaikan yang perlu dan dapat dikembangkan. Justru tugas
konselorlah membantu konseli menemukan, mengungkapkan, dan mengembangkan
kebaikan-kebaikan pada diri konseli itu. Pada dasarnya manusia memiliki
kecenderungan yang positif. Kecenderungan yang positif itu kadang-kadang
terganggu karena konseli mengalami sesuatu masalah. Dalam hal ini, sekali lagi,
konselor bertugas membantu meringankan beban konseli dan membebaskannya dari
gangguan masalah ini. Jika konseli terbebas dari gangguan itu, maka dasar-dasar
kebaikan dan kecenderungan yang positif dapat dipastikan akan terwujud dalam
bentuk-bentuk yang baik dan positif pula.
Filsafat bimbingan dan konseling
bersumber dari filsafat tentang hakikat manusia. Ragam penafsiran dalam
memahami hakikat manusia dapat digolongkan ke dalam tiga model. Pertama,
penafsiran rasionalistis atau klasik, bersumber dari filsafat yunani dan
romawi, yang memandang manusia sebagai makhluk rasional dan manusia di pahami
dari segi hakikat dan keunikan pikirannya. Pandangan ini merupakan pandangan
optimistik, terutama mengenai keyakinan akan kemampuan pikirannya. Kedua,
penafsiran teologis melihat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan dibuat
menurut aturan Tuhan. Manusia hanya akan menemukan dirinya apabila dia mampu
mengakui hakikat dirinya kepada Tuhan. Penafsiran ini tidak melihat manusia
dari segi keunikan pikiran atau hubungannya dengan alam. Ketiga, penafsiran
ilmiah yang diwarnai ragam sudut pandang keilmuan, antara lain ilmu-ilmu fisis
yang menganggap manusia sebagai bagian dari alam fisikal sehingga harus
dipahami dari segi-segi hukum fisis dan biologisnya.
Ketiga penafsiran tersebut bukanlah
penafsiran yang komprehensif tentang hakikat manusia. Penafsiran rasionalistis
melupakan unsur kehendak yang ada pada manusia dan harapan sosial yang harus
menjadi rujukan dalam proses berpikir manusia. Penafsiran teologis meletakkan
manusia hanya bergantung kepada kekuatan transendental dan nilai-nilai
ke-tuhanan menjadi sesuatu yang sempit dan statis karena tidak bisa dipikirkan
oleh manusia. Penafsiran ilmiah hanya melihat manusia sebagai bagian kecil dari
dunianya yang harus tunduk kepada hukum-hukum alam, atau manusia sebagai produk
sosial belaka.
Unsur pikiran, fitrah, kehendak,
kebebasan, harapan sosial, hukum alam, dan nilai-nilai transendental adalah
faktor-faktor eksistensial yang melekat pada kehidupan manusia. Memahami
hakikat manusia berarti memahami seluruh faktor yang disebutkan secara
komprehensif dan utuh. Manusia adalah makhluk Allah Yang Maha Kuasa, yang
memiliki kehendak dan kebebasan, manusia patut mengembangkan diri atas dasar
kemerdekaan pikiran dan kehendak yang dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada
Allah SWT, dalam tatanan kehidupan bersama yang tertuju kepada pencapaian
kehidupan sejalan dengan fitrahnya. Kondisi eksistensial manusia mengandung
makna bahwa manusia berada dalam proses menjadi menuju keberadaan diri sebagai
makhluk pribadi, sosial dan makhluk Allah Yang Maha Kuasa.