A. Pandangan Teori
Belajar Konstruktivisme
Teori
Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif,
yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme
sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan
kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman.
Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Salah
satu prinsip psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak begitu saja
memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa yang harus aktif membangun
pengetahuan dalam pikiran mereka. Tokoh yang berperan pada teori ini adalah
Jean Piaget dan Vygotsky. Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai
pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna
dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami
hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus
respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia
membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya
sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan
yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan
dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai
pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai
beberapa konsep umum seperti :
- Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
- Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
- Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
- Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
- Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
- Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.
Salah
satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian
dari teori kognitif juga.
Teori
ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan
kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar,
yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa.
Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri
tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori
motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya,
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan
bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau
pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran
menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skema yang dimilikinya. Asimilasi adalah penyerapan
informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali
struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut
mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain
adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan
baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan
tersebut (Suparno, 1996: 7).
Lebih
jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Belajar merupakan proses untuk membangun
penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan. Bahkan, perkembangan
kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan
berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri
merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan
keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari
pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa
pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda
berdasarkan kematangan intelektual anak. Pada teori ini konsekuensinya dalah
siswa harus memiliki ketrampilan unutk menyesuaikan diri atau adaptasi secara
tepat. Menurut C. Asri Budiningsih menjelaskan bahwa ada dua macam proses adaptasi
yaitu adaptasi bersifat autoplastis, yaitu proses penyesuaian diri dengan cara
mengubah diri sesuai suasana lingkungan, lalu adaptasi yang bersifat aloplastis
yaitu adaptasi dengan mengubah situasi lingkungan sesuai dengan keinginan diri
sendiri.
Berkaitan
dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver
dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik
sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan
memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses
keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar
melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi
pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum
bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan
sumber. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skema sehingga
pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara
hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari
pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan
faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut
adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan
intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap
perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan
intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan
urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan
tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan
sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan,
pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan
adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut
dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang
menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur
kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda
dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang
dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam
interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam
belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi,
1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis
Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya
pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun
implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi,
1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar
konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan
berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum
dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu,
latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik
diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang
membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik.
B. Pembelajaran Menurut
Teori Belajar Konstruktivisme
Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan
tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa.
Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya
berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak
diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu dan pengetahuan
sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan
dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori
belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingnya membuat
kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah
mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley
(1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam
pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak
dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa.
Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui
pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua
pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara
aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu
pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4)
mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar
itu didasari pada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk
mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang
akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain
penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar
konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya
dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara
mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih
bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4)
siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan
ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam
upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20)
mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai
berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya
dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir
tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3)
memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5)
mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif. Selain itu Slavin menyebutkan
strategi-strategi belajar pada teori kontruktivisme adalah top-down processing(
siswa belajar dimulai dengan masalah yang kompleks untuk dipecahkan, kemudian
menemukan ketrampilan yang dibutuhkan, cooperative learning(strategi yang
digunakan untuk proses belajar, agar siswa lebih mudah dalam menghadapi problem
yang dihadapi dan generative learning(strategi yang menekankan pada integrasi
yang aktif antara materi atau pengetahuan yang baru diperoleh dengan skemata.
Dari
beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu
kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa
dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi
atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain,
siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.
Unsur
Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivis
Berdasarkan
hasil analisis Akhmad Sudrajat terhadap sejumlah kriteria dan pendapat sejumlah
ahli, Widodo, (2004) menyimpulkan tentang lima unsur penting dalam lingkungan
pembelajaran yang konstruktivis, yaitu :
1. Memperhatikan dan
memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan
pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan.
Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan
pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran harus
memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk
mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.
2. Pengalaman belajar
yang autentik dan bermakna
Segala
kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga
bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar siswa
benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan
pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk mengaitkan
pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari kehidupan
sehari-hari, dan juga penerapan konsep.
3. Adanya lingkungan
sosial yang kondusif,
Siswa
diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa
maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja
dalam berbagai konteks sosial.
4. Adanya dorongan agar
siswa bisa mandiri
Siswa
didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena
itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur
kegiatan belajarnya.
5. Adanya usaha untuk
mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.
Sains
bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses
dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan
memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.
Pembelajaran
konstruktivisme merupakan pembelajaran yang cukup baik dimana siswa dalam
pembelajaran terjun langsung tidak hanya menerima pelajaran yang pasti seperti
pembelajaran bihavioristik. Misalnya saja pada pelajaran pkn, tentang tolong
menolong dan siswa di tugaskan untuk terjun langsung dan terlibat mengamati
suatu lingkungan bagaimana sikap tolong menolong terbangun. Dan setelah itu
guru memberi pengarahan yang lebih lanjut. Siswa lebih mamahami makna ketimbang
konsep.
C. Kesimpulan
Jadi
teori kontruktivisme adalah sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu
tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Salah satu teori atau
pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme
adalah teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian dari teori
kognitif juga. Piaget menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada
proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan.
Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai
fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan
konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar
kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran
seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang
dimilikinya.