A.
Psikologi
Agama dalam Islam
Secara terminologi, memang psikologi agama
tidak dijumpai dalam kepustakaan Islam klasik, karena latar belakang sejarah
perkembangannya bersumber dari literatur barat. Namun sudah sejak lama Al-qur’an
menginformasikan bahwa manusia makhluk ciptaan Tuhan memiliki sosok diri yang
terbentuk dari unsur fisik dan non-fisik (biologi dan psikologi).
Manusia menurut terminologi Al-qur’an dapat
dilihat dari berbagai sudut pandang. Manusia disebut al-basyar berdasarkan
pendekatan aspek biologisnya, sedangkan dilihat dari fungsi dan potensi yang
dimilikinya manusia disebut al-insan. Konsep al-insan menggambarkan
fungsi manusia sebagai penyandang khalifah Tuhan yang dikaitkan dengan proses
penciptaan dan pertumbuhan serta perkembangannya (QS 2:30 dan QS 23:12-14).
Selain itu, konsep al-insan juga menunjukkan potensi yang
dimiliki manusia seperti kemampuan untuk mengembangkan ilmu (QS 96:4-5). Di
samping itu, konsep ini juga menggambarkan sejumlah sifat-sifat dan tanggung
jawab manusia seperti lupa, khilaf, tergesa-gesa, suka membantah, kikir, tidak
bersyukur, dan sebagainya. Namun, kepadanya dibebankan amanah dan tanggung
jawab untuk berbuat baik (QS 29:8).
Kemudian manusia juga disebut al-Nas
yang umumnya dilihat dari sudut pandang hubungan sosial yang dilakukannya.
Selain sebagai makhluk sosial, manusia juga dibebankan tanggung jawab sosial,
baik dalam bentuk lingkungan sosial yang paling kecil (keluarga) maupun yang
lebih besar seperti masyarakat, etnik, maupun bangsa. Manusia pun disebut
sebagai al-Ins untuk menggambarkan aspek spiritual yang dimilikinya. Dalam
bentuk pengertian umum, al-qur’an menyebut manusia sebagai “Bani Adam”. Bani
Adam menggambarkan tentang kesamaan dan persamaan manusia, yang ditekankan pada
aspek fisik.
Selanjutnya, manusia menurut pandangan
Islam juga dipandang sebagai makhluk psikis. Unsur-unsur psikis manusia itu
menurut konsep Islam senantiasa dihubungkan dengan nilai-nilai agama. Konsep
tentang manusia dalam Islam menjadikan pendekatan Islam berbeda dengan
pendekatan psikologi pada umumnya. Dengan demikian, psikologi agama sebagai
telaah terhadap kesadaran dan pengalaman agama melalui pendekatan psikologi
akan jadi berbeda pula dalam memandang manusia dalam kehidupannya.
Pendekatan-pendekatan psikologi yang ada
pada umumnya, belum dapat menggambarkan konsep manusia secara utuh dan lengkap.
Melalui pendekatan konsep Islam tentang manusia, terungkap bahwa manusia adalah
makhluk ciptaan yang memiliki hubungan Makhluk-Khalik secara fitrah. Untuk
menjadikan agar hubungan tersebut berjalan normal, maka manusia dianugerahkan
berbagai potensi yang dipersiapkan untuk kepentingan pengaturan hubungan
tersebut. Berangkat dari pandangan ini terungkap bahwa manusia merupakan
makhluk terpola oleh fitrah ciptaannya, dan sikap ketundukan kepada Penciptanya
merupakan salah satu unsur yang termuat dalam pola tersebut. Potensi ini pula
yang merupakan benih dari rasa keberagamaan yang terdapat pada diri manusia.
B.
Ciri-Ciri
dan Sikap Keberagamaan
William James melihat adanya hubungan
antara tingkah laku keagamaan seseorang dengan pengalaman keagamaan yang
dimilikinya itu. Dalam bukunya The
Varieties of Religious Experience, William James menilai secara garis besar
sikap dan perilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu :
1.
Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The
Sick Soul)
Sikap
keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah
mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang
tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan
atas kematangan beragama yang berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak
hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan
secara normal. Mereka beragama akibat dari suatu penderitaan yang mereka alami
sebelumnya, mereka yang pernah mengalami penderitaan ini terkadang secara
mendadak dapat menunjukkan sikap yang taat hingga ke sikap fanatik terhadap
agama yang diyakininya. Penderitaan tersebut disebabkan oleh dua faktor utama,
yaitu faktor intern dan faktor ekstern :
a.
Faktor intern yang menjadi penyebab dari timbulnya sikap
keberagamaan yang tidak lazim ini adalah :
1) Temperamen, merupakan salah satu unsur pembentuk kepribadian, tingkah laku
yang didasarkan kondisi temperamen memegang peranan penting dalam sikap
keagamaan seseorang.
2) Gangguan Jiwa, orang yang mengidap gangguan jiwa menunjukkan
kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya.
3) Konflik dan Keraguan, konflik kejiwaan yang terjadi pada diri
seseorang mengenai keagamaan mempengaruhi sikap keagamaannya. Konflik dan
keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama seperti taat,
fanatik ataupun agnostis hingga ke ateis.
4) Jauh dari Tuhan, orang yang dalam kehidupannya jauh dari
ajaran agama, lazimnya akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan saat
menghadapi cobaan. Perasaan ini mendorongnya untuk lebih mendekatkan diri
kepada Tuhan, hal ini menyebabkan terjadinya perubahan sikap keagamaan pada
dirinya.
Adapun
ciri-ciri tindak keagamaan mereka yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya
cenderung menampilkan sikap :
a) Pesimis, dalam mengamalkan ajaran agama mereka cenderung untuk berpasrah
diri kepada nasib yang telah mereka terima.
b) Introvert, segala marabahaya dan penderitaan selalu dihubungkannya dengan
kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuat.
c) Menyenangi paham yang Ortodoks, dorongan untuk menyenangi paham
keagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks.
d) Mengalami proses keagamaan secara Nograduasi, timbulnya
keyakinan beragama pada mereka melalui proses pendadakan dan perubahan yang
tiba-tiba.
b. Faktor ekstern yang turut mempengaruhi sikap keberagamaan secara
mendadak, adalah :
1) Musibah, terkadang musibah yang serius dapat mengguncangkan kejiwaan
seseorang. Keguncangan jiwa ini sering pula menimbulkan kesadaran pada diri
manusia dalam berbagai macam tafsiran.
2) Kejahatan, terkadang mereka yang hidup dalam garis kejahatan akan merasakan
dirinya itu berdosa karena perbuatannya tersebut, sehingga dapat mengguncang batinnya
menuju perubahan.
2.
Tipe Orang yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness)
Ciri dan
sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan
oleh W. Houston Clark dalam bukunya Religion
Psychology adalah :
a.
Optimis dan gembira
Orang yang sehat
jiwa selalu menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis.
Segala bentuk musibah dan penderitaan bukan berarti itu karena Tuhan marah,
namun lebih kepada kesalahan dan keteledoran sendiri. Mereka yakin bahwa Tuhan
bersifat pengasih dan penyayang, mereka selalu dapat mengambil hikmah dari
setiap kejadian yang menimpanya.
b.
Ekstrovet dan tak mendalam
Sikap
optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jiwa ini menyebabkan mereka
mudah melupakan kesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses
agamis tindakannya. Mereka senang kepada kemudahan dalam melaksanakan ajaran
agama, sehingga akibatnya, mereka kurang senang mendalami ajaran agama, dosa
mereka anggap sebagai akibat perbuatan mereka yang keliru.
c.
Menyenangi ajaran setauhidan yang liberal
Sebagai
pengaruh kepribadian yang ekstrovet maka mereka cenderung :
1) Menyenangi
teologi yang luwes dan tidak kaku.
2) Menunjukkan
tingkah laku keagamaan yang lebih bebas.
3) Menekankan
ajaran cinta kasih daripada kemurkaan dan dosa.
4) Mempelopori
pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.
5) Selalu
berpandangan positif.
6) Berkembang
secara graduasi (meyakini ajaran agama melalui proses yang wajar dan benar)
Walaupun keberagamaan orang dewasa ditandai
dengan keteguhan dalam pendirian, ketetapan dalam kepercayaan, baik dalam
bentuk positif, maupun negatif, namun dalam kenyataan yang ditemui masih banyak
juga orang dewasa yang berubah keyakinan dan kepercayaan.
C.
Sikap
Keagamaan dan Pola Tingkah Laku
Sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi
afektif terhadap objek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan
penghayatan individu (Mar’at 1982: 19). Rumusan umum tentang sikap adalah :
1.
Sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman
dan interaksi yang terus-menerus dengan lingkungan (attitudes are learned).
2.
Sikap selalu dihubungkan dengan objek seperti manusia, wawasan,
peristiwa ataupun ide (attitudes have referent).
3. Sikap diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain baik di
rumah, sekolah, tempat ibadat, ataupun tempat lainnya melalui nasihat, teladan
atau percakapan (attitudes are social
learning).
4. Sikap sebagai wujud kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara
tertentu terhadap objek (attitudes have readiness
to respons).
5. Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif,
seperti yang tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif atau ragu
(attitudes are affective).
6. Sikap memiliki tingkat intensitas terhadap objek tertentu yakni
kuat atau lemah (attitudes are very
intensive).
7. Sikap bergantung kepada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi
dan saat tertentu mungkin sesuai, sedangkan di saat dan situasi yang berbeda
belum tentu cocok (attitudes have a
time dimension).
8. Sikap dapat bersifat relatif consistent
dalam sejarah hidup individu (attitudes
have duration factor).
9.
Sikap merupakan bagian dari konteks persepsi ataupun kognisi
individu (attitudes are complex).
10. Sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai
konsekuensi tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan (attitudes are evaluations).
11. Sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi
indikator yang sempurna atau bahkan tidak memadai (attitudes are inferred).
Merujuk kepada rumusan di atas, terlihat
bagaimana hubungan sikap dengan pola tingkah laku seseorang. Tiga komponen
psikologis yaitu kognisi, afeksi, konasi yang bekerja secara kompleks merupakan
bagian yang menentukan sikap seseorang terhadap sesuatu objek, baik yang
berbentuk konkret maupun objek yang abstrak. Dengan demikian, sikap yang
ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berpikir, merasa, dan
pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap sesuatu objek.
Bagaimana bentuk sikap keagamaan seseorang
dapat dilihat seberapa jauh keterkaitan komponen kognisi, afeksi, dan konasi
seseorang dengan masalah-msalah yang menyangkut agama. Hubungan tersebut
jelasnya tidak ditentukan oleh hubungan sesaat, melainkan sebagai hubungan
proses, sebab, pembentukan sikap melalui hasil belajar dari interaksi dan
pengalaman. Pembentukan sikap itu sendiri ternyata tidak hanya tergantung
sepenuhnya kepada faktor eksternal, melainkan juga dipengaruhi oleh kondisi
faktor internal seseorang.
Mata rantai hubungan antara sikap dan
tingkah laku terjalin dengan hubungan faktor penentu, yaitu motif yang
mendasari sikap. Motif sebagai tenaga pendorong arah sikap negatif atau positif
akan terlihat dalam tingkah laku nyata pada diri seseorang atau kelompok. Dalam
hubungan ini tergambar bahwa pembentukan sikap keagamaan dapat menghasilkan
bentuk pola tingkah laku keagamaan dengan jiwa keagamaan.
Para ahli didik melihat peran sentral orang
tua sebagai pemberi dasar jiwa keagamaan kepada anaknya. Pandangan ini merujuk
kepada adanya potensi bawaan manusia yaitu fitrah, yang diartikan sebagai
potensi untuk bertauhid. Kajian psikologi transpersonal berpendapat bahwa jiwa
keagamaan sebagai potensi dan daya psikis manusia, mereka mengakui adanya
potensi-potensi luhur (the highest potensials) dan fenomena kesadaran (states of consciousness) manusia. Telaah psikologi
agama tampaknya sudah mulai menyadari potensi-potensi dan daya psikis manusia
yang berkaitan dengan kehidupan spiritual.
Bila disimpulkan telaah dan pandangan yang
ada bahwa jiwa keagamaan sebenarnya merupakan bagian dari komponen intern
psikis manusia. Pembentukan kesadaran agama pada diri seseorang pada hakikatnya
tak lebih dari usaha untuk menumbuh dan mengembangkan potensi dan daya psikis.
Namun yang menjadi permasalahan krusial adalah bagaimana usaha yang dilakukan
agar bimbingan yang diberikan sejalan dengan hakikat potensial yang luhur
tersebut.
Berdasarkan konsep yang telah dijelaskan,
barangkali pemahaman sifat-sifat dasar yang merupakan ciri khas yang ada pada
manusia dapat dikaitkan dengan konsep fitrah dalam pandangan Islam. Jika hal ini
dapat diterima, maka pembentukan sikap dan tingkah laku keagamaan dapat
dilakukan sejalan dengan fitrah tersebut bila situasi lingkungan dibentuk
sesuai dengan ketentuan ajaran agama yang prinsipil, yaitu ketauhidan.