Cinta..???
Dunia selalu menyajikan
dua sisi yang berbeda, ada benar pasti ada salah, timur lawan dari barat, jika
tidak kanan pasti kiri, dan kebalikan dari sunnah pasti bid’ah. Dua sisi itu
berbeda satu sama lain yang tidak mungkin dipersatukan. Begitu pula dalam hal
cinta, jika tidak produktif (positif) pasti konsumtif (negatif). Dua sisi yang
berbeda ini sebagai fitrah agar manusia menggunakan akal dan hati nurani untuk
menentukan kiblat mana yang benar.
Cinta Produktif (Positif)
Cinta dapat dikatakan produktif
atau positif bilamana individu yang dianugerahi perasaan cinta, khususnya
perasaan cinta kepada lawan jenis, dapat menggunakan kecintaannya tersebut
kepada hal-hal yang benar, baik itu secara tuntunan agama, moral, sosial. Cinta
tersebut memberikan dampak positif, konstruktif, kebaikan dunia dan akhirat.
Cinta yang produktif adalah cinta yang menggunakan akal, budi pekerti, ilmu,
etika dan akhlak yang senantiasa memotivasi individu bergairah dalam menjalani
kehidupan dengan cintanya.
Cinta Konsumtif (Negatif)
Cinta dapat dikatakan
konsumtif atau negatif bilamana individu yang memiliki perasaan cinta kepada
lawan jenisnya menjerumus kepada hal-hal yang maksiat dan zina. Cinta yang
konsumtif ditandai dengan pembutaan terhadap akal sehat dan lebih mengedepankan
syahwat daripada dampak kerugian yang akan didapat di kemudian harinya. Cinta
konsumtif identik dengan kegiatan seks yang ditonjolkan dan hidup seakan-akan
dibutakan oleh perasaan cinta semata dengan mengesampingkan hal-hal yang lebih
penting.
Mendefinisikan Cinta Dalam Kehidupan
Dibalik suksesnya
laki-laki ada seorang wanita. Ungkapan tersebut menjadi pameo hingga kini.
Islam pun mengenal ungkapan Rasullulah Saw, bahwa wanita adalah tiang negara,
jika akhlak wanitanya hancur, maka hancur pula negara itu. Sedemikian besarnya
rasa cinta laki-laki terhadap wanita sehingga memunculkan sebuah pengabdian
yang pada gilirannya kendali peradaban ada di tangan wanita.
Cinta, wanita dan seks
adalah satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Al-Quran sendiri mensinyalir adanya
kecenderungan kuat manusia terhadap lawan jenisnya.
“Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang terbak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia;
dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14)
Bahkan psikolog Sigmund
Freud mengakui peran seks sebagai salah satu faktor yang mendorong manusia
mempertahankan hidup. Seks yang memberi andil besar dalam kehidupan manusia.
Karena seks, manusia banting tulang peras keringat bahkan tak jarang saling
menjatuhkan. Tak jarang pula seks yang mengobarkan peperangan, seks yang
berarti wanita menjadi bumbu kehidupan yang tak henti-hentinya dieksploitasi
dan orang bahkan tak jemu membicarakannya. Intinya, manusia ada karena dorongan
seks.
Dalam buku “Berpikir
dan Menjadi Kaya”, Napoleon Hill mengungkapkan, energi seks adalah energi
kreatif semua jenius, tidak pernah ada dan tidak akan ada pemimpin besar dunia,
seorang seniman yang tidak mendapatkan dorongan seks. Napoleon Hill bahkan
mengaitkan kejeniusan seseorang dengan dorongan seks. Seorang menjadi sangat
kreatif dalam bidangnya berkat dorongan seks (wanita). Dorongan seks dipercaya
dipercaya mempengaruhi kejeniusan William Shakespeare dalam menciptakan
lakon-lakon drama dan menulis cerita-cerita fiksi begitu mengesankan. Taj Mahal
di India berdiri megah juga karena dorongan seks, mengenang sang istri tercinta
Muntaj Mahal. Kahlil Ghibran, yang mendapat julukan : “The Immortal Prophet of
Lebanon”, menjadi begitu jenius merangkai kata-kata yang melegenda dalam buku
“Al-Ajninah Mutaakaatsiroh” atau sayap-sayap patah, itu juga karena dorongan
seks.
Di balik kesuksesan
para tokoh dunia, masih banyak orang yang menenggelamkan diri hanya karena
cinta atau wanita. Tak sedikit muda-mudi yang tengah dimabuk cinta
menghambur-hamburkan energi cinta untuk mejeng, jalan-jalan berdua setiap saat,
nonton bioskop, dan begadang sepanjang malam. Energi mereka habis oleh hal-hal
yang tidak ada kaitannya dengan kemajuan diri. Tak sedikit yang menghamburkan
energi cinta dengan seks pra nikah. Cinta dan seks memang saling terkait, tapi
cinta bukan seks.
Sementara itu banyak
wanita muda yang tega menghinakan dirinya dengan pakaian ketat atau setengah
telanjang hanya karena ingin dilirik banyak laki-laki. Mungkin saja banyak
laki-laki yang suka, tapi hanya sebatas ingin menikmati tubuhnya. Laki-laki
pada umumnya tidak sudi memiliki calon istri yang doyan buka-bukaan, murahan
dan tidak memiliki sopan santun. Tragisnya, tak sedikit pula yang larut dan
tenggelam dalam cinta. Tak sedikit yang lantas bunuh diri hanya karena alasan
cinta. Tak sedikit laki-laki yang memperkosa wanita yang dicintainya hanya
karena cintanya ditolak. Lebih tragis lagi, tak sedikit yang kabur dari rumah
orang tuanya hanya karena cinta tidak direstui.
Makna Cinta Produktif
Secara bahasa produktif
berarti menghasilkan atau berkarya. Secara umum makna cinta produktif adalah
seimbangnya antara rasa dan rasio dalam memahami ketertarikan terhadap lawan
jenis. Dari keseimbangan ini melahirkan pola pikir konstruktif yang mendorong
si pelaku untuk produktif atau berkarya yang positif atas landasan cinta.
Keseimbangan antara
rasa dan rasio memungkinkan seseorang untuk tidak terseret atau larut dalam
cinta yang membabi buta, tapi juga tidak antipati (cuek) dalam urusan cinta.
Antara rasa ingin mencintai dan dicintai dengan rasio yang selalu memberikan
pertimbangan positif akan menuntun seseorang untuk berpikir realistis.
Cinta produktif bisa
bermakna tanggung jawab, bahkan menurut Erich Fromm (1947), cinta produktif itu
harus memiliki elemen-elemen dasar yaitu : perlindungan, tanggung jawab,
penghormatan dan pengetahuan. Perlindungan dan tanggung jawab menunjukkan bahwa
cinta adalah sebuah aktivitas dan bukan sebuah nafsu.
Seorang suami yang
menganut cinta produktif akan memiliki tanggung jawab penuh untuk menghidupi
istrinya. Kerja keras peras keringat banting tulang mencari penghidupan ke sana
kemari adalah wujud tanggung jawab itu. Begitu pula seorang istri yang menganut
cinta produktif akan memaksimalkan uang hasil kerja suaminya untuk keperluan
tumah tangga. Dia bertanggung jawab untuk mencukupkan uang gaji suami hingga
gajian berikutnya. Di samping itu dia memahami kondisi pekerjaan suam sehingga
tidak mengajukan permintaan berlebihan yang akan jadi beban berat bagi suami.
Gambaran Cinta Dalam Islam
Dalam Islam cinta itu
universal, cinta tidak terbatas dalam urusan laki-laki dan wanita. Namun semua
cinta itu harus atas dasar cinta kepada Allah SWT. Begitu pula cinta kita
terhadap lawan jenis merupakan perwujudan cinta kepada Allah SWT. Cinta
terhadap lawan jenis itu dikategorikan ibadah yang harus dijalani segenap kaum
muslimin. Ibadah yang dimaksud adalah khitbah dan menikah.
Bagi seorang muslim,
hidup hanyalah untuk ibadah, segenap langkah kita harus diniatkan ibadah kepada
Allah SWT. Hal yang terkait dengan cinta lawan jenis hanyalah sebagian urusan
saja, karena itu kaum muslimin terutama remaja Islam tidak boleh memfokuskan
pikiran dan menghabiskan waktu hanya untuk urusan lawan jenis. Terlebih lagi
kekasih sebagai manusia biasa yang juga memiliki aib atau kekurangan, salah
besar jika memandang seorang kekasih begitu sempurna dan tidak mau melihat aib
atau kekurangannya.
“Cintailah kekasihmu sekedarnya saja
sebab suatu waktu bisa menjadi musuh anda, bencilah musuh anda sekedarnyaa saja
sebab bisa jadi suatu waktu menjadi kekasih anda.” (Ali bin Abi Thalib)
Seharusnya para remaja
dapat memanfaatkan waktu muda untuk bekerja keras. Kesampingkan segala hal yang
mengganggu kerja keras dan kreativitas, termasuk urusan yang terkait dengan
lawan jenis. Jika telah tiba saatnya menikah yaitu usia cukup dan siap
bertanggung jawab baik secara moril maupun materil, maka jodoh itu tinggal
memilih apa lagi jika posisi kita sukses, jodoh itu mengikuti dengan sendirinya
bahkan kita dapat menentukan sesuai dengan kualitas yang kita inginkan.
“Allah SWT tidak akan merubah nasib
seseorang sebelum ia merubahnya sendiri.” (QS. Ar-Ra’d : 11)
“Katakanlah : ‘Siapakah yang
memberikan rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?’ Katakanlah : ‘Allah”.
(QS. Saba : 24)
Saatnya kita berpikir
kualitas diri, raih cita-cita setinggi mungkin, dapatkan nikmat Allah yang
paling kita harapkan termasuk pasangan yang kita inginkan. Allah telah
menakdirkan manusia untuk berpasang-pasangan, yaitu laki-laki berpasangan
dengan wanita dan sebaliknya. Tapi urusan siapa wanita itu, kualitasnya seperti
apa, namanya, anak siapa dan alamatnya di mana itu bergantung usaha
masing-masing individu.
“Dan bahwasanya Dia-lah yang menciptakan berpasang-pasangan pria
dan wanita. Dari air mani, apabila dipancarkan”. (QS. An-Najm : 45-46)
Untuk lebih mengenal lagi makna cinta yang sejati,
alangkah bijaknya kita simak kisah berikut dan kita kaji kebenarannya.
Layla
dan Majnun
Alkisah, seorang kepala suku Bani Umar
di Jazirah Arab memiIiki segala macam yang diinginkan orang, kecuali satu hal
bahwa ia tak punya seorang anakpun. Tabib-tabib di desa itu menganjurkan
berbagai macam ramuan dan obat, tetapi tidak berhasil. Ketika semua usaha
tampak tak berhasil, istrinya menyarankan agar mereka berdua bersujud di
hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon kepada Allah swt memberikan anugerah
kepada mereka berdua. "Mengapa tidak?" jawab sang kepala suku. "Kita
telah mencoba berbagai macam cara. Mari, kita coba sekali lagi, tak ada
ruginya."
Mereka pun bersujud kepada Tuhan,
sambil berurai air mata dari relung hati mereka yang terluka. "Wahai
Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami merasakan
manisnya menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami tanggung
jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada
kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami."
Tak lama kemudian, doa mereka
dikabulkan, dan Tuhan menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang diberi
nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Qais dicintai oleh semua orang.
Ia tampan, bermata besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat perhatian dan
kekaguman. Sejak awal, Qais telah memperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik
istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan
memainkan musik, menggubah syair dan melukis.
Ketika sudah cukup umur untuk masuk
sekolah, ayahnya memutuskan membangun sebuah sekolah yang indah dengan guru-guru
terbaik di Arab yang mengajar di sana, dan hanya beberapa anak saja yang
belajar di situ. Anak-anak lelaki dan perempuan dan keluarga terpandang di
seluruh jazirah Arab belajar di sekolah baru ini.
Di antara mereka ada seorang anak
perempuan dari kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah, yang memiliki
kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam; karena alasan inilah
mereka menyebutnya Laila-"Sang Malam". Meski ia baru berusia dua
belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi, sebab-sebagaimana
lazimnya kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang
masih sangat muda, yakni sembilan tahun.
Laila dan Qais adalah teman sekelas.
Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik satu sama lain.
Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan ini makin lama menjadi
api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi tempat belajar.
Kini, sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang
mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba waktunya menulis pelajaran,
mereka justru saling menulis namanya di atas kertas. Bagi mereka berdua, tak
ada teman atau kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan Laila.
Mereka buta dan tuli pada yang
lainnya. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai mengetahui cinta mereka, dan
gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar. Di zaman itu, tidaklah pantas seorang
gadis dikenal sebagai sasaran cinta seseorang dan sudah pasti mereka tidak akan
menanggapinya. Ketika orang-tua Laila mendengar bisik-bisik tentang anak gadis
mereka, mereka pun melarangnya pergi ke sekolah. Mereka tak sanggup lagi
menahan beban malu pada masyarakat sekitar.
Ketika Laila tidak ada di ruang kelas,
Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah dan menyelusuri
jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya. Ia
menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan. Ia hanya berbicara
tentang Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali bila
mereka bertanya tentang Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata, "
Lihatlah Qais , ia sekarang telah menjadi seorang majnun, gila!"
Akhirnya, Qais dikenal dengan nama
ini, yakni “Majnun”. Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara
membuat Majnun tidak tahan. Ia hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Laila
kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang
dengan bijaksana menyadari bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, ia pasti
akan menjumpai Majnun.
Majnun menemukan sebuah tempat di
puncak bukit dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk dirinya yang
menghadap rumah Laila. Sepanjang hari Majnun duduk-duduk di depan gubuknya,
disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa itu. Ia
berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa
yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia
menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta
memberitahunya bahwa ia dekat.
Ia menghirup angin dari barat yang
melewati desa Laila. Jika kebetulan ada seekor anjing tersesat yang berasal
dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan merawatnya, mencintainya
seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan menjaganya sampai tiba saatnya
anjing itu pergi jika memang mau demikian. Segala sesuatu yang berasal dari
tempat kekasihnya dikasihi dan disayangi sama seperti kekasihnya sendiri.
Bulan demi bulan berlalu dan Majnun
tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya kepada Laila demikian besar sehingga
ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya kembali. Terkadang
sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia berbicara
kepada mereka hanya tentang Laila, tentang betapa ia sangat kehilangan dirinya.
Suatu hari, tiga anak laki-laki,
sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian terharu oleh penderitaan dan
kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad membantunya untuk berjumpa kembali
dengan Laila. Rencana mereka sangat cerdik. Esoknya, mereka dan Majnun
mendekati rumah Laila dengan menyamar sebagai wanita. Dengan mudah mereka
melewati wanita-wanita pembantu dirumah Laila dan berhasil masuk ke pintu
kamarnya.
Majnun masuk ke kamar, sementara yang
lain berada di luar berjaga-jaga. Sejak ia berhenti masuk sekolah, Laila tidak
melakukan apapun kecuali memikirkan Qais. Yang cukup mengherankan, setiap kali
ia mendengar burung-burung berkicau dari jendela atau angin berhembus semilir,
ia memejamkan.matanya sembari membayangkan bahwa ia mendengar suara Qais
didalamnya. Ia akan mengambil dedaunan dan bunga yang dibawa oleh angin atau
sungai dan tahu bahwa semuanya itu berasal dari Qais. Hanya saja, ia tak pernah
berbicara kepada siapa pun, bahkan juga kepada sahabat-sahabat terbaiknya,
tentang cintanya.
Pada hari ketika Majnun masuk ke kamar
Laila, ia merasakan kehadiran dan kedatangannya. Ia mengenakan pakaian sutra
yang sangat bagus dan indah. Rambutnya dibiarkan lepas tergerai dan disisir
dengan rapi di sekitar bahunya. Matanya diberi celak hitam, sebagaimana
kebiasaan wanita Arab, dengan bedak hitam yang disebut surmeh. Bibirnya diberi
lipstick merah, dan pipinya yang kemerah-merahan tampak menyala serta
menampakkan kegembiraannya. Ia duduk di depan pintu dan menunggu.
Ketika Majnun masuk, Laila tetap
duduk. Sekalipun sudah diberitahu bahwa Majnun akan datang, ia tidak percaya
bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi. Majnun berdiri di pintu selama
beberapa menit, memandangi, sepuas-puasnya wajah Laila. Akhirnya, mereka
bersama lagi! Tak terdengar sepatah kata pun, kecuali detak jantung kedua orang
yang dimabuk cinta ini. Mereka saling berpandangan dan lupa waktu.
Salah seorang wanita pembantu di rumah
itu melihat sahabat-sahabat Majnun di luar kamar tuan putrinya. Ia mulai curiga
dan memberi isyarat kepada salah seorang pengawal. Namun, ketika ibu Laila
datang menyelidiki, Majnun dan kawan-kawannya sudah jauh pergi. Sesudah
orang-tuanya bertanya kepada Laila, maka tidak sulit bagi mereka mengetahui apa
yang telah terjadi. Kebisuan dan kebahagiaan yang terpancar dimatanya
menceritakan segala sesuatunya.
Sesudah terjadi peristiwa itu, ayah
Laila menempatkan para pengawal di setiap pintu di rumahnya. Tidak ada jalan
lain bagi Majnun untuk menghampiri rumah Laila, bahkan dari kejauhan sekalipun.
Akan tetapi jika ayahnya berpikiran bahwa, dengan bertindak hati-hati ini ia
bisa mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu sama lain, sungguh ia salah
besar.
Ketika ayah Majnun tahu tentang
peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untuk mengakhiri drama itu dengan
melamar Laila untuk anaknya. Ia menyiapkan sebuah kafilah penuh dengan hadiah
dan mengirimkannya ke desa Laila. Sang tamu pun disambut dengan sangat baik,
dan kedua kepala suku itu berbincang-bincang tentang kebahagiaan anak-anak
mereka.
Ayah Majnun lebih dulu berkata,
"Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi
kebahagiaan, yaitu “Cinta dan Kekayaan”. Anak lelakiku mencintai anak
perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa aku sanggup memberi mereka cukup
banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia dan menyenangkan. Mendengar
hal itu, ayah Laila pun menjawab, "Bukannya aku menolak Qais. Aku percaya
kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia dan terhormat," jawab ayah
Laila. "Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkanku kalau aku
berhati-hati dengan anakmu.
Semua orang tahu perilaku abnormalnya.
Ia berpakaian seperti seorang pengemis. Ia pasti sudah lama tidak mandi dan
iapun hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi orang banyak. “Tolong katakan
kawan, jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku, akankah
engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?"
Ayah Qais tak dapat membantah. Apa
yang bisa dikatakannya? Padahal, dulu anaknya adalah teladan utama bagi
kawan-kawan sebayanya? Dahulu Qais adalah anak yang paling cerdas dan berbakat
di seantero Arab? Tentu saja, tidak ada yang dapat dikatakannya. Bahkan, sang
ayahnya sendiri susah untuk mempercayainya. Sudah lama orang tidak mendengar
ucapan bermakna dari Majnun. "Aku tidak akan diam berpangku tangan dan
melihat anakku menghancurkan dirinya sendiri," pikirnya. "Aku harus
melakukan sesuatu."
Ketika ayah Majnun kembali pulang, ia
menjemput anaknya, Ia mengadakan pesta makan malam untuk menghormati anaknya.
Dalam jamuan pesta makan malam itu, gadis-gadis tercantik di seluruh negeri pun
diundang. Mereka pasti bisa mengalihkan perhatian Majnun dari Laila, pikir
ayahnya. Di pesta itu, Majnun diam dan tidak mempedulikan tamu-tamu lainnya. Ia
duduk di sebuah sudut ruangan sambil melihat gadis-gadis itu hanya untuk
mencari pada diri mereka berbagai kesamaan dengan yang dimiliki Laila.
Seorang gadis mengenakan pakaian yang
sama dengan milik Laila; yang lainnya punya rambut panjang seperti Laila, dan
yang lainnya lagi punya senyum mirip Laila. Namun, tak ada seorang gadis pun
yang benar-benar mirip dengannya, Malahan, tak ada seorang pun yang memiliki
separuh kecantikan Laila. Pesta itu hanya menambah kepedihan perasaan Majnun
saja kepada kekasihnya. Ia pun berang dan marah serta menyalahkan setiap orang
di pesta itu lantaran berusaha mengelabuinya.
Dengan berurai air mata, Majnun
menuduh orang-tuanya dan sahabat-sahabatnya sebagai berlaku kasar dan kejam
kepadanya. Ia menangis sedemikian hebat hingga akhirnya jatuh ke lantai dalam
keadaan pingsan. Sesudah terjadi petaka ini, ayahnya memutuskan agar Qais dikirim
untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah dengan harapan bahwa Allah akan
merahmatinya dan membebaskannya dari cinta yang menghancurkan ini.
Di Makkah, untuk menyenangkan ayahnya,
Majnun bersujud di depan altar Kabah, tetapi apa yang ia mohonkan? "Wahai
Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para Pecinta, Engkau yang menganugerahkan
cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu hal saja,”Tinggikanlah cintaku sedemikian
rupa sehingga, sekalipun aku binasa, cintaku dan kekasihku tetap hidup."
Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada
lagi yang bisa ia lakukan untuk anaknya. Usai menunaikan ibadah haji, Majnun
yang tidak mau lagi bergaul dengan orang banyak di desanya, pergi ke pegunungan
tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia tidak kembali ke gubuknya. Alih-alih
tinggal dirumah, ia memilih tinggal direruntuhan sebuah bangunan tua yang
terasing dari masyarakat dan tinggal didalamnya.
Sesudah itu, tak ada seorang pun yang
mendengar kabar tentang Majnun. Orang-tuanya mengirim segenap sahabat dan
keluarganya untuk mencarinya. Namun, tak seorang pun berhasil menemukannya.
Banyak orang berkesimpulan bahwa Majnun dibunuh oleh binatang-binatang gurun
sahara. Ia bagai hilang ditelan bumi.
Suatu hari, seorang musafir melewati
reruntuhan bangunan itu dan melihat ada sesosok aneh yang duduk di salah sebuah
tembok yang hancur. Seorang liar dengan rambut panjang hingga ke bahu,
jenggotnya panjang dan acak-acakan, bajunya compang-camping dan kumal. Ketika
sang musafir mengucapkan salam dan tidak beroleh jawaban, ia mendekatinya. Ia
melihat ada seekor serigala tidur di kakinya. "Hus” katanya, 'Jangan
bangunkan sahabatku." Kemudian, ia mengedarkan pandangan ke arah kejauhan.
Sang musafir pun duduk di situ dengan
tenang. Ia menunggu dan ingin tahu apa yang akan terjadi. Akhirnya, orang liar
itu berbicara. Segera saja ia pun tahu bahwa ini adalah Majnun yang terkenal
itu, yang berbagai macam perilaku anehnya dibicarakan orang di seluruh jazirah
Arab. Tampaknya, Majnun tidak kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan
dengan binatang-binatang buas dan liar. Dalam kenyataannya, ia sudah
menyesuaikan diri dengan sangat baik sehingga lumrah-lumrah saja melihat
dirinya sebagai bagian dari kehidupan liar dan buas itu.
Berbagai macam binatang tertarik
kepadanya, karena secara naluri mengetahui bahwa Majnun tidak akan mencelakakan
mereka. Bahkan, binatang-binatang buas seperti serigala sekalipun percaya pada
kebaikan dan kasih sayang Majnun. Sang musafir itu mendengarkan Majnun
melantunkan berbagai kidung pujiannya pada Laila. Mereka berbagi sepotong roti
yang diberikan olehnya. Kemudian, sang musafir itu pergi dan melanjutkan
petjalanannya.
Ketika tiba di desa Majnun, ia
menuturkan kisahnya pada orang-orang. Akhimya, sang kepala suku, ayah Majnun,
mendengar berita itu. Ia mengundang sang musafir ke rumahnya dan meminta
keteransran rinci darinya. Merasa sangat gembira dan bahagia bahwa Majnun masih
hidup, ayahnya pergi ke gurun sahara untuk menjemputnya.Ketika melihat
reruntuhan bangunan yang dilukiskan oleh sang musafir itu, ayah Majnun dicekam
oleh emosi dan kesedihan yang luar biasa. Betapa tidak! Anaknya terjerembab
dalam keadaan mengenaskan seperti ini. "Ya Tuhanku, aku mohon agar Engkau
menyelamatkan anakku dan mengembalikannya ke keluarga kami," jerit sang
ayah menyayat hati. Majnun mendengar doa ayahnya dan segera keluar dari tempat
persembunyiannya.
Dengan bersimpuh dibawah kaki ayahnya,
ia pun menangis, "Wahai ayah, ampunilah aku atas segala kepedihan yang
kutimbulkan pada dirimu. Tolong lupakan bahwa engkau pernah mempunyai seorang
anak, sebab ini akan meringankan beban kesedihan ayah. Ini sudah nasibku
mencinta, dan hidup hanya untuk mencinta." Ayah dan anak pun saling
berpelukan dan menangis. Inilah pertemuan terakhir mereka.
Keluarga Laila menyalahkan ayah Laila
lantaran salah dan gagal menangani situasi putrinya. Mereka yakin bahwa
peristiwa itu telah mempermalukan seluruh keluarga. Karenanya, orang tua Laila
memingitnya dalam kamamya. Beberapa sahabat Laila diizinkan untuk
mengunjunginya, tetapi ia tidak ingin ditemani. Ia berpaling kedalam hatinya, memelihara
api cinta yang membakar dalam kalbunya.
Untuk mengungkapkan segenap
perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah syair kepada kekasihnya
pada potongan-potongan kertas kecil. Kemudian, ketika ia diperbolehkan
menyendiri di taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan kertas kecil ini
dalam hembusan angin. Orang-orang yang menemukan syair-syair dalam
potongan-potongan kertas kecil itu membawanya kepada Majnun. Dengan cara
demikian, dua kekasih itu masih bisa menjalin hubungan.
Karena Majnun sangat terkenal di
seluruh negeri, banyak orang datang mengunjunginya. Namun, mereka hanya
berkunjung sebentar saja, karena mereka tahu bahwa Majnun tidak kuat lama
dikunjungi banyak orang. Mereka mendengarkannya melantunkan syair-syair indah
dan memainkan serulingnya dengan sangat memukau.
Sebagian orang merasa iba kepadanya;
sebagian lagi hanya sekadar ingin tahu tentang kisahnya. Akan tetapi, setiap
orang mampu merasakan kedalaman cinta dan kasih sayangnya kepada semua makhluk.
Salah seorang dari pengunjung itu adalah seorang ksatria gagah berani bernama
'Amar, yang berjumpa dengan Majnun dalam perjalanannya menuju Mekah. Meskipun
ia sudah mendengar kisah cinta yang sangat terkenal itu di kotanya, ia ingin
sekali mendengarnya dari mulut Majnun sendiri.
Drama kisah tragis itu membuatnya
sedemikian pilu dan sedih sehingga ia bersumpah dan bertekad melakukan apa saja
yang mungkin untuk mempersatukan dua kekasih itu, meskipun ini berarti
menghancurkan orang-orang yang menghalanginya! Ketika Amar kembali ke kota
kelahirannya, Ia pun menghimpun pasukannya. Pasukan ini berangkat menuju desa
Laila dan menggempur suku di sana tanpa ampun. Banyak orang yang terbunuh atau
terluka.
Ketika pasukan 'Amar hampir
memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkan pesan kepada 'Amar, “Jika
engkau atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan putriku, aku akan
menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau ingin membunuhnya, aku tidak
keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah bisa kuterima, jangan
minta aku untuk memberikan putriku pada orang gila itu”. Majnun mendengar
pertempuran itu hingga ia bergegas kesana. Di medan pertempuran, Majnun pergi
ke sana kemari dengan bebas di antara para prajurit dan menghampiri orang-orang
yang terluka dari suku Laila. Ia merawat mereka dengan penuh perhatian dan
melakukan apa saja untuk meringankan luka mereka.
Amar pun merasa heran kepada Majnun,
ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapa ia membantu pasukan musuh, Majnun
menjawab, "Orang-orang ini berasal dari desa kekasihku. Bagaimana mungkin
aku bisa menjadi musuh mereka?" Karena sedemikian bersimpati kepada
Majnun, 'Amar sama sekali tidak bisa memahami hal ini. Apa yang dikatakan ayah
Laila tentang orang gila ini akhirnya membuatnya sadar. Ia pun memerintahkan
pasukannya untuk mundur dan segera meninggalkan desa itu tanpa mengucapkan sepatah
kata pun kepada Majnun.
Laila semakin merana dalam penjara
kamarnya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia nikmati adalah berjalan-jalan di
taman bunganya. Suatu hari, dalam perjalanannya menuju taman, Ibn Salam,
seorang bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila dan serta-merta jatuh cinta
kepadanya. Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera mencari ayah Laila. Merasa lelah
dan sedih hati karena pertempuran yang baru saja menimbulkan banyak orang terluka
di pihaknya, ayah Laila pun menyetujui perkawinan itu.
Tentu saja, Laila menolak keras. Ia
mengatakan kepada ayahnya, "Aku lebih senang mati ketimbang kawin dengan
orang itu." Akan tetapi, tangisan dan permohonannya tidak digubris. Lantas
ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja keadaannya. Perkawinan pun berlangsung
dalam waktu singkat. Orang tua Laila merasa lega bahwa seluruh cobaan berat
akhirnya berakhir juga.
Akan tetapi, Laila menegaskan kepada
suaminya bahwa ia tidak pernah bisa mencintainya. "Aku tidak akan pernah
menjadi seorang istri," katanya. "Karena itu, jangan membuang-buang
waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin, masih ada banyak wanita
yang bisa membuatmu bahagia." Sekalipun mendengar kata-kata dingin ini,
Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya beberapa waktu lamanya, pada
akhirnya Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak mau memaksa Laila, melainkan
menunggunya untuk datang kepadanya.
Ketika kabar tentang perkawinan Laila
terdengar oleh Majnun, ia menangis dan meratap selama berhari-hari. Ia
melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat hati dan mengharu biru kalbu
sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut menangis. Derita dan
kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang berkumpul di
sekelilinginya pun turut bersedih dan menangis. Namun, kesedihannya ini tak
berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan ketenangan
batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia pun terus tinggal di
reruntuhan itu. Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malah menjadi
semakin lebih dalam lagi.
Dengan penuh ketulusan, Majnun
menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas perkawinannya: “Semoga kalian
berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya meminta satu hal sebagai tanda
cintamu, janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau telah memilih orang
lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah lupa bahwa ada seseorang yang,
meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu,
Laila”.
Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan
sebuah anting-anting sebagai tanda pengabdian tradisional. Dalam surat yang
disertakannya, ia mengatakan, "Dalam hidupku, aku tidak bisa melupakanmu
barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu menceritakannya
kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamu ke seluruh dunia, sementara aku
membakarnya di dalam hatiku, dan engkau membakar segala sesuatu yang ada di
sekelilingmu”. “Kini, aku harus menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal
segenap jiwaku menjadi milik orang lain. Katakan kepadaku, kasih, mana di
antara kita yang lebih dimabuk cinta, engkau ataukah aku?.
Tahun demi tahun berlalu, dan
orang-tua Majnun pun meninggal dunia. Ia tetap tinggal di reruntuhan bangunan
itu dan merasa lebih kesepian ketimbang sebelumnya. Di siang hari, ia
mengarungi gurun sahara bersama sahabat-sahabat binatangnya. Di malam hari, ia
memainkan serulingnya dan melantunkan syair-syairnya kepada berbagai binatang
buas yang kini menjadi satu-satunya pendengarnya. Ia menulis syair-syair untuk
Laila dengan ranting di atas tanah. Selang beberapa lama, karena terbiasa
dengan cara hidup aneh ini, ia mencapai kedamaian dan ketenangan sedemikian
rupa sehingga tak ada sesuatu pun yang sanggup mengusik dan mengganggunya.
Sebaliknya, Laila tetap setia pada cintanya.
Ibn Salam tidak pernah berhasil mendekatinya. Kendatipun ia hidup bersama
Laila, ia tetap jauh darinya. Berlian dan hadiah-hadiah mahal tak mampu membuat
Laila berbakti kepadanya. Ibn Salam sudah tidak sanggup lagi merebut
kepercayaan dari istrinya. Hidupnya serasa pahit dan sia-sia. Ia tidak
menemukan ketenangan dan kedamaian di rumahnya. Laila dan Ibn Salam adalah dua
orang asing dan mereka tak pernah merasakan hubungan suami istri. Malahan, ia
tidak bisa berbagi kabar tentang dunia luar dengan Laila.
Tak sepatah kata pun pernah terdengar
dari bibir Laila, kecuali bila ia ditanya. Pertanyaan ini pun dijawabnya dengan
sekadarnya saja dan sangat singkat. Ketika akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, ia
tidak kuasa bertahan, sebab hidupnya tidak menjanjikan harapan lagi. Akibatnya,
pada suatu pagi di musim panas, ia pun meninggal dunia. Kematian suaminya
tampaknya makin mengaduk-ngaduk perasaan Laila. Orang-orang mengira bahwa ia
berkabung atas kematian Ibn Salam, padahal sesungguhnya ia menangisi kekasihnya,
Majnun yang hilang dan sudah lama dirindukannya.
Selama bertahun-tahun, ia menampakkan
wajah tenang, acuh tak acuh, dan hanya sekali saja ia menangis. Kini, ia
menangis keras dan lama atas perpisahannya dengan kekasih satu-satunya. Ketika
masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah ayahnya. Meskipun masih berusia
muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana, yang jarang dijumpai pada diri
wanita seusianya. Sementara api cintanya makin membara, kesehatan Laila justru
memudar karena ia tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri. Ia tidak mau makan
dan juga tidak tidur dengan baik selama bermalam-malam.
Bagaimana ia bisa memperhatikan
kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun semata? Laila
sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup bertahan lama. Akhirnya,
penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa bulan pun menggerogoti
kesehatannya.
Ketika Laila meregang nyawa dan
sekarat, ia masih memikirkan Majnun. Ah, kalau saja ia bisa berjumpa dengannya
sekali lagi untuk terakhir kalinya! Ia hanya membuka matanya untuk memandangi
pintu kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis
dan ia akan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun.
Pada suatu malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun
meninggal dunia dengan tenang sambil bergumam, Majnun… Majnun.. Majnun.
Kabar tentang kematian Laila menyebar
ke segala penjuru negeri dan, tak lama kemudian, berita kematian Lailapun
terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu, ia pun jatuh pingsan di
tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri selama beberapa hari.
Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa Laila. Nyaris
tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas tanah. Majnun
bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Laila di luar kota . Ia
berkabung dikuburannya selama beberapa hari.
Ketika tidak ditemukan cara lain untuk
meringankan beban penderitaannya, perlahan-lahan ia meletakkan kepalanya di
kuburan Laila kekasihnya dan meninggal dunia dengan tenang. Jasad Majnun tetap
berada di atas kuburan Laila selama setahun. Belum sampai setahun peringatan
kematiannya ketika segenap sahabat dan kerabat menziarahi kuburannya, mereka
menemukan sesosok jasad terbujur di atas kuburan Laila.
Beberapa teman sekolahnya mengenali
dan mengetahui bahwa itu adalah jasad Majnun yang masih segar seolah baru mati
kemarin. Ia pun dikubur di samping Laila. Tubuh dua kekasih itu, yang kini
bersatu dalam keabadian, kini bersatu kembali.
Konon, tak lama sesudah itu, ada
seorang Sufi bermimpi melihat Majnun hadir di hadapan Tuhan. Allah swt membelai
Majnun dengan penuh kasih sayang dan mendudukkannya disisi-Nya. Lalu, Tuhan pun
berkata kepada Majnun, "Tidakkah engkau malu memanggil-manggil- Ku dengan
nama Laila, sesudah engkau meminum anggur Cinta-Ku?"
Sang Sufi pun bangun dalam keadaan
gelisah. Jika Majnun diperlakukan dengan sangat baik dan penuh kasih oleh Allah
Subhana wa ta’alaa, ia pun bertanya-tanya, lantas apa yang terjadi pada Laila
yang malang ? Begitu pikiran ini terlintas dalam benaknya, Allah swt pun
mengilhamkan jawaban kepadanya, "Kedudukan Laila jauh lebih tinggi, sebab
ia menyembunyikan segenap rahasia Cinta dalam dirinya sendiri."
Oleh :
Syaikh Sufi Mawlana Hakim Nizhami qs
Sumber :
Negeri Sufi ( Tales from The Land of Sufis )
Dari sepenggal kisah di
atas diketahui bahwa cinta yang sejati adalah cinta tak akan padam meski
terhalang dan dihantam derita. Cinta yang sejati tidak mengenal kata lelah
untuk terus memperjuangkan perasaan yang mereka rasakan. Walaupun kita ketahui
dari kisah di atas bahwa Qais tak mampu menahan beban cintanya sehingga
meninggalkan apa yang seharusnya mampu dilakukannya. Begitulah cinta, begitu
mematikan bagi siapa saja yang tidak mampu menanggung bebannya, namun
ketahuilah semua perasaan cinta itu harus berdasarkan perwujudan dari cinta
kita kepada Allah SWT. Dengan begitu Insha Allah, Allah akan membalas kasih
sayang kita dengan tiada terkira di sisi-Nya.
Billahi Fii
Sabillil Haq, Fastabiqul Khairat...
Wassalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatu...