Makna Hidayah
Bagi Seorang Muslim
Pada
umumnya, kaum muslim mengaitkan hidayah dengan sesuatu yang tidak terjangkau
oleh manusia, atau sesuatu yang langsung datang dari Allah dan bersifat ghaib,
sebaliknya, mereka (kaum muslim) menafikkan usahanya sama sekali untuk meraih
hidayah Allah.
“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka
dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu
tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk
kepadanya”. (QS. Al-Kahfi : 17)
Hidayah
berasal dari kata hada-yahdii-hidayatan
yang berarti menunjuki, hidayah sendiri berarti petunjuk. Definisi ini penting
karena banyak kesalahan pembahasan berawal dari salahnya definisi, termasuk
banyaknya kesalahpahaman tentang hidayah. Lebih dalam lagi, petunjuk adalah
suatu panduan, kumpulan instruksi yang harus dilaksanakan dalam mencapai suatu
tujuan.
Sedikit sekali yang langsung yakin
dan merasa jelas ketika disampaikan pada mereka suatu petunjuk. Ketika kita
mendapatkan petunjuk, biasanya akan muncul banyak sekali keraguan dan
kebimbangan, “apakah saya mampu melakukannya?”, “bagaimana kalau terjadi
sesuatu di tengah-tengah perjalanan?”, “bagaimana jika pemberi petunjuk ini
berbohong kepada saya?” dan lain sebagainya yang muncul menghantui kita.
Sama seperti kita, hidup kita pun
punya tujuan, dan biasanya bila seorang muslim ditanya tentang apa yang
diinginkannya pada akhir hidupnya maka dia akan menjawab surga Allah. Surga
adalah kepunyaan Allah, dan Dia-lah satu-satunya yang berhak menentukan dan
memberikan petunjuk alamatnya kepada kita dan seperti apa cara mencapainya.
Pertanyaannya adalah, sudahkah Allah memberitahukan petunjuk alamat masuk
surga-Nya kepada anda! “Jelas Sudah”.
Al-Qur’an adalah petunjuk
(Al-Huda), yang memuat alamat petunjuk-petunjuk kepada surga-Nya. Al-Qur’an
adalah kitab yang berisikan guidance bagi hidup manusia dari awal sampai
akhirnya, dari urusan yang aling kecil hingga urusan paling besar, mulai dahulu
sampai dengan masa kapan pun. Artinya, ketika seseorang selalu mengikuti
petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dalam menjalani kehidupannya maka dia pasti akan
menemui surga-Nya, allah menetapkan :
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an)
untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira
bagi orang-orang yang berserah diri”. (QS. An-Nahl : 89).
Walaupun
Al-Qur’an telah diyakini kebenarannya oleh seorang muslim, namun tetap saja
sebagian besar yang membacanya tetap akan merasakan kontraindikasi petunjuk
seperti ragu, bimbang, pusing, dan sebagainya. Banyak yang akhirnya terjebak
menjadikan Al-Qur’an justru sebagai tujuan, bukan sebagai petunjuk. Misalnya,
sekelompok kaum muslim seringkali lebih mementingkan dan mengagung-agungkan
hafalan Al-Qur’an dan cara membaca serta bagusnya suara pembacaan Al-Qur’an
saja, lalu berhenti sampai di sana. Mereka lupa bahwa Al-Qur’an adalah
petunjuk, membacanya adalah Sunnah, sedangkan mengamalkannya adalah kewajiban.
Namun, yang sekarang banyak difokuskan justru bukan pada pengamalannya. Maka
wajar kalau umumnya kaum muslim tidak pernah mencapai tujuan hidupnya karena
petunjuk yang diberikan Allah hanya dijadikan sebagai hafalan dan bacaan tanpa
adanya pengamalan.
Atas
dasar ini pula, kita bisa mengatakan bahwa hidayah Allah sebenarnya telah turun
ke tengah-tengah manusia, yaitu dalam bentuk Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya saja
kita belum secara menyeluruh mengamalkannya, sehingga kita belum merasakan apa
itu hidayah dan bagaimana mencapainya.
Adalah
sesuatu yang wajar apabila seseorang merasa ragu dalam menjalani hidayah yang
Allah berikan kepadanya, ada ketakutan-ketakutan yang selalu dibisikkan setan
dalam diri kita sehingga kita meragukan petunjuk yang telah Allah berikan. Cara
yang paling mudah mengatasinya adalah take action! Ambil tindakan! Kemudahan
dan taufik Allah akan datang pada orang yang mengambil langkah nyata untuk
menjalani hidayah Allah.
Apabila
anda saat ini adalah seorang pegawai dengan pekerjaan yang jelas riba atau
haram, atau anda seorang pengusaha yang memakan uang orang lain dengan cara
tidak benar. Segeralah anda berhenti, karena anda sejatinya mengetahui mana
yang benar dan mana yang salah, karena Rasullah menjanjikan tidak beruntung
orang yang memakan riba. Apabila anda berani mengambil sikap tegas, pastilah
Allah akan memberikan kemudahan-kemudahan kepada anda untuk menjalani hidayah
Allah karena Allah Swt adalah pemilik segala-galanya. Yakinlah! Namun,
kebanyakan dari kita, seolah-olah tidak yakin dengan Allah dan tidak mau
mengambil tindakan untuk “menyerahkan” segalanya kepada Allah.
Action
ini pula yang nanti akan memberikan tambahan keyakinan kepada seseorang,
seringkali kita mendengar alasan ‘belum siap’ ketika seseorang diminta
menjalankan suatu kewajiban dan amanah. Padahal, kesiapan dan keyakinan justru
akan muncul ketika kita menjalankan petunjuk atau hidayah yang telah datang
kepada diri kita.
Contoh
sederhana, ketika seorang muslimah diminta mengenakan penutup aurat dengan cara
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh dan kerudung ke dadanya. Mereka
seringkali menyampaikan alasan belum siap dan belum yakin, mereka belum mau
mengambil action (tindakan) dan menunda mengambil action sampai mereka yakin.
Memang betul, keyakinan akan memengaruhi perbuatan, namun berlaku juga
sebaliknya, perbuatan akan menambah keyakinan. Pada umumnya, muslimah yang
awalnya takut menggunakan penutup aurat menjadi semakin yakin dan nyaman ketika
telah mengenakannya, ketakutan-ketakutan yang awalnya menggunung menjadi hilang
seketika saat mereka mengenakan penutup aurat, Allah memudahkan mereka. Malah,
muslimah yang menunda-nunda dengan alasan belum yakin dan belum siap, biasanya
tidak akan pernah menutup auratnya. Sekali lagi, itulah bisikkan setan yang
selalu menyebabkan manusia bimbang dalam berbuat kebaikan.
Singkatnya, jangan banyak berpikir
dalam berbuat baik, namun pikirkanlah baik-baik ketika kita berbuat maksiat
kepada Allah. Ada kalanya, ketika kita dihadapkan pada kesempatan untuk berbuat
baik, kita selalu berpikir “kena kaya pa lah?” (nanti bagaimana, ya?) namun,
dalam perbuatan maksiat malah sering berpikir “kaya pa kena ja lah!” (bagaimana
nanti sajalah!). Ketika ingin memberi bantuan kepada saudaranya yang mengalami
musibah, kita berpikir ribuan kali, apakah akan dipergunakan dengan baik-lah,
masih banyak keperluan lain-lah, takut disalahgunakan-lah, nggak punya duit-lah,
dan alasan-alasan lainnya. Namun, ketika seseorang mengeluarkan biaya untuk
berfoya-foya dan hura-hura, kita langsung berpikir, “Allah maha baik nanti
pasti ada rezeki lain untuk mengganti uang ini”. Seperti itulah kesalahan cara
berpikir kita, seharusnya dalam kebaikan kita harus berpikir “kaya pa kena ja
lah!” dan dalam maksiat dan foya-foya kita harusnya berpikir “kena kaya pa
lah?”. Sebagai seorang mukmin kita wajib memiliki ‘kenekadan’ dalam berbuat
kebaikan, dan berpikir ribuan kali dalam setiap keburukkan, lakukan saja dulu
kebaikannya, adapun hasilnya, urusan nanti!.
Apabila kita ingin mencapai surga
Allah maka sepantasnya kita selalu bertanya dan mengambil informasi dari orang
yang telah mengetahui secara jelas perihal surga maka itu bukan ustadz, bukan
kyai, bukan siapapun, kecuali hanya Rasulullah Muhammad Saw yang mengetahuinya.
Kita bisa mulai menggali informasi melalui sunnah-sunnah Rasul dan mulai
mengamalkan dan mengaktualisasikan petunjuk-petunjuk yang tertera. Hal ini
menunjukkan kepada kita bahwa hidayah akan datang lebih mudah seandainya kita
berada pada tempat yang tepat dan berkumpul dengan orang-orang yang tepat
sehingga seseorang tidak dikatakan serius dalam mencari hidayah seandainya dia
tidak pernah meninggalkan teman-teman yang mengajaknya kepada kesesatan untuk
mencari teman yang dapat mendukungnya dalam kebaikan. Seseorang tidak dikatakan
bersungguh-sungguh dalam mencari hidayah seandainya dia tidak meninggalkan
tempat yang pasti memaksanya berbuat maksiat untuk mencari tempat yang bisa
membuatnya mudah berbuat kebaikan. Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda :
“Seseorang itu menurut agama teman dekat
(sahabatnya), maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dengan siapa ia
bersahabat.” (HR. Abu Dawud & Tirmidzi)
Untuk
mengkristalisasikan pemahaman tentang hidayah ini, seorang muslim harus
memahami bahwa hidayah dalam Al-Qur’an, sedikitnya ada tiga makna :
1.
Hidayah Al-Khalqi
Hidayah yang datang bersama
penciptaan manusia, yang dimaksud dalam hidayah ini adalah akal manusia yang
memiliki kemampuan untuk berpikir dan memahami sesuatu. Melalui akalnya inilah
manusia memiliki kebebasan berkehendak atau kebebasan memilih, bersamaan dengan
diberinya hidayah ini, Allah juga memberikan potensi baik dan buruk pada
manusia sebagai konsekuensi kebebasan berkehendak atau kebebasan memilih.
2.
Hidayah Al-Irsyad wa Al-Bayan
Hidayah yang diturunkan Allah
dengan diturunkannya Al-Qur,an dan diutusnya Rasulullah Saw kepada seluruh
manusia. Hal ini berfungsi sebagai guidance atau tuntunan bagi manusia dalam
melaksanakan tugasnya di dunia sebagai wakil Allah. Sebutan lain dari Al-Qur’an
sendiri adalah Al-Huda atau Al-Furqan, yang artinya petunjuk manusia atau
pembeda antara yang benar dan yang salah. Allah Swt telah menetapkan bahwa
diturunkan-Nya kitab-kitab Allah dan diutus-Nya para Rasulullah wa Nabiyullah
akan menjadi tanda-tanda keberadaan Allah dan kebenaran Islam bagi kaum yang
berpikir.
3.
Hidayah At-Taufiq
Hidayah ini berarti persetujuan
atau kemudahan yang akan datang dari Allah ketika seseorang menjalankan
aktivitas menaati-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ketika seorang hamba
melaksanakan ketaatan kepada Allah dengan maksimal maka Allah pun akan
memberikan taufiq kepadanya agar dapat menjalankan ketaatan itu dengan lebih
mudah. Sebagaimana firman Allah Swt :
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk
kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk”. (QS. Al-Qashash : 56).
Taufiq inilah yang seringkali
diartikan kaum muslim sebagai ‘hidayah’ ketika mereka meminta kepada Allah Swt.
pada saat kita shalat dan membaca surah Al-Fatihah maka pada ayat ke-enam
berbunyi “Ihdinaa Ash-Shiraath Al-Mustaqima”, lafadz ‘Ihdinaa’ berarti adalah
‘tunjukkanlah (hantarkanlah) kami’ atau ‘berikan kami taufiq (kemudahan)’.
Akal, Wahyu, dan
Taufiq
Allah memberikan Akal pada manusia
agar manusia dapat menerima Wahyu, dan bila manusia bersungguh-sungguh dalam
memahami Wahyu, maka Allah akan menurunkan Taufiq. Kemampuan akal untuk
berpikir ini menjadikan manusia yang sudah baligh (optimal akalnya) terkena taklif untuk mengimani Allah dan
Rasul-Nya. Proses keimanan ini menjadi dimungkinkan karena akal mampu mengakses
tanda-tanda yang diberikan Allah, baik berupa tanda-tanda yang bersifat aqliyah
(diindera akal) atau tanda yang bersifat naqliyah (dirujuk dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah). Pada saat manusia menggunakan akalnya untuk mengakses wahyu Allah
maka diberikanlah kepada manusia itu taufiq dalam menjalankan hidayah dari
Allah Swt.
Pada saat akal manusia mengakses
wahyu yang telah diturunkan oleh Allah, kemungkinannya bisa menjadi tiga
jurusan. Apabila dia menggunakan akalnya dengan maksimal dan benar maka dia
akan menjadi seorang muslim yang menjadikan wahyu sebagai petunjuk dalam
menjalani kehidupannya. Apabila dia menolak wahyu yang telah datang kepada
dirinya maka dia akan menjadi kafir karena mengingkari bukti-bukti jelas yang
ada pada wahyu tersebut, yang seharusnya diterima oleh akalnya. Apabila setelah
dia menggunakan akalnya, lalu mengambil wahyu yang telah diturunkan kepadanya
dengan memilah dan memilihnya, serta memasukinya dengan setengah hati maka
mereka menjadi orang-orang munafiq
karena secara zahir mereka tampak
sebagai orang yang menerima wahyu, namun batin mereka menolak.
Sesungguhnya di antara ketiga
kelompok tadi, yang mendapatkan taufiq hanya yang golongan pertama, yaitu
muslim. Dua yang terakhir yaitu kafirin
dan munafiqin tidak akan mendapatkan taufiq atas hidayah Allah Swt.
Jadi, taufiq adalah pilihan bagi
manusia dan bukan merupakan sesuatu yang diberikan oleh Allah tanpa ada usaha
dari manusia. Sesungguhnya, Allah telah memberikan pilihan bebas kepada manusia
dan petunjuk-Nya bagi manusia maka bergantung manusia itu sendiri, apakah mau
menaati petunjuk Allah setelah akalnya memahami petunjuk itu, atau malah
mengingkarinya? Sesungguhnya, Allah tidak akan mendzalimi hamba-hamba-Nya
dengan meminta pertanggungjawaban sesuatu yang tidak pernah dipilih oleh
hamba-Nya.
Billahi fii sabilil haq, Fastabiqul
khairat
Wassalamualaikum warahmatullahi
wabarakatuh.