Perkembangan Remaja
Peserta
didik usia 12-19 tahun merupakan periode remaja transisi, yaitu periode
transisi antara masa kanak-kanak dan usia dewasa. Pertumbuhan dan perubahan
fisik sangat nyata pada peserta didik usia ini, baik laki-laki maupun
perempuan. Dimensi perkembangan psikoseksual pun mengalami pematangan yang luar
biasa.
Pubertas
adalah waktu perkembangan fisik yang cepat, menandakan akhir masa kanak-kanak
dan awal kematangan seksual. Awal pubertas wanita dan pria berada pada kisaran
usia 6 sampai 7 tahun. Perkembangan hormon “ bertanggung jawab ” bagi
pengembangan dari kedua karakteristik seks, baik karakteristik seks primer
(primary sex characteristics, struktur yang secara langsung berhubungan dengan
reproduksi) maupun karakteristik seks sekunder (secondary sex characteristics,
struktur yang tidak berhubungan langsung dengan reproduksi).
Selama
masa kanak-kanak, laki-laki menghasilkan hormon endrogen sama dengan perempuan
menghasilkan estrogen. Pada masa pubertas, kelenjar pituitary merangsang perubahan hormon di seluruh tubuh, termasuk
dalam kelenjar adrenal, endokrin, dan seksual. Waktu pubertas merupakan hasil
dari kombinasi faktor genetik, lingkungan, dan kesehatan.
Perempuan
umumnya mulai pubertas beberapa tahun lebih awal daripada laki-laki, sekitar
usia 11-12 tahun. Peningkatan estrogen memicu badan tumbuh tinggi, pinggul
melebar, payudara menjadi bulat dan besar, rambut bertumbuh pada kaki, bawah
lengan, dan sekitar kelamin, labia menebal, klitoris memanjang, rahim membesar,
dan menstruasi. Sekitar usia 12 atau 13 tahun perempuan mulai menstruasi,
permulaan menstruasi disebut menarche,
pada fase tersebut perempuan sudah siap mengandung/ hamil.
Peningkatan
kadar hormon testosteron memicu masa pubertas anak laki-laki sekitar 12 hingga
14 tahun. Anak laki-laki menjadi lebih tinggi, lebih berat, dan kuat, suara
dalam mereka makin tampak terdengar, bahu melebar, rambut tumbuh di bawah
lengan, wajah, sekitar kelamin, dan pada bagian lain dari tubuh, testis
menghasilkan sperma, dan penis serta organ reproduksi lainnya membesar. Anak
remaja laki-laki juga dapat mengalami pelepasan “ semen “ pada saat tidur yang
disebut emisi nokturnal (nocturnal emissions) atau mimpi basah.
Perubahan
yang dihasilkan pada masa pubertas dapat berefek luas pada tubuh anak remaja.
Perubahan yang drastis ini, termasuk waktu pematangan seksual, dapat menjadi
sumber kecemasan dan frustrasi bagi mereka.
B.
Masalah
Kesehatan
Masalah
kesehatan remaja sering berkorelasi dengan status sosial ekonomi yang rendah,
pola makan yang buruk, dan perawatan kesehatan yang tidak memadai, berani
mengambil kegiatan berisiko, masalah kepribadian, dan gaya hidup. Tiga
kemungkinan masalah kesehatan utama yaitu gangguan makan, depresi, dan
penyalahgunaan zat.
1. Gangguan
Makan
Gangguan
makan sering muncul akibat keasyikan dengan makanan. Keasyikan dengan makanan
ini berdampak paling umum di kalangan remaja, yaitu obesitas (obesity) atau
kegemukan. Obesitas disertai dengan potensi stigma sosial, tekanan psikologis,
dan masalah kesehatan kronis.
Kebiasaan
mengurangi makan untuk menghindari kegemukan atau obesitas pun bisa berbahaya,
yaitu dapat menyebabkan anoreksia nervosa (anorexia nervosa) atau kelaparan.
Anoreksia yang khas adalah model remaja yang terobsesi dengan membeli makanan,
memasak, dan menyiapkan makanan, tetapi sangat sedikit makan. Dia mungkin
perfeksionis dan mengalami distorsi persepsial atas bahaya kegemukan, sehingga
cenderung “ kelaparan “. Langsing tapi tidak sehat, dan sebagainya.
Erat
kaitannya dengan anoreksia adalah bulimia nervosa, berupa gangguan yang
mengikuti pola pembersihan makan yang sudah dimakan. Setelah makan sampai
kenyang, bulimia muntah, mengambil obat pencahar, atau olahraga keras untuk
membakar kalori yang baru saja dikonsumsi.
2. Depresi
Sebanyak
40% remaja memiliki masa depresi (depression), jenis gangguan mood yang ditandai dengan perasaan harga
diri rendah dan tak berharga, hilangnya minat dalam aktivitas kehidupan, serta
perubahan pola makan dan tidur. Depresi remaja sering disebabkan oleh perubahan
hormon, tantangan hidup, atau masalah penampilan.
Konsekuensi
nyata dan tragis dari depresi pada remaja adalah bunuh diri. Angka statistik
menunjukkan, sekitar 13% remaja dilaporkan setidaknya sekali mencoba bunuh
diri. Faktor risiko yang menyebabkan orang yang merasa putus asa untuk bunuh
diri adalah “ keasyikan “ bunuh diri.
3. Penyalahgunaan
Zat
Beberapa
remaja, termasuk peserta didik, menyalahgunakan zat atau obat-obatan terlarang
untuk menghindari rasa sakit, mengatasi stres sehari-hari, atau untuk
kepentingan “ solidaritas “ dengan rekan-rekannya. Bahkan sebagai simbol mereka
telah dewasa, penggunaan alkohol dan tembakau/ nikotin menjadi “ kebiasaan “,
karena memang mudah diperoleh dan relatif terjangkau.
Penggunaan
narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) pun sangat marak. Secara
keseluruhan masih banyak anak muda merokok, minum minuman keras, dan
menggunakan obat-obatan terlarang.
C.
Perkembangan
Kognitif
Kebanyakan
peserta didik mencapai tahap operasi formal (formal operations) versi Piaget
pada usia sekitar 12 tahun atau lebih, di mana mereka mengembangkan alat baru
untuk memanipulasi informasi. Titik puncak atau jatuh tempo perkembangan
kognitif terjadi ketika peserta didik sudah memasuki usia dewasa dan jaringan
sosial makin berkembang. Pengalaman duniawi memainkan peran besar dalam
mencapai tingkat operasi formal, sebagian peserta didik sesungguhnya cerdas,
namun kurang berprestasi (underachiever), akibat tidak mengoptimalkan diri.
Banyak
hasil studi yang menunjukkan bahwa kemampuan rasional yang abstrak dan kritis
berkembang melalui proses pendidikan dan pembelajaran, serta pelatihan secara
berkelanjutan.
1. Pengembangan
Intelektual
Menurut
Robert Sternberg, kecerdasan terdiri dari tiga aspek atau dikenal dengan
triarkis teori (triarchic theory), yaitu : componentil,
experiential, dan contextual.
Komponensial adalah aspek kritis, pengalaman adalah aspek berwawasan, dan
konstektual adalah aspek praktis.
Kecerdasan
komponensial (componential Intelligence) yaitu bermakna kemampuan untuk
menggunakan strategi pemrosesan informasi internal ketika peserta didik
mengidentifikasi dan berpikir tentang pemecahan masalah dan mengevaluasi hasil.
Kecerdasan
eksperiensial (experiential Intelligence) adalah kemampuan mentransfer
pembelajaran secara efektif untuk memperoleh keterampilan baru. Kecerdasan
eksperiensial adalah kemampuan untuk membandingkan informasi lama dan baru, dan
untuk menempatkan fakta-fakta bersama dengan cara-cara yang asli.
Kecerdasan
konstektual (contextual Intelligence) adalah kemampuan untuk menerapkan
kecerdasan praktis, termasuk memiliki kepedulian sosial, budaya, dan konteks
historis. Individu yang kuat dalam kecerdasan kontekstual dengan mudah beradaptasi
dengan lingkungan mereka, dapat berubah ke lingkungan lainnya, dan bersedia
memperbaiki lingkungan mereka bila diperlukan.
2. Pengembangan
Moral dan Penilaian
Lawrence
Kohlberg, mengedepankan suatu teori perkembangan moral manusia dengan tiga
tingkat yang terdiri dari enam tahap.
·
Tingkat pertama,
moralitas prakonventional (preconventional morality), harus dilakukan dengan
alasan moral dan perilaku didasarkan pada aturan-aturan dan takut dihukum
(tahap 1) dan kepentingan non-empatetik (nonempathetic) diri sendiri (tahap 2).
·
Tingkat kedua,
moralitas konvensional (conventional morality), mengacu pada kesesuaian dan
membantu orang lain (tahap 3), serta mematuhi hukum dan menjaga ketertiban
(tahap 4).
·
Tingkat ketiga,
moralitas pascakonvensional (postconventional morality), terkait dengan sifat
relatif menerima dan berubah dari peraturan dan perundang-undangan (tahap 5),
serta mengarahkan perhatian hati nurani dengan hak asasi manusia (tahap 6).
Sebagian
pengembangan moral peserta didik tergantung pada munculnya empati, rasa malu,
dan rasa bersalah. Internalisasi moralitas dimulai dengan empati atau kemampuan
untuk memosisikan diri dengan “ rasa sakit atau suka cita “ orang lain. Sebagai
bukti bahwa peserta didik meningkat kemampuan kognitif-nya, mereka mampu
menimbang konsekuensi dari sudut kepentingan pribadi dan kepentingan
orang-orang di sekitar mereka.
Sebuah
pemikiran alternatif atas teori atau model Kohlberg adalah dari Carol Gilligan
yang mengedepankan pemikiran baru bahwa laki-laki dan perempuan menunjukkan
dengan jelas alasan moral yang sama layak, tetapi muncul dalam bentuk yang
berbeda.
Fenomena
yang mirip dengan perkembangan moral adalah perkembangan agama (religious
development). Prekonvensional versi Kohlberg bermakna egosentris
fundamentalistik yang bersifat hitam-putih dan berpikir berdasarkan hukum agama
dan regulasi atau peraturan. Konvensional versi Kohlberg bermakna sesuai dengan
tradisi dan standar agama yang diterima. Kohlberg pascakonvensional bermakna
relativistik atau berpikir abu-abu, pengakuan dari kontradiksi agama,
Interpretasi manusia, dan sifat aturan yang berubah-ubah.
3. Pencarian
untuk Identitas : Usia 12-19 Tahun
Developmentalis
secara tradisional melihat masa remaja sebagai “ masa badai “ dan stres
psikososial, sebuah beban yang memang harus dilalui laksana bantalan menuju
kedewasaan. Para developmentalis cenderung melihat remaja sebagai waktu yang
positif bagi peluang pencarian identitas dan pertumbuhan.
Freud
menjelaskan selama tahap genital, perkembangan seksual peserta didik selayaknya
manusia dewasa pada umumnya, mereka telah mencapai kematangan, sehingga tumbuh
kemampuan secara sehat untuk mencintai dan bekerja, khususnya bagi yang telah
berhasil berkembang melalui tahap-tahap sebelumnya.
Sebaliknya,
Erikson mencatat bahwa konflik utama yang dihadapi peserta didik berusia remaja
adalah munculnya salah satu dari apa yang disebut sebagai identitas versus
kebingungan identitas (identity versus identity confusion). Mereka harus
bergulat dengan isu seperti memilih karir, kuliah, agama, aspirasi politik, dan
lain-lain.
Peneliti
Carol Gilligan dan Deborah Tannen menemukan perbedaan antara laiki-laki dan
perempuan dalam mencapai identitas diri. Gilligan telah mencatat bahwa
perempuan utamanya mencari “ keintiman hubungan “. Sedangkan laki-laki mengejar
kemandirian dan prestasi. Deborah menjelaskan perbedaan ini sebagai akibat,
cara sosialisasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Perubahan
hormon pubertas mempengaruhi emosi peserta didik yang berusia remaja, hal ini
nyata dalam perilaku mereka seiring dengan munculnya fluktuasi emosional dan
seksual, muncul pula kebutuhan peserta didik berusia remaja untuk
mempertanyakan otoritas dan nilai-nilai sosial, serta batas kelayakan dalam
hubungan yang ada.
Adat
istiadat masyarakat dan harapan masa remaja sering kali menahan rasa ingin tahu,
di satu sisi, dorongan dan tekanan rekan untuk mencoba hal baru dan berperilaku
dengan cara tertentu juga sangat kuat. Muncullah tarik-menarik dari keinginan
peserta didik remaja untuk meningkatkan tanggung jawab pribadi dan kemerdekaan
diri dari orang tua mereka, bersama dengan hasrat yang terus tumbuh sangat kuat
dalam dimensi seksualitas.
D.
Orientasi
Seksual dan Seksualitas
Peserta
didik pada usia sekolah menengah berusaha secara total menemukan satu
identitas, berupa perwujudan orientasi seksual (sexual orientation), tercermin
dari hasrat seksual, emosional, romantis, dan atraksi kasih sayang.
Pada
tahun 1940 dan 1950-an, Alfred Kinsey dkk menemukan bahwa orientasi seksual
manusia ada di sepanjang kontinum. Kinsey berspekulasi bahwa kategori dari
orientasi seksual tidak begitu berbeda. Singkatnya, Kinsey dkk berkesimpulan
bahwa dilihat dari ilmu perilaku heteroseksualitas, homoseksualitas, dan
biseksual kesemuanya merupakan orientasi seksual yang terpisah namun
berhubungan.
Penyebab
dari heteroseksualitas, homoseksualitas, dan biseksual belum benar-benar
terungkap oleh para peneliti. Teori orientasi seksual itu bisa dikaji dari
dimensi biologis, psikologis, sosial, interaksional. Teori fisiologis
tradisional berpandangan bahwa homoseksualitas dipicu oleh terlalu sedikit
testosteron pada laki-laki dan terlalu banyak testosteron pada perempuan,
ketidakseimbangan hormon prenatal, kesalahan biologis kehamilan karena stres
ibu, perbedaan dalam struktur otak, serta perbedaan genetik dan pengaruh.
Freudian percaya bahwa homoseksualitas berkembang sebagai respons terhadap
hubungan keluarga yang bermasalah, seorang ibu yang terlalu sayang dan dominan
pada satu sisi dan ayah yang pasif, atau kehilangan satu atau kedua orang tua
pada sisi lain.
Peneliti
telah menemukan bukti bahwa faktor pembelajaran sosial (sosial-learning) dapat
memunculkan pemahaman tertentu mengenai homoseksualitas. Para pendukung teori
interaksional (interactional theory) meyakini bahwa homoseksualitas merupakan
orientasi seksual yang berkembang dari interaksi kompleks atas faktor-faktor
psikologis, sosial, biologis. John Money menjelaskan bahwa tindakan hormon
kehamilan pertama pada embrio dan otak janin menciptakan kecenderungan
fisiologis menuju orientasi seksual tertentu.
Aktivitas
“ seksual “ peserta didik remaja banyak diwarnai oleh pikiran bahwa mereka
sedang jatuh cinta kepada satu orang secara khusus untuk waktu yang lama,
tetapi mereka (peserta didik) tidak memiliki tingkat kematangan yang diperlukan
untuk mempertahankan “ hubungan intim “ dan penuh kasih. Kebanyakan dari orang
muda meredakan ketegangan seksual melalui masturbasi, yang pada usia ini dipicu
atau termotivasi oleh perilaku erotis.
E.
Kenakalan
Remaja
Tekanan
teman sepermainan atau rekan yang sangat selama masa remaja, kadang-kadang
begitu banyak sehingga remaja terlibat dalam tindakan-tindakan antisosial
berupa kenakalan remaja (juvenile delinquency). Ada dua kategori kenakalan
remaja yaitu :
1. Anak-anak
yang melakukan kejahatan dan dihukum sesuai dengan aturan hukum, seperti
perampokan, pencurian, dll.
2. Anak-anak
yang melakukan tindak pidana yang biasanya tidak dianggap kriminal, seperti
membolos, berkelahi, olok mengolok, dll.
Remaja
laki-laki biasanya lebih banyak melakukan aksi-aksi kenakalan dibandingkan
dengan remaja perempuan. Kemungkinan peserta didik usia remaja yang menjadi
remaja nakal lebih banyak ditentukan oleh kurangnya pengawasan orang tua dan
disiplin ketimbang status sosial ekonomi.
Pemberontakan
remaja dapat tumbuh dari ketegangan antara “ keinginan remaja untuk memenuhi
kebutuhan secara segera “ dan “ desakan orang tua agar menunda keinginan itu “.
Para orang tua yang tidak mampu melakukan pengawasan dan menyosialisasikan “
disiplin diri “ dan “ menakar kemampuan diri “ biasanya akan menimbulkan
masalah bagi anak-anaknya dikemudikan hari.
Guru juga
semestinya ikut mempersuasi anak agar sebisa mungkin menghindari tindakan “
lebih besar pasak daripada tiang “, atau pun tindakan kenakalan remaja yang
lainnya.