10 Hal Penyakit Mental
1. Menyalahkan Orang lain
Itu penyakit P dan K, yaitu Primitif dan Kekanak-kanakan. Primitif. Menyalahkan orang lain adalah salah satu pola pikir orang primitif. Di pedalaman Afrika, kalau ada orang yang sakit, yang Dipikirkan adalah: "Siapa nih yang nyantet?" Selalu "siapa", Bukan "apa" penyebabnya. Bidang kedokteran modern selalu mencari tahu "apa" sebabnya, bukan "siapa". Jadi kalau kita berpikir menyalahkan orang lain, itu sama dengan sikap primitif. Primitif berarti, kecenderungan berpikir siapa yang melakukan, bukan apa penyebab itu di lakukan.
Baca Selengkapnya → Hal-hal yang Perlu Kita Ketahui Tentang Penyakit Mental
1. Menyalahkan Orang lain
Itu penyakit P dan K, yaitu Primitif dan Kekanak-kanakan. Primitif. Menyalahkan orang lain adalah salah satu pola pikir orang primitif. Di pedalaman Afrika, kalau ada orang yang sakit, yang Dipikirkan adalah: "Siapa nih yang nyantet?" Selalu "siapa", Bukan "apa" penyebabnya. Bidang kedokteran modern selalu mencari tahu "apa" sebabnya, bukan "siapa". Jadi kalau kita berpikir menyalahkan orang lain, itu sama dengan sikap primitif. Primitif berarti, kecenderungan berpikir siapa yang melakukan, bukan apa penyebab itu di lakukan.
Kekanak-kanakan. Kenapa?
Anak-anak selalu nggak pernah mau disalahkan. Kalau ada piring yang jatuh,
"Adik tuh yang salah", atau, "Mbak tuh yang salah". Kalau
kita manusia yang berakal dan dewasa seharusnya selalu akan mencari sebab
terjadinya sesuatu. Penyakit seperti ini biasanya berawal dari ketidaksukaan
dan keirian seseorang pada sesuatu, dan lama kelamaan menjadi sebuah kebiasaan
dan pola pikir yang negatif.
2.
Menyalahkan
diri sendiri
Menyalahkan diri sendiri
bahwa dirinya merasa tidak mampu. Ini berbeda dengan mengakui kesalahan. Anda
pernah mengalaminya? Kalau anda bilang tidak pernah, berarti anda bohong.
"Ah, dia sih bisa, dia ahli, dia punya jabatan, dia berbakat, dan
sebagainya, Lha, saya ini apa ?, wah saya nggak bisa deh. Kata-kata
seperti itu merupakan cikal bakal seseorang untuk mengembangkan penyakit mental
yang tidak baik/ negatif.
Penyakit ini seperti kanker,
tambah besar, besar di dalam mental diri sehingga bisa mencapai "improper
guilty feeling". Jadi walau yang salah partner, anak buah, atau bahkan
atasan, berani bilang, "Saya kok yang memang salah, tidak mampu, dan
sebagainya". Penyakit ini pelan-pelan bisa membunuh kita. Merasa inferior,
kita tidak punya kemampuan. Kita sering membandingkan keberhasilan orang lain
dengan kekurangan kita, sehingga keberhasilan orang lain dianggap wajar karena
mereka punya sesuatu lebih yang kita tidak punya.
3.
Tidak punya “Goal”
atau cita-cita
Kita sering terpaku dengan
kesibukan kerja, tetapi arahnya tidak jelas. Pada awalnya kita merasa harus
bekerja karena sebab sesuatu yang bertolak belakang dengan tuntutan hidup.
Kadang pekerjaan yang kita dapat tidak sesuai dengan minat dan bakat sehingga
menurunkan etos kerja dan itu berdampak kepada Goal/ tujuan hidup tidak jelas
bahkan tidak ada. Keadaan seperti itu bermula dari ketidakpuasan, menyalahkan
orang lain dan diri sendiri, ibaratnya ini adalah penyakit level selanjutnya
dari penyakit no.1 dan no.2.
Kadang seseorang berprinsip
bahwa cita-cita hanyalah impian semasa kanak-kanak saja. Padahal seandainya
kita cermati baik-baik lagi, impian masa kanak-kanak adalah perintis awal dari
sebuah kehidupan dewasa kelak. Hal itulah yang sering orang dewasa lupakan,
bahwa impian dan harapan adalah langkah awal menggapai sebuah tujuan. Sebaiknya
kita selalu mempunyai target kerja dengan milestone. Buat target jangka panjang
dan jangka pendek secara tertulis.
4.
Mempunyai
"Goal", tapi ngawur mencapainya
Biasanya dialami oleh orang
yang tidak "teachable". Goalnya salah, fokus kita juga salah,
jalannya juga salah, arahnya juga salah. Ilustrasinya kayak gini : ada pemuda
yang terobsesi dengan emas, karena pengaruh tradisi yang mendewakan emas.
Pemuda ini pergi ke pertokoan dan mengisi karungnya dengan emas dan seenaknya
ngeloyor pergi. Tentu saja ditangkap polisi dan ditanya. Jawabnya,
"Pokoknya saya mau emas, saya nggak mau lihat kiri-kanan".
Setelah kita memiliki Goal/
tujuan atau cita-cita, apa sih yang seharusnya kita lakukan?, tentu kita semua
tahu, planing apa selanjutnya yang harus kita lakukan. Apa yang harus dilakukan
agar Goal kita tepat dalam jangka waktu yang juga kita tentukan. Apa saja yang
harus dilewati, jalan yang mulus, jalan pintas, jalan terjal, atau jalan tol.
Ibaratnya kita hendak pergi ke terminal, kita harus tahu di mana posisi
terminal terdekat beserta nama jalan-jalan yang harus dilalui, apa-apa saja
yang akan kita lihat seandainya kita melalui jalan ini. Dengan memikirkan itu,
tentu ada jalan keluar dari setiap Goal yang kita inginkan.
5.
Mengambil
jalan pintas (shortcut)
Keberhasilan tidak pernah
dilalui dengan jalan pintas. Jalan pintas tidak membawa orang ke kesuksesan
yang sebenarnya, karena tidak mengikuti proses. Kalau kita menghindari proses,
ya nggak matang, kalaupun matang ya dikarbit. Jadi, tidak ada yang namanya jalan
pintas. Contoh saja, pemain bulutangkis Indonesia bangun jam 5 pagi, lari
keliling Senayan, melakukan smash 1000 kali. Itu bukan jalan pintas. Nggak ada
orang yang leha-leha tiap hari pakai sarung, terus tiba- tiba jadi juara bulu
tangkis. Nggak ada! Kalau anda disuruh taruh uang 1 juta, dalam 3 minggu jadi 3
juta, masuk akal nggak tuh? Nggak mungkin!. Karena hal itu melawan kodrat.
Dalam hal mencapai Goal/
tujuan hidup kita sebagai manusia, sudah sewajarnya kita lebih dahulu
mengetahui jalan mana yang akan kita lalui. Baik jalan itu mulus, rusak,
berlubang, atau berdebu, semua itu adalah jalan yang semestinya memang harus
dilalui demi mencapai Goal dan menjadi individu yang bahagia. Kalau ibaratnya
sebuah jalan, jalan pintas itu ada, tapi dalam melalui jalan itu juga kita
harus melaluinya, sedangkan pengertian jalan pintas dalam hal Goal kita,
berarti kita mencapai cita-cita kita itu tanpa melakukan apa-apa. Jujur deh,
apa kita bisa dibilang berhasil kalau mencapainya dengan cara begitu, nggak
mungkin bangetkan. Berhati-hatilah terhadap penyakit mental tersebut.
6.
Mengambil jalan
terlalu panjang, terlalu santai
Analoginya begini : Pesawat
terbang untuk bisa take-off, harus mempunyai kecepatan minimum. Pesawat Boeing
773, untuk dapat take- off, memerlukan kecepatan minimum 300 km/jam. Kalau
kecepatan dia cuma 50 km/jam, ya Cuma ngabis-ngabisin avtur aja, muter-muter
aja. Lha, kalau jalannya runwaynya lurus anda cuma pakai kecepatan 50 km/jam,
ya nggak bisa take-off, malah nyungsep iya. Iya kan?
Secara deskriptif berarti,
dalam mencapai Goal, kita tidak bersungguh-sungguh atau setengah-setengah
semangatnya. Bisa saja kita terlalu santai atau kembali lagi, tidak sesuai
dengan minat dan bakat kita, perlu diketahui, mengakui diri bermasalah sangat
baik dari pada kita berputar-putar dalam mencapai Goal kita. Kesalahannya
mungkin kita salah dalam menetapkan Goal atau kurang memahami apa yang ingin
kamu pahami.
7.
Mengabaikan
hal-hal kecil
Dia maunya yang besar-besar,
yang heboh, tapi yang kecil-kecil nggak dikerjain. Dia lupa bahwa struktur
bangunan yang besar, pasti ada komponen yang kecilnya. Maunya yang hebat aja.
Mengabaikan hal kecil aja nggak boleh, apalagi mengabaikan orang kecil.
Menganggap sesuatu yang lebih kecil tidak penting, atau merasa hal-hal tersebut
di luar dari kemampuan kita, acuh tak acuh dalam mencapai Goal.
Sering kali apabila kita
merasa sudah naik ke tahap selanjutnya atau setingkat yang lebih tinggi, kita
sering menggabaikan hal-hal yang kecil, padahal sebelumnya itulah yang kita
kerjakan tiap hari. Contoh ; saat adek ingin bertanya tentang PR matematika
kelas 3 SD, kakak menolak dengan alasan sudah lupa dengan pelajaran kelas 3 SD,
karena sudah merasa SMA “. Pemikiran seperti ini yang dapat mengurangi
kemampuan kita dalam mencapai goal, ingatlah bahwa semua pengetahuan itu
berfokuskan pada dasar-dasar keilmuan.
8.
Terlalu cepat
menyerah
Jangan berhenti kerja pada
masa percobaan 3 bulan. Bukan mengawali dengan yang salah yang bikin orang
gagal, tetapi berhenti pada tempat yang salah. Mengawali dengan salah bisa
diperbaiki, tetapi berhenti di tempat yang salah repot sekali. Sebenarnya apa
sih yang salah, bagaimana caranya kita tahu bahwa kita cepat menyerah, atau
seberapa banyak orang bisa di katakan cepat menyerah, atau apakah aku sudah
menyerah?.
Dalam mencapai Goal kita,
selalu membutuhkan perjuangan dan bertahan dari segala halangan dan melalui
segala rintangan, lalu apakah pantas bila kita mudah menyerah dengan apa yang
kita sukai. Contoh lain ; ‘adek suka sama tuh perempuan, setelah di selidiki
ternyata dia sudah punya pacar, adek tetap saja suka dan berpikiran “aku akan
menunggu kamu putus dengan pacarmu”. Adek nggak nyerah walau tau dia sudah
punya pacar, karena adek suka,, Tuh kan nggak mungkin menyerah kalau kita
memang benar-benar suka dengan Goal/ tujuan kita.
9.
Bayang-bayang
masa lalu
Wah, puitis sekali, saya suka
sekali dengan yang ini. Karena apa? Kita selalu penuh memori kan? Apa yang kita
lakukan, masuk memori kita, minimal sebagai pertimbangan kita untuk langkah
kita berikutnya. Apalagi kalau kita pernah gagal, nggak berani untuk mencoba
lagi. Ini bisa balik lagi ke penyakit nomer-3. Kegagalan sebagai akibat
bayang-bayang masa lalu yang tidak terselesaikan dengan semestinya. Itu
bayang-bayang negatif.
Memori kita kadang- kadang
sangat membatasi kita untuk maju ke depan. Kita kadang-kadang lupa bahwa hidup
itu maju terus. "Waktu" itu maju kan?. Ada nggak yang punya jam yang
jalannya terbalik? Nggak ada kan? Semuanya maju, hidup itu maju. Lari aja ke
depan, kalaupun harus jatuh, pasti ke depan kok. Orang yang berhasil, pasti
pernah gagal. Itu memori negatif yang menghalangi kesuksesan.
10. Menghipnotis diri dengan kesuksesan semu
Biasa disebut Pseudo Success
Syndrome. Kita dihipnotis dengan itu. Kita kalau pernah berhasil dengan sukses
kecil, terus berhenti, nggak kemana-mana lagi. Sudah puas dengan sukses kecil
tersebut. Napoleon pernah menyatakan, "Saat yang paling berbahaya datang
bersama dengan kemenangan yang besar". Itu saat yang paling berbahaya,
karena orang lengah, mabuk kemenangan. Jangan terjebak dengan goal-goal hasil
yang kecil, karena kita akan menembak sasaran yang besar, goal yang jauh.
Janganlah berpuas diri, entar jadi sombong, terus takabur.
Kesuksesan semu berarti
adalah kesuksesan yang kiat capai atau Goal kita, bukanlah Goal yang Primer.
Ini tentu berbeda dengan haus pencapaian atau serakah dengan keberhasilan,
pengertian seperti itu mereka tidak pernah puas dengan Goal-goal yang
dicapainya, jadi itu kembali lagi no.3, bahwa dia belum memiliki Goal/ tujuan
hidupnya.
Referensi :
Perkuliahan
problematika bimbingan dan konseling, STKIP Muhammadiyah Sampit