A. Konseling Sebagai Bantuan
Tidak ada seorang manusia pun yang tidak
membutuhkan bantuan dari orang lain. Menurut Lewis, alasan-alasan pokok seorang
selalu membutuhkan konseling, yaitu :
1.
Seseorang mengalami semacam
ketidakpuasan pribadi, dan tidak mampu mengatasi atau mengurangi ketidakpuasan
tersebut.
2.
Seseorang memasuki dunia konseling
dengan kecemasan, cemas memandang proses konseling itu sebenarnya seperti apa,
bagaimana, dan macam-macam dugaan.
3.
Seseorang yang membutuhkan konseling itu
sebenarnya tidak mempunyai gambaran yang jelas tentang sesuatu yang mungkin
terjadi.
Konseling sebagai sebuah proses pemberian
bantuan kepada individu dilaksanakan melalui berbagai macam layanan. Tujuannya
adalah tetap memberikan konseling dengan cara-cara yang lebih menarik,
interaktif, dan tidak terbatas oleh tempat, tetapi juga tetap memperhatikan
asas-asas dan kode etik dalam bimbingan dan konseling. Konseling mengandung
makna proses antar pribadi yang berlangsung melalui saluran komunikasi verbal
dan non-verbal.
Konseling berbeda dengan bimbingan, namun
memiliki tingkat kesesuaian yang tercakup dalam bimbingan konseling. Bimbingan
adalah relasi yang bertujuan menolong individu dari ketidakpahaman dan
ketidaktahuannya dalam menghadapi sebuah permasalahan. Sedangkan konseling
bertujuan menyelesaikan permasalahan setuntas-tuntasnya, agar individu
mendapatkan informasi dan orientasi dari langkah yang akan dilakukan dalam
menghadapi permasalahannya baik itu masalah pribadi, sosial, pekerjaan, pendidikan,
karier, dan masih banyak lagi lainnya. Kesamaannya terletak pada tujuan untuk
semakin mengembangkan individu tersebut dalam setiap aspek-aspek kehidupannya.
Pelayanan BK di sekolah lebih menekankan
pada cinta kasih, dengan cinta kasih, seorang konselor lebih empati kepada
kliennya. Relasi menjadi lebih baik, hangat, penuh penerimaan antara konselor
dengan klien sehingga peserta didik mudah untuk memahami dirinya sendiri dan
lingkungan sekolahnya. Memang, nilai BK tidak dicantumkan dalam rapor, tetapi
hasil dari proses pelayanan BK di sekolah dapat dilihat pada perubahan diri
seseorang, baik sikap, perilaku, pikiran, dan perasaannya yang menjadi lebih
baik.
B. Konseling Untuk Perubahan Tingkah
Laku
Seorang klien yang datang dengan kondisi
psikologis tidak stabil, cenderung bersifat destruktif. Kondisi psikologis yang
buruk menyebabkan cara berpikirnya pun irasional. Selanjutnya, manifestasi dari
pikiran irasional menyebabkan tingkah laku yang irasional pula. Maka, di
sinilah seorang konselor berperan mengubah tingkah laku irasional menjadi
rasional kembali.
Perubahan tingkah laku merupakan proses
yang aktif dan bereaksi dalam semua situasi yang ada pada klien. Itu berarti
bahwa proses perubahan tingkah laku diarahkan pada tujuan dan proses berbuat
melalui situasi yang ada pada klien. Ada beberapa teori perubahan tingkah laku
berdasarkan pada aliran psikologi yang melandasinya, seperti berikut ini :
1.
Teori Perubahan Tingkah Laku
Behaviorisme
Behaviorisme
merupakan salah satu pendekatan dalam memahami perilaku individu. Behaviorisme
tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat, dan perasaan individu dalam
belajar. Teori perubahan tingkah laku behaviorisme ini merupakan proses
perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dengan
respons yang menyebabkan klien mempunyai pengalaman baru.
2.
Teori Perubahan Tingkah Laku Kognitif
Menurut
Piaget, perubahan tingkah laku akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan
tahap perkembangan kognitif peserta didik. Konselor hendaknya banyak memberikan
rangsangan kepada peserta didik agar berinteraksi dengan lingkungan secara
aktif, serta mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
3.
Teori Perubahan Tingkah Laku Gestalt
Transfer
dalam perubahan tingkah laku adalah pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi
pembelajaran tertentu ke situasi lain. Transfer perubahan tingkah laku terjadi
dengan jalan melepaskan pengertian objek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu
untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata susunan
yang tepat. Konselor hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai
prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.
4.
Teori Perubahan Tingkah Laku
Konstruktivisme
Manusia
berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus
ditanggapinya secara kognitif (mental). Untuk itulah manusia harus
mengembangkan skema pikiran yang lebih umum atau rinci. Proses perkembangan
tersebut meliputi beberapa hal berikut :
a.
Skema, yakni struktur kognitif yang
dengannya seseorang beradaptasi dan terus mengalami perkembangan mental dalam
berinteraksi dengan lingkungan. Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori
untuk mengidentifikasi rangsangan yang akan datang dan terus berkembang.
b.
Asimilasi, yakni proses kognitif dalam
bentuk perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep awalnya, hanya menambah
atau merinci.
c.
Akomodasi, yaitu proses pembentukan
skema, atau karena konsep awal sudah tidak cocok lagi.
d.
Equilibrium, yaitu keseimbangan antara
asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar
dengan struktur dalamnya (skema). Proses perkembangan intelek seseorang
berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.
C. Hubungan Konseling
Hubungan dalam konseling bukan hubungan
biasa, melainkan sengaja diciptakan oleh konselor dengan maksud membantu
memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien. Hubungan yang bersifat membantu
ini akan berhasil dengan baik apabila klien percaya sepenuh hati kepada
konselor bahwa konselor adalah orang yang tepat bisa mengatasi masalahnya.
Tanpa adanya kepercayaan dari klien terhadap konselor, jangan diharap adanya
keterbukaan dari klien tentang permasalahannya kepada konselor.
Untuk menciptakan hubungan yang baik,
seorang konselor perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan berkomunikasi yang
baik. Ada beberapa keterampilan komunikasi yang mungkin bisa dikembangkan oleh
seorang konselor, di antaranya adalah sebagai berikut :
1.
Rapport,
yaitu hubungan baik yang perlu diciptakan oleh konselor dalam keseluruhan
proses konseling. Konselor perlu menjelaskan tujuan dan rambu-rambu konseling
yang perlu disepakati bersama klien. Konselor perlu memahami harapan klien
dalam konseling, dan sebaliknya klien juga perlu memahami harapan konselornya.
2.
Empati,
konselor harus menciptakan kebersamaan dengan klien, berjalan bersama-sama,
mengikutinya, mengarahkan, dan membimbingnya dalam menghadapi masalah. Konselor
juga wajib bersifat hangat, terbuka, bersahabat, peduli dan jujur, serta
objektif dalam memandang permasalahan klien.
3.
Acceptance,
konselor senantiasa menerima dan menghargai klien apa adanya dan tanpa syarat.
Konselor memiliki pandangan positif tentang klien bukan berarti bahwa konselor
setuju dan menerima begitu saja nilai-nilai dan pandangan hidup klien. Tetapi,
yang utama adalah kemampuan konselor menerima klien apa adanya, menghargainya
sebagai pribadi, tidak menghakimi perilakunya, dan tidak mencoba mempengaruhi
klien dengan pandangan dan nilai-nilai hidup konselor.
4. Congruence,
konselor harus bisa menjadi dirinya sendiri seutuhnya, memiliki harmoni dalam
keseluruhan aspek hidupnya, menyadari keterbatasan diri, tidak berpura-pura
dalam bersikap, dan tidak mencoba menutupi kenyataan tentang dirinya. Bersikap
jujur terhadap diri sendiri dan klien, serta konsisten antara kata dan
perbuatan.
Konselor diharapkan pula dapat memiliki sense of humor, self discipline, self
responsibility, dan positive self
concept. Selain itu, konselor harus memiliki pengetahuan, wawasan, dan
pemahaman tentang karakteristik perkembangan manusia, berpikir dan bersikap
kreatif, dan bersikap aktif dalam mengembangkan komunikasi.
D. Konselor- Klien Sebagai Tim Kerja
Tahap awal konseling, biasanya menjadi
tahap paling sulit, baik bagi konselor maupun klien. Ketika itu, untuk pertama
kalinya mereka saling bertemu dalam relasi, yang dalam arti tertentu bisa
dikatakan formal dan tidak alamiah. Agar terjalin hubungan yang baik,
semestinya konselor tidak enggan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari klien
tentang diri konselor agar klien merasa dekat dengan konselor. Pada tahap awal
konseling, konselor harus fokus pada usaha membentuk relasi dengan klien, ini
mencakup usaha yang melibatkan klien dalam suatu kerja sama untuk memulai proses
konseling.
Konselor perlu menanamkan pemahaman tentang
“berusahalah mengenal klien, dan usahakan agar dia menyukai anda”. Apabila
pertemuan pertama berjalan lancar, dan klien merasa senang terhadap konselor,
maka intervensi lebih jauh lagi dapat dilakukan. Agar dapat bekerja sama secara
efektif dengan klien, konselor harus memperlihatkan sikap bahwa ia tertarik
pada masalah klien, dan sedang berusaha bekerja sama dengan klien, penting bagi
klien untuk merasakan kehadiran konselor di sisinya. Ini dapat diwujudkan
dengan memperlihatkan minat yang mendalam kepada klien.