Pemikiran pendidikan Islam sering dibedakan
dengan pemikiran pendidikan Barat, namun rumusan konsep pendidikan Islam belum
memiliki referensi yang banyak, sehingga sering merujuk pada sumber pemikiran
Barat. Secara umum, teori tentang pendidikan yang berasal dari Barat dapat
dikelompokkan menjadi empat aliran, yaitu progresivisme, esensialisme,
perennialisme, dan rekonstruktivisme.
Kata kreativitas berasal dari bahasa
Inggris, creativity yang berarti daya
cipta. Mengenai definisi kreativitas terdapat berbagai macam pendapat,
tergantung pada bagaimana dan dari segi mana orang melihatnya. Hal ini
disebabkan pertama, sebagai suatu
konstruksi hipotesis, kreativitas merupakan ranah psikologis yang kompleks dan
multidimensional, yang mengundang berbagai tafsiran beragam. Kedua, berbagai definisi kreativitas
memberikan tekanan yang berbeda-beda, tergantung teori yang menjadi acuan
pembuat definisi.
Guilford mengedepankan bahwa terdapat lima
sifat yang menjadi ciri kemampuan dalam berpikir kreatif, yaitu kelancaran (fluency) adalah kemampuan untuk
menghasilkan banyak gagasan, keluwesan (flexibility)
adalah kemampuan untuk mengedepankan bermacam-macam pemecahan atau pendekatan
terhadap masalah, keaslian (originality)
adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang asli,
penguraian (elaboration) dan
perumusan kembali (redefinition)
adalah kemampuan untuk meninjau suatu persoalan berdasarkan perspektif yang
berbeda dengan apa yang sudah diketahui oleh banyak orang.
Definisi-definisi kreativitas dapat dibedakan
berdasarkan penekanannya, yaitu person,
process, product, dan press. Keempat
macam ini oleh Rhodes (1961) disebut the
four P’s of creativity. Istilah Guilford (1950) menekankan definisinya pada
dimensi person. Creativity refers to the
abilities that are characteristics of creative people. Sementara Munandar
(1977) menekankan definisinya pada dimensi proses, creativity is a proces that manifests itself in fluency, in felxibility
as well as in originality of thinking. Baron (1976) menekankan pada segi
produk, yaitu the ability to bring
something new into existence. Sedangkan Amobile (1983) mengedepankan creativity can be regarded as the quality of
products or responses judges to be creative by eppropite observers.
Dari berbagai definisi tersebut di atas,
ada titik kesamaannya, yaitu kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk
melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya yang nyata, yang
relatif berbeda dengan apa yang ada sebelumnya. Kreativitas merupakan sebuah kemampuan
berpikir tingkat tinggi yang mengimplikasikan terjadinya eskalasi dalam
kemampuan berpikir yang ditandai oleh suksesi, diskontinuitas, diferensiasi dan
integrasi antara setiap tahap perkembangan.
I.
Gambaran
Umum Pendidikan Islam
A.
Pengertian, Tujuan dan Isi Pendidikan
Islam
Kata Pendidikan sinonim dengan kata Tarbiyah
dalam bahasa Arab. Sedangkan Pendidikan Islam merupakan terjemahan dari Tarbiyah Islamiyah. Pendidikan Islam merupakan proses yang mengarahkan
manusia kepada kehidupan yang baik dan mengangkat derajat kemanusiaannya,
sesuai dengan fitrah dan kemampuan ajarnya (pengaruh) dari luar.
Tujuan
Pendidikan Islam adalah sebagai berikut :
1.
Untuk mengembangkan fitrah dan
memberikan kemampuan pada peserta didik agar dapat memimpin hidupnya sesuai
dengan cita-cita hidup Islam, semaksimal mungkin.
2.
Untuk mewariskan dan mengembangkan
budaya dalam rangka membentuk corak kepribadian muslim sesuai dengan
prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam serta kondisi sosial, budaya, ekonomi,
dan politik umat Islam.
3.
Untuk menyeimbangkan seluruh aspek
kehidupan manusia baik spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah,
keilmiahan, bahasa, baik individu maupun kelompok dan mendorong aspek-aspek itu
ke arah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup.
4.
Untuk mengembangkan berpikir bebas
dan mandiri agar dapat membentuk Mu’min sejati (insan kamil).
B.
Pendidikan Islam Dalam Perspektif
Sejarah
1.
Pendidikan Islam berpangkal pada
mulainya Nabi menerima wahyu pertama. Karena wahyu tersebut memerintahkan agar
Nabi membaca, kemudian wahyu berikutnya memerintahkan Nabi bangun dari tidur,
menyingkap selimutnya dan bangkit memberikan peringatan (pendidikan) kepada
kerabatnya. Berikutnya setiap wahyu-wahyu yang turun disampaikan dan
diterangkan kepada sahabatnya, yang kemudian terbentuklah pendidikan di rumah
al-Arqam bin Abil Arqam.
2.
Pendidikan Islam ketika itu belum
secara khusus ditekankan pada kreativitas. Karena tergantung sekali pada wahyu
yang turun. Wahyu setelah diterima oleh Nabi disampaikan kepada para
sahabatnya. Nabi mengamalkannya, kemudian para sahabat mengikutinya.
3.
Pada masa Daulah Umayah, kemudian
diikuti oleh Abbasyiah, pendidikan selain di Masjid juga di Kuttab-Kuttab,
kemudian di istana-istana. Pada masa Abbasyiah inilah mulai muncul
lembaga-lembaga pendidikan semacam madrasah, dan mulai berkembang berbagai ilmu
pengetahuan. Kemudian Baghdad menjadi pusat peradaban dunia menurut sejarah,
kejayaan itu diawali dari usaha menerjemahkan berbagai ilmu ke dunia Islam.
tidak ketinggalan pula penerjemahan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.
C.
Problem-Problem Dalam Pendidikan
Islam
Problem-problem
pendidikan Islam dalam perspektif sejarah dapat diringkas menjadi empat, yaitu
:
1. Pendidikan Islam Krisis
Konseptual
Hal
ini terutama disebabkan karena adanya dikotomi dalam dunia Islam. Kondisi yang
mencemaskan ini berpangkal dari adanya yang biasa dikenal dengan kecelakaan
sejarah (historical accident). Ketika itu, ilmu pengetahuan
yang dikembangkan oleh ahli ra’yu (rasional) ditentang oleh fuqaha. Ahli ra’yu
yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Mu’tazilah mengalami kekalahan kemudian
tersingkir.
Alternatif dari krisis ini
adalah dengan menghilangkan dikotomi tersebut. Cara untuk menghilangkan
dikotomi itu dapat dilakukan dengan Islamisasi ilmu pengetahuan. Bersikap
terbuka terhadap ilmu pengetahuan umum dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang
telah disaring Islamisasi.
2. Pendidikan Islam Krisis
Kelembagaan
Krisis ini sebagai akibat dari
krisis yang pertama. Lembaga-lembaga pendidikan Islam hanya mengembangkan
ilmu-ilmu agama saja, dengan mengabaikan ilmu-ilmu umum. Walau sekarang mulai
ada perubahan, namun usaha ini kurang menampakkan hasil yang sebagaimana
diharapkan. Karena dikotomi sudah berlangsung terlalu lama, sehingga meskipun
ilmu-ilmu umum diajarkan di sana, namun kurang dijiwai oleh visi-visi Islam,
sehingga masih tetap nyata dikotomi antara keduanya.
3. Pendidikan Islam Krisis
Orientasi
Fenomena
yang ada menunjukkan pendidikan Islam lebih berorientasi ke masa silam daripada
ke masa mendatang, tidak futuralistik. Tampaknya peran dari pendidikan Islam
masih sangat sulit diprediksikan, selama hal tersebut tidak mengarahkan
orientasinya ke masa depan.
Alternatif solusinya adalah
pembenahan kurikulum yang ada sekarang. Isi kurikulum di samping norma-norma
wahyu, hendaknya disusun berdasarkan kondisi objektif tuntunan dari masyarakat.
Artinya isi dari kurikulum adalah hal-hal yang memang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat.
4. Pendidikan Islam Krisis
Metodologi
Dalam
kehidupan modern, masalah mencari dan menemukan makna hidup yang ultimate,
menjadi sakral, dan menjadi semakin serius dan akut. Indikasi-indikasi ke arah
itu dapat disebutkan dua macam yang datangnya dari dua jurusan yang berlawanan
yaitu positif dan negatif.
Industrialisasi
ditandai dengan penggunaan teknologi terapan, dengan ekspansi produksi secara
besar-besaran, dengan menggunakan tenaga mesin, untuk tujuan pasaran yang luas
bagi barang-barang produsen maupun konsumen, melalui angkatan kerja yang
terspesialisasikan. Kondisi masyarakat yang demikian, hampir dengan dipastikan
membawa kepada kemakmuran material. Namun justru karena kemakmuran material
itu, dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti dehumanisasi, dan
kemerosotan akhlak.
D. Kreativitas
Dalam Pendidikan Islam
Kenapa perlu kreativitas dalam
pendidikan islam? di karenakah pendidikan Islam dimaksudkan untuk mengembangkan
fitrah manusia, sebagai subyek didik pendidikan Islam, agar dapat membentuk
kepribadian Muslim dengan sendirinya, yang dimaksud kepribadian muslim adalah
pribadi yang dijiwai oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.
Kreativitas semacam apa yang
diinginkan? Dimungkinkan agar peserta didik untuk memiliki keberanian,
kepercayaan diri, kemampuan untuk memahami wahyu secara langsung dan tidak
mempunyai anggapan lagi bahwa pemahaman ulam masa lalu itu merupakan hasil yang
sudah final, yang pasti mujarab untuk mendiagnosa permasalahan-permasalahan
sekarang dan yang akan datang.
Tujuan dikembangkan kreativitas dalam metode
pendidikan Islam adalah untuk menghasilkan out
put yang kreatif. Dengan kata lain,
pendidikan islam harus dapat mengembangkan anak didik yang memiliki nilai
kreatif. Anak didik yang kreatif mempunyai tiga ciri yang menonjol, yaitu : 1)
mempunyai pemikiran asli (originality), 2) mempunyai keluwesan (flexibility),
dan 3) menunjukkan kelancaran proses berpikir (fluency).
E.
Pendidikan Islam Dalam Perubahan
Sosial
Tiga aliran yang menonjol adalah
aliran organisme positivistik, behaviorisme sosial, dan fungsionalisme sosial.
Aliran pertama dan ketiga mempunyai asumsi bahwa perubahan sosial itu bersifat
progresif, maju terus secara evolutif, sedangkan aliaran kedua berasumsi bahwa
perubahan itu berjalan sirkuler.
Dalam pendidikan Islam, sejak
permulaan sampai seterusnya nanti, selalu ada perubahan yang dinamis. Dahulu
pesantren-pesantren mengajarkan ilmu agama dengan cara sorongan dan bandongan,
dengan tidak memakai papan tulis, meja dan kursi belajar, namun sekarang sistem
sekolah masuk pada pesantren.
Sehingga perlu diketahui bahwa
perubahan yang terjadi pada masyarakat jauh lebih cepat dibandingkan dengan
yang terjadi pada pendidikan islam. dan perubahan itu terjadi secara
terus-menerus dan berkelanjutan, sesuai dengan dinamisasi masyarakat, oleh
karena itu perlu disusun prediksi pengembangan dan dikembangkan kreativitas
dalam pendidikan Islam.
II.
Pengembangan
Kreativitas Dalam Pendidikan Islam Kontemporer
A. Berbagai
Pengembangan Kreativitas Pendidikan Islam Dalam Menghadapi Perubahan Sosial
Tujuan pendidikan agama Islam bukan
hanya untuk memahami ajaran Islam, namun juga untuk mengamalkan ajaran-ajaran
itu dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Islam sebagaimana tersebut di atas
memiliki berbagai kelemahan, seperti belum bisa sebagai pengendali moral dan
akhlak bangsa, proses belajar-mengajarnya monoton. Sehingga berkonsekuensi Out
Put nya pasif, reseptif dan kurang kreatif.
Pembahasan
ini akan dikaitkan dengan pemikiran Paulo Freire, tentang pendidikan kebebasan,
dan David C. McClelland, tentang motivasi kerja.
1.
Pendidikan Kebebasan
Pendidikan
kebebasan oleh Paulo Freire dikembangkan bersama-sama dengan pendidikan
kesadaran. Peserta didik disadarkan akan potensinya, lantas diberi kebebasan
dan motivasi untuk berbuat. Di dalamnya dikembangkan prinsip-prinsip :
a) Kondisi dialogis antara guru dengan
murid, dalam proses belajar-mengajar saling mengajar antar keduanya.
b)
Melibatkan seluruh siswa.
c)
Siswa didorong untuk menemukan
masalah, lantas dengan problem solving.
Dengan prinsip-prinsip tersebut
pendidikan diharapkan dapat menghasilkan out put yang memiliki kreativitas
berpikir tinggi.
2.
Perlu Penanaman Teori Need For
Achievement
Yaitu
keinginan untuk mencapai hasil, yaitu agar dapat mencapai pemahaman wahyu yang
sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia sekarang dan
antisipasi untuk masa yang akan datang. Menurut teori tersebut semakin kuat
keinginan, semakin memungkinkan untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Pendidikan
Islam tampak sekali lemah motivasi untuk mewujudkan tujuan yang telah
dirancangkan. Upaya-upaya yang mengarah pada terealisirnya tujuan masih sangat
kurang. Apalagi motivasi untuk mengembangkan ilmu dan ini merupakan ciri utama
kelemahan pendidikan Islam. Sesuai dengan kekuatan yang dikaruniakan oleh Ego
Mutlak (Tuhan) yakni jiwa kreatif, kemauan dinamis.
B. Kreativitas
Sebagai Alternatif Dasar Pengembangan Pendidikan Islam Kontemporer
Esensi dari kreativitas adalah
kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun
karya nyata, yang berbeda dari yang telah ada. Kehidupan Mu’min sejati didasarkan
kepada wahyu dan penjelasan terhadap wahyu itu, yang berupa Sunnah, yang
dimaksud wahyu dan Sunnah pada konteks tersebut bisa mengacu pada dua
pengertian. Pertama, wahyu dan Sunnah dalam pengertian al-Qur’an dan Hadist.
Dalam arti, peserta didik memiliki kemampuan untuk memahami dan mengembangkan
wahyu itu secara langsung. Kedua, wahyu dan Sunnah sesuai dengan pemahaman
ulama tertentu, siswa tidak memahami kedua sumber itu secara langsung.
Kalau yang dimaksud wahyu dan sunnah
dalam pengertian yang pertama, maka pendidikan Islam bertugas memberikan
kemampuan pada peserta didiknya agar dapat memahami wahyu secara langsung.
Berarti di sini diperlukan berbagai kemampuan, yang dapat memberikan bekal
kepada peserta didik untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk mencapai itu,
diperlukan berbagai piranti dan metode. Piranti yang mutlak diperlukan adalah
penguasaan bahasa Arab, Ulumul Qur’an, Ulumul Hadist, dan Metodologi. Dan
metode yang memungkinkan adalah metode dialogis.
Dalam
metode dialogis, guru berkewajiban mengusahakan kondisi dan situasi yang
memungkinkan siswa untuk mengadakan dialog. Siswa, secara leluasa, mengadakan
dialog secara langsung, baik dengan guru maupun teman-temannya. Metode yang
demikian ini, pada gilirannya nanti dapat menumbuhkan kreativitas siswa. Adapun
mengenai isi pendidikan Islam yang biasa disebut kurikulum, harus menampilkan
sisi yang dapat membentuk peserta didik yang kreatif. Agar kurikulum dapat
memenuhi hal ini, maka kurikulum harus dilihat, minimal dari tiga prinsip,
yaitu : prinsip filosofis, psikologis dan
sosiologis.
Prinsip Filosofis
Prinsip filosofis memberikan arah dan
kompas tujuan pendidikan Islam, sehingga susunan kurikulum mengandung
kebenaran, terutama kebenaran di bidang nilai-nilai sebagai pandangan hidup
yang diyakini dari suatu kebenaran. Prinsip ini membawa rumusan kurikulum
pendidikan Islam pada tiga dimensi, yaitu dimensi ontologi, epistemologi,
dan aksiologi.
Ontologi mengarahkan kurikulum agar
lebih banyak memberi anak didik untuk berhubungan langsung dengan fisik
objek-objek serta berkaitan dengan pelajaran yang mengarahkan pada benda-benda
dan materi-materi kerja. Dimensi Epistemologi mengarahkan perwujudan kurikulum
berdasarkan metode konstruktif pengetahuan yang disebut dengan metode ilmiah
yang sifatnya mengajar berpikir menyeluruh, reflektif dan kritis. Metode ilmiah
ini dilakukan melalui lima tahapan, yaitu kesadaran akan adanya masalah,
perumusan msalah, identifikasi semua cara pemecahan masalah, proyeksi di semua
konsekuensi yang ajab timbul dan mengkaji konsekuensi tersebut dalam
pengalaman.
Dimensi
aksiologi mengarahkan pembentukan kurikulum yang dapat memberikan kepuasan pada
anak didik untuk memiliki nilai-nilai yang diperlukan mereka, supaya hidup
dengan baik, sekaligus menghindarkan nilai-nilai yang tidak diinginkan.
Tegasnya, ketiga dimensi tersebut merupakan kerangka dalam perumusan kurikulum
pendidikan Islam yang dapat memenuhi tujuan pendidikan itu sendiri jika
pendidikan Islam ditujukan untuk membentuk peserta didik yang kreatif, maka isi
kurikulumnya adalah segala sesuatu yang terkait dengan terbentuknya peserta
didik yang kreatif.
Prinsip Psikologis
Prinsip
Psikologis berkaitan dengan ciri-ciri perkembangan anak didik, tahap
kematangan, bakat-bakat jasmani, intelektual, bahasa, emosi,
kebutuhan-kebutuhan, keinginan, minat, kecakapan, perbedaan individu,
faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, proses belajar, pengamatan
terhadap sesuatu, dan lain-lain yang berkaitan dengan psikologi anak didik.
Jadi, menurut prinsip ini, kurikulum harus sesuai dengan keadaan perkembangan
psikologi peserta didik, dan harus sesuai dengan masa kematangan dari
masing-masing masa perkembangan dari peserta didiknya.
Prinsip Sosiologis
Prinsip
Sosiologis memberikan implikasi bahwa kurikulum pendidikan Islam memegang
peranan penting terhadap penyampaian dan pengembangan kebudayaan, proses
sosialisasi anak didik, dan dalam rekonstruksi masyarakat. Di samping itu juga
memberikan bekal kepada anak didik agar siap berkorban demi membela aqidah, dan
agar dapat mempunyai kemahiran kerja dalam masyarakat, di mana anak didik
tinggal nanti. Tegasnya, prinsip ini menghendaki agar isi kurikulum sesuai
dengan kebutuhan atau tuntunan masyarakat pada saat peserta didik mengalami
proses pendidikan maupun pada saat berikutnya, ketika peserta didik terjun
dalam kehidupan masyarakat.
Masalah-Masalah Kontemporer
Kontemporer adalah zaman sekarang,
yang ditandai oleh globalisasi dan industrialisasi. Industrialisasi merupakan
proses perkembangan teknologi dengan menggunakan ilmu pengetahuan terapan, yang
ditandai oleh ekspansi produksi secara besar-besaran, yang segalanya serba
mesin, dengan pembagian kerja yang serba spesialis. Kreativitas dikembangkan
pada pendidikan Islam dalam rangka terutama untuk mengantisipasi berbagai
dampak negatif, di samping untuk membentuk insan kamil atau mu’min sejati.
Pendidikan
Islam dikembangkan agar dapat menghasilkan subyek didik yang kreatif, untuk
mencapai hasil seperti itu guru harus memberikan kesempatan kepada subyek
didiknya untuk leluasa mengembangkan kreasinya. Alat-alat pendidikan baik
perangkat keras maupun lunaknya harus mendukung pula. Selanjutnya agar menjadi
lebih kreatif, siswa perlu dibantu :
1) Menciptakan rasa aman, maksudnya
guru perlu melindungi siswanya dari rasa terancam, tanpa berpretensi sebagai
pembela. Bantuan ini diberikan dengan maksud agar mereka mampu memahami
hubungannya dengan orang lain dan implikasi dari gagasan-gagasannya.
2) Mengakui kelebihan mereka, maksudnya
guru sebaiknya berusaha untuk menunjukkan bahwa kelebihan mereka diakui dan
dihargai. Pengakuan ini diberikan di dalam berbagai situasi yang memungkinkan
mereka menunjukkan kebolehannya (diskusi, seminar, penelitian, kepemimpinan,
dam kegiatan-kegiatan yang lain).
3) Memberikan peluang para siswa
untuk dapat mengomunikasikan gagasan-gagasannya. Keadaan
yang paling tidak menyenangkan bagi siswa adalah apabila mereka tidak memiliki
peluang untuk menyatakan gagasan-gagasannya. Guru hendaknya berusaha
menghilangkan hambatan ini. Dengan demikian, mereka merasa ditantang untuk
terus berpikir dan berbuat, karena mereka merasa mendapatkan peluang dari
lingkungannya.
4) Memberikan informasi mengenai
peluang yang tersedia. Peluang untuk mengembangkan
diri bukan hanya di sekolah, melainkan juga di luar sekolah. Minat siswa yang
luas menuntut memberikan informasi yang memadai dari guru mengenai
peluang-peluang yang tersedia di luar sekolah yang dapat diakses oleh siswa.
Pendidikan Islam dapat menghasilkan
out put yang kreatif atau tidak, sangat ditentukan oleh kurikulum. Untuk itu,
agar pendidikan Islam dapat menghasilkan out put yang kreatif, kurikulum perlu
dicermati dari segi pendekatan teori, teknologi, isi, metode dan proses belajar
mengajar.