KEBAHAGIAAN DALAM HIDUP DI DUNIA
Setiap manusia yang hidup di dunia, selalu
menginginkan kebahagiaan. Setiap orang memiliki jenis kebahagiaan yang
berbeda-beda, ada yang kebahagiaannya diukur dari berapa banyak hartanya,
seberapa tinggi jabatan pekerjaannya, atau lain sebagainya dan Anda pun pasti
memiliki indikator-indikator tersendiri dalam mengategorikan kehidupan yang
bahagia. Jadi, apa hakikat kebahagiaan? Apakah ada kebahagiaan di dunia ini?
Apa penyebab dan kondisinya? Apakah mungkin menwujudkannya? Apakah kebahagiaan
itu sesaat atau mutlak.
Sejatinya, apapun yang Anda inginkan dari kehidupan
di dunia ini semua itu pada dasarnya ada pada diri Anda. Keinginan-keinginan
yang ada pada diri Anda saat ini adalah hasil dari pilihan-pilihan Anda dalam
memposisikan kebahagiaan bagi diri Anda. Contohnya; seseorang merasa puas dan
bangga telah memiliki rumah dengan hasil usahanya sendiri, namun Anda pribadi
mungkin belum tentu puas hanya karena memiliki rumah, mungkin Anda masih
menginginkan mobil sendiri, perabotan-perabotan, atau lain sebagainya.
Mengapa seperti itu, pernahkah kita menyadarinya.?
Jadi, kita boleh bersimpulan bahwa kebahagiaan itu banyak dan setiap orang
memiliki standar dan kepuasan sendiri-sendiri. Benarkah seperti itu.?
seandainya kita berasumsi bahwa tidak ada kategori khusus yang mengatur standar
dan syarat kebahagiaan manusia, berarti wajarlah realitas yang terdapat dalam
kehidupan ini. Sekarang kita bisa melihat begitu banyaknya perilaku dan
tindakan kriminal, asusila, anomali, apatis, dan lain sebagainya. Sekilas kalau
kita melihat secara seksama, mungkin tidak ada hubungannya dengan kebahagiaan
pada diri Anda, namun coba sama-sama kita renungkan karena kita menganggap
bahwa kebahagiaan itu ada banyak, jadi pastinya semua aspek-aspek lain keluar pula
dari batasannya. Contoh gambarannya seperti ini; Anda berasumsi bahwa indikator
kebahagiaan itu ada pada masing-masing individu, jadi hal-hal yang lain seperti
kebenaran, kejahatan, kebaikan, keburukan, dan sifat-sifat yang lainnya mungkin
saja indikatornya sesuai asumsi masing-masing orang. Bisa Anda bayangkan kalau
keadaannya kehidupan seperti itu, apa yang akan terjadi.??.
Pada dasarnya manusia itu memiliki kemampuan ‘membedakan’
dan selalu berusaha mencari kebenaran dalam setiap aspek dari kehidupannya.
Mungkin Anda bisa dengan mudah membedakan mana sifat-sifat yang baik dan mana
sifat-sifat yang buruk dengan menggunakan aqal, namun bisa saja Anda masih
sulit membedakan mana sifat-sifat yang pasti benar dan mana sifat-sifat yang pasti
salah karena untuk membedakan hal tersebut tidak hanya membutuhkan aqal, namun
juga memerlukan suatu ‘dalil’ atau dasar yang betul-betul absolut dan mutlak. Contohnya
seperti ini: “secara empirik dan teruji kebenarannya bahwa pada dasarnya
manusia itu memiliki kepribadian dan kepribadian-kepribadian itu tidak ada yang
sama persis pada tiap-tiap orang.” Pernyataan tersebut adalah suatu contoh yang
disebut dengan ‘dalil’ atau konsep (dasar) dalam menyatakan kepribadian
manusia. Masalahnya adalah, apakah benar dalil itu.? apakah mutlak kebenaran
dari konsep tersebut.? Jawabnya adalah “belum tentu”, mengapa belum tentu.?
Karena secara mutlak, konsep tersebut belum bisa sepenuhnya di ukur dan belum bisa
sepenuhnya digeneralisasi operasionalnya. Jadi, bagaimana yang disebut itu
‘dalil’ apakah tidak ada yang benar-benar mutlak di dunia ini?.
Dari penjelasan singkat ini, mungkin kita bisa
mengambil kesimpulan bahwa kehidupan dunia ini tidak ada yang mutlak dalam hal
asumsif. Semuanya relatif, namun bukan berarti tidak ada yang mutlak dalam
artian benar-benar pasti ada dalam kehidupan ini. Bahkan untuk memastikan
kebenaran yang pasti benar itu, Anda wajib memilih untuk mempercayainya atau
tidak mempercayainya bahwa ada ‘dzat’ yang benar-benar mutlak. Dzat itu mutlak
ada, mutlak berbeda, dan mutlak menguasai seluruh semesta hingga alam pikiran
kita (manusia). Apakah dzat itu, saya rasa Anda paham apa yang dimaksudkan.
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu,
sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS.
Al-Baqarah : 147).
Kembali kepada bahasan tentang kategori kebahagiaan
itu, Anda boleh mempercayainya atau tidak bahwa kebahagiaan merupakan pencarian
dan tujuan. Meski pemahaman kebanyakan manusia belum mengristalkan pada satu
arti nama (kata). Namun, sebagian orang mengartikan kebahagiaan sebagai;
ketenangan dan kenyamanan. Selain itu, dalam setiap pemahaman manusia telah
terbayang arti kebahagiaan dengan segala definisinya.
Meski ada perdebatan mengenai inti kebahagiaan,
sebagian orang mengingkarinya, dengan anggapan bahwa dunia adalah tempat yang
penuh malapetaka dan penderitaan. Sedangkan sebagian lain mencitrakan
kebahagiaan sebagai keadaan sesaat. Banyak manusia yang mencari sebab
kebahagiaan melalui kemewahan, pangkat, kemuliaan, kepemimpinan, kekuatan,
kecantikan, kedamaian, mewujudkan cita-cita, mencapai berbagai target,
kesehatan, keberanian, kelezatan, hobi, kemasyuran, dan bahkan ketika Anda
membaca ulasan ini, sebenarnya Anda berusaha untuk memastikannya.
Sebagian orang menyatakan bahwa kebahagiaan hanyalah
kata-kata yang tidak ada kenyataannya. Orang-orang yang menganggap kebahagiaan
itu ada, mereka hanyalah berfantasi dan mendustai realitas, nampak sekali
mereka ini bodoh dan berkhianat. Karena mereka tidak dapat berfikir bahwa Tuhan
telah menciptakan kita pada alam semesta yang luas ini dengan berbagai
kebaikan, kenikmatan, dan berkah.
Dalam ajaran Islam dikatakan apabila manusia lalai
memandang dirinya, niscaya dia akan menemukan dirinya itu terbentuk dari; tubuh
yang kepentingannya hanyalah makan, minum, dan tambahan asupan tanpa batas;
jiwa yang kepentingannya hanya untuk bersenang-senang dalam dosa dan
kedurhakaan; hati yang selalu terguncang dengan kecemasan dan kesedihan; lidah
yang selalu berbicara hal yang sia-sia yang melukai dan tidak dapat
disembuhkan.
Seorang tokoh yang bernama ‘Tsabit bin Qarrah’
mengemukakan jalan yang dapat mencapai kebahagiaan. Ia berkata untuk mencapai
kebahagiaan dibutuhkan, “ketenangan tubuh dalam sedikit makanan, ketenangan
jiwa dalam sedikitnya dosa, ketenangan hati dalam sedikit kesedihan, dan
ketenangan lidah dalam sedikit berbicara.
Ketenangan Tubuh dalam Sedikit
Makanan. Tubuh hanyalah sebuah
alat yang bahan bakarnya adalah makanan. Sesuai konsepnya bahwa bahan bakar
yang wajib diberikan kepada tubuh adalah bahan bakar yang sesuai dengan
porsinya. Apabila ditambahi atau dikurangi maka alat tersebut dapat diluar
kendali kita dan menimbulkan malapetaka. Jadi, langkah awal mencapai kebahagiaan
adalah “makan untuk hidup” bukan hidup untuk makan.
Ketenangan Jiwa dalam Sedikit Dosa. Jiwa adalah wujud yang wajib manusia kuasai, musuh
utama jiwa adalah hawa nafsu, ibarat sebuah kuda, kuda itu harus dijinakkan
oleh kita untuk bisa dikendalikan diperintah oleh diri (jiwa). Jiwa yang mampu
Anda kuasai akan menghindarkan anda dari perbuatan keji (dosa) dan melampaui
batas, senjata Anda untuk mengikat jiwa Anda adalah dengan iman dan taqwa,
serta membatasi antara jiwa dan hawa nafsu. “singkirkan hawa nafsumu dan
waspadalah, karena ia dapat mengendalikanmu, jika hawa nafsu mengendalikanmu,
sungguh celakalah kamu”.
Ketenangan Hati dalam Sedikit
Kesedihan. Hati adalah jantung
perasaan dari manusia, seperti halnya jantung yang sangat penting bagi fisik,
hati juga sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia secara ruhani. Menjaga
hati dari kesedihan, kedukaan, kesakitan, dan penderitaan secara tidak langsung
Anda telah memasuki tahap kebahagiaan di dunia. Menjaga hati dari racun dan
penyakit hati dapat menumbuhkan sikap puas diri dan selalu siap menghadapi
tantangan, mental Anda akan kebal dari ketakutan dan ketidakmampuan terhadap
materi apa pun di dunia ini.
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan
hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d: 28).
Ketenangan Lidah dalam Sedikit
Berbicara. Lidah adalah gambaran
utuh seorang manusia, dikatakan bahwa seseorang itu dinilai oleh orang lain
berdasarkan apa yang dia lisankan (katakan). Seorang bijak pernah ditanya,
“kapan seorang pria menjadi kuat?” ia menjawab, “ketika lidahnya ingin
mengucapkan kata-kata yang tidak bijaksana, tapi ia menahannya dengan segenap
kekuatan dan kemampuannya.”
Ini adalah jalan kebahagiaan menurut perspektif
agama, yaitu ketika tubuh dapat dicegah dari makan yang berlebihan, jiwa dapat
dicegah dari perbuatan keji (dosa), hati dapat dicegah dari kesedihan dan
kecemasan yang berat, sedangkan lidah dapat dicegah dari ucapan yang sia-sia,
niscaya Anda akan lurus dan menjadi orang yang benar-benar bahagia.
Jadi, dapat kita simpulkan bahwa ada kebahagiaan
yang benar-benar haq’ dalam dunia kita. Ketika Anda mampu bijaksana dalam
memahami dan menjalani hidup, pandangan Anda terhadap dunia akan terjungkir
balik ke arah kebahagiaan di dunia. Sebagaimana Socrates menyatakan bahwa :
“Berapa kali kecantikan memakan
korban karena menjadi penggoda yang tidak tahu malu. Berapa kali kekuatan
menipu manusia, hingga mereka binasa di jalan-jalan, tanpa daya untuk
menahannya, tubuhnya yang fana menderita. Betapa banyak pribadi yang mendapat
kekayaan dan kelapangan, tapi justru bahaya besar menghancurkan angan-angan
kenikmatannya. Betapa banyak pribadi yang namanya terdengar dan dikenal oleh
semua orang, yang mulia, tapi kemuliaan dan kepercayaan manusia kepada mereka
justru menjadi faktor kehancuran mereka.”
Jika demikian, kebahagiaan bukanlah bersumber dari suatu
sisi materi, tapi lebih mengarah kepada pengondisian jiwa yang terwujud pada
pengendalian (kebijaksanaan) keinginan diri, hingga Anda tidak keluar dari
batas kemampuan yang Anda miliki. Socrates memisalkan hal itu pada jiwanya
dengan batasan yang jauh, ia membatasi keinginan-keinginannya dan memegang kendali
jiwanya. Suatu ketika, Socrates pernah dihina karena memandang kebahagiaan bagi
dirinya yang pada zamannya, kebahagiaan itu ditentukan oleh kekayaan dan
kejayaan, namun jawaban Socrates pada masa itu tidak dapat dibantah sepenuhnya
oleh para bangsawan pada zamannya :
“Aku tidak merasa terhalangi
terhadap sesuatu yang aku inginkan. Mengapa Anda melecehkan makananku? Apakah
itu lebih buruk dari makananmu dari sisi kesehatan atau dari sisi gizinya?
Apakah karena sulit mendapatkannya? Apakah karena langka? Apakah karena terlalu
mahal? Apakah Anda tidak tahu, bahwa selera tidak membutuhkan bumbu? Bukankah
orang yang minum dengan lezat tidak dapat memikirkan jenis-jenis minuman yang
ia tidak bisa mendapatkannya? Apakah Anda menganggap aku terus-menerus berada di
rumah karena kedinginan? Atau untuk berteduh dari teriknya matahari? Atau aku
tidak mampu pergi kemana yang aku inginkan karena luka di kakiku?”
Jika demikian arti kebahagiaan menurut pandangan
Socrates berasal dari puas diri (Qana’ah), namun puas diri menurutnya bukan
berarti lemah, ia banyak menghimbau untuk selalu aktif dan bekerja. Ia
memandang bahwa kemalasan akan menjauhkan manusia dari kebahagiaan, yang juga
akan menjauhkannya dari akhlak yang mulia.
“Wahai yang Maha membolak-balikkan
Hati, teguhkan hatiku pada agama-Mu.”
(HR. Ahmad)
Semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan kita
bersama, billahi fii sabilil haq’
fastabiqul khairat, wabillahi taufiq walhidayah, wassalamualaikum
warahmatullahi wabarokatuh...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar