Dalam
era kemajuan informasi dan teknologi, siswa semakin tertekan dan terintimidasi
oleh perkembangan dunia akan tetapi belum tentu diimbangi dengan perkembangan
karakter dan mental yang mantap. Seorang Guru Bimbingan dan Konseling atau
Konselor mempunyai tugas yaitu membantu siswa untuk mengatasi permasalahan dan
hambatan dan dalam perkembangan siswa. Setiap siswa sebenarnya mempunyai
masalah dan sangat variatif. Permasalahan yang dihadapi siswa dapat bersifat
pribadi, sosial, belajar, atau karier. Oleh karena keterbatasan kematangan
siswa dalam mengenali dan memahami hambatan dan permasalahan yang dihadapi siswa,
maka konselor sebagai pihak yang berkompeten perlu memberikan intervensi.
Apabila siswa tidak mendapatkan intervensi, siswa mendapatkan permasalahan yang
cukup berat untuk dipecahkan.
Konselor
sekolah senantiasa diharapkan untuk mengetahui keadaan dan kondisi siswanya
secara mendalam. Untuk mengetahui kondisi dan keadaan siswa banyak metode dan
pendekatan yang dapat digunakan, salah satu metode yang dapat digunakan yaitu
studi kasus (Case Study). Dalam perkembangannya, oleh karena kompleksitas
permasalahan yang dihadapi siswa dan semakin majunya pengembangan teknik-teknik
pendukung seperti hanya teknik pengumpulan data,teknik identifikasi masalah,
analisis, interpretasi, dan treatment metode studi kasus terus diperbarui.
Studi kasus akan mempermudah konselor sekolah untuk membantu memahami kondisi
siswa seobyektif mungkin dan sangat mendalam. Membedah permasalahan dan
hambatan yang dialami siswa sampai ke akar permasalahan, dan akhirnya konselor
dapat menentukan skala prioritas penanganan dan pemecahan masalah bagi
siswa tersebut.
PENDAHULUAN
Bangsa
Indonesia terdiri dari beragam suku dan ras, yang mempunyai budaya, bahasa,
nilai, dan agama atau keyakinan berbeda-beda. Bila bangsa ini ingin menjadi
kuat dalam era demokrasi, diperlukan sikap saling menerima dan menghargai dari
tiap orang yang beraneka ragam itu sehingga dapat saling membantu, bekerja sama
membangun negara ini lebih baik. Perkembangan pembangunan nasional dalam era
industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat
terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya
telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan
antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja,
kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi kondisi
masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis
memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan
sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya.
Kondisi
masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta
status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan
dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya
benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku
dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok
Achmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini
terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa,
Untuk itu dipandang sangat penting memberikan pendidikan multikultural sebagai
wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik
memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial
yang berakar pada perbedaan karena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi
pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi
maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.
TEORI
– TEORI TENTANG PENDIDIKAN MULTI BUDAYA
Banks
(1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase.
Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap
kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha
untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem
pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti
perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan
mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, riset dan
praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah
menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para
praktisi, dari pendidikan multibudaya. Nieto (1992) menyebutkan bahwa
pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti
rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi
warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem
pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan
murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan
murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan
akademik; dan lain lain.
Bill
Martin Dalam tulisannya yang berjudul Multiculturalism: Consumerist or
Transformational?, Bill Martin menulis, bahwa keseluruhan isu tentang multikulturalisme
memunculkan pertanyaan tentang "perbedaan" yang nampak sudah
dilakukan berbagai teori filsafat atau teori sosial. Sebagai agenda sosial dan
politik, jika multikulturalisme lebih dari sekedar tempat bernaung berbagai
kelompok yang berbeda, maka harus benar-benar menjadi 'pertemuan' dari berbagai
kelompok itu yang tujuannya untuk membawa pengaruh radikal bagi semua umat
manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal (Martin, 1998: 128).
PRAKTEK
PELAKSANAAN PENDIDIKAN MULTI BUDAYA
Agar
pendidikan lebih multikultural, maka kurikulum, model pembelajaran, suasana
sekolah, menyeragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada , dan peran guru
harus dibuat multicultural serta peran keluarga yang sangat penting untuk
pelaksanaan multi budaya. Isi, pendekatan, dan evaluasi kurikulum harus
menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif. Isi dan bahan ajar di sekolah
perlu dipilih yang sungguh menekankan pengenalan dan penghargaan terhadap
budaya dan nilai lain.Pertama Misalnya, dalam semua bidang pelajaran, dimasukkan
nilai dan tokoh-tokoh dari budaya lain agar siswa mengerti bahwa dalam tiap
budaya, ilmu itu dikembangkan. Contoh-contoh ilmuwan dan hasil teknologi, perlu
diambil dari berbagai budaya dan latar belakang termasuk gender. Kesamaan dan
perbedaan antarbudaya perlu dijelaskan dan dimengerti. Siswa dibantu untuk kian
mengerti nilai budaya lain, menerima dan menghargainya. Misalnya, dalam
mengajarkan makanan, pakaian, cara hidup, bukan hanya dijelaskan dari budayanya
sendiri, tetapi juga yang lain.
**Kedua Model
pembelajaran dalam kelas pun perlu diwarnai multikultural, yaitu dengan
menggunakan berbagai pendekatan berbeda-beda. Penyajian bahan, termasuk
matematika, dalam memberi contoh, guru perlu memilih yang beraneka nilai.
Buku-buku yang ditulis dalam pelajaran pun perlu disusun untuk menghargai
budaya lain dan penghargaan gender.
**Ketiga Suasana
sekolah amat penting dalam penanaman nilai multibudaya. Sekolah harus dibangun
dengan suasana yang menunjang penghargaan budaya lain. Relasi guru, karyawan,
siswa yang berbeda budaya diatur dengan baik, ada saling penghargaan. Anak dari
kelompok lain tidak ditolak tetapi dihargai.
**Keempat dengan
menyeragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada, baik dari segi budaya,
agama, nilai, dan lain-lain. Sikap saling menerima, menghargai nilai, budaya,
keyakinan yang berbeda tidak otomatis akan berkembang sendiri. Apalagi karena
dalam diri seseorang ada kecenderungan untuk mengharapkan orang lain menjadi
seperti dirinya.
**Kelima Dengan
sikap saling menerima dan menghargai akan cepat berkembang bila dilatihkan dan
dididik pada generasi muda dalam sistem pendidikan nasional. Dengan
pendidikan, sikap penghargaan terhadap perbedaan yang direncana baik, generasi
muda dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan
budaya lain bahkan melatihnya dalam hidup sehingga sewaktu mereka dewasa sudah
mempunya sikap itu. Di sini pemerintah dan tiap sekolah perlu memikirkan model
dan bentuk yang sesuai.
**Keenam lewat
penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium
pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya,
agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara
damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau
menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan
melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari
kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah
maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi
salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan
Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara
demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan,
nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
PERAN
GURU DAN KELUARGA DALAM PELAKSANAAN MULTI BUDAYA
Peran
guru dalam pendidikan multikultur juga amat penting. Guru harus mengatur dan
mengorganisir isi, proses, situasi, dan kegiatan sekolah secara multikultur, di
mana tiap siswa dari berbagai suku, jender, ras, berkesempatan untuk
mengembangkan dirinya dan saling menghargai perbedaan itu.
Guru
perlu menekankan diversity dalam pembelajaran, antara lain dengan1)
mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain dalam hidup
bersama sebagai bangsa; dan 2) mendiskusikan bahwa semua orang dari budaya apa
pun ternyata juga menggunakan hasil kerja orang lain dari budaya lain. Dalam
pengelompokan siswa di kelas mapun dalam kegiatan di luar kelas guru diharapkan
memang melakukan keanekaan itu. Usaha untuk mengembangkan sikap penghargaan ini
masih panjang, terlebih karena kadang ada kecurigaan terhadap budaya lain.
Semoga kita makin mengusahakannya, meski banyak tantangan. Semoga bangsa ini
kian kuat bekerja sama, bukan saling menghancurkan.
Didalam peran keluarga adalah peran yang sangat penting bagi pendidikan multi budaya karena Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya (agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga yang lain. Serta didalam keluarga, orang tua juga menanamkan dan memberi contoh perilaku agar kita bisa mencintai, menjaga ,memahami dan melestarikan rasa kebudayaan, ras, agama, bahasa yang beraneka ragam yang kita miliki.
PENTINGNYA
PENDIDIKAN MULTI BUDAYA
Pada konteks ini dapat
dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan
sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya
yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat
belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan
(l’intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi
atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah
kultur monolitik dan uniformitas global.
Pendidikan multikulturalisme/multibudaya sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita, dan juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan multikultural membantu siswa mengerti, menerima, dan menghargai orang dari suku, budaya, dan nilai berbeda. Untuk itu, anak didik perlu diajak melihat nilai budaya lain, sehingga mengerti secara dalam, dan akhirnya dapat menghargainya. Bukan dengan menyembunyikan budaya lain, atau menyeragamkan sebagai budaya nasional, sehingga budaya lokal hilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar