SAATNYA DAN SELAYAKNYA ANDA MENGETAHUI

Jumat, 16 November 2012

Integrasi Bimbingan Konseling dalam Dakwah Islam


Pengertian Dakwah Islam
Secara harfiah dakwah diartikan ajakan, panggilan, seruan, dan permohonan. Sehingga dakwah sering kali diartikan sebagai ajakan, panggilan, atau seruan yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Secara terminologi, istilah dakwah memiliki banyak definisi konseptual. Pertama, dakwah diartikan sebagai usaha yang mengarah pada upaya perbaikan suasana kehidupan yang lebih baik dan layak sesuai dengan kehendak dan tuntunan kebenaran.

Kedua, dakwah diartikan sebagai usaha membuka konfrontasi keyakinan di tengah-tengah arena kehidupan manusia yang sangat beragam, sehingga membuka kemungkinan bagi manusia untuk menentukan pilihannya sendiri. Ketiga, dakwah diartikan sebagai ajakan kepada standar nilai-nilai kemanusiaan dalam tingkah laku pribadi, dalam konteks hubungan antar manusia, dan sikap perilaku antar manusia. Keempat, dakwah diartikan sebagai proses mengajak manusia dengan cara-cara yang bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah SWT, demi kesejahteraan dan kebahagiaannya di dunia dan akhirat.

Kelima, dakwah diartikan sebagai proses usaha untuk mengajak orang lain agar beriman kepada Allah, percaya dan menaati apa yang telah diberitakan oleh Rasulullah. Keenam, dakwah diartikan sebagai usaha mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap individu maupun masyarakat. Ketujuh, dakwah diartikan sebagai gerakan untuk merealisasikan undang-undang Allah (ihya’ nidham Allah) yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Kedelapan, dakwah juga diartikan sebagai pendorong atau motivasi manusia agar melaksanakan kebaikan dan mengikuti petunjuk serta memerintah berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan munkar, supaya mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Kesembilan, dakwah diartikan sebagai usaha atau aktivitas manusia baik melalui lisan, tulisan, atau lainnya yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan menaati Allah SWT.

Amrullah Ahmad menyebutkan bahwa secara garis besar pola pendefinisian istilah dakwah ada dua, yaitu dakwah diartikan sebagai tablig, penyiaran, atau penerangan agama dan dakwah diartikan sebagai segala bentuk usaha yang bertujuan untuk merealisir ajaran agama Islam dalam seluruh aspek kehidupan.

Dalam konteks komunikasi, dakwah juga sering dibedakan menjadi dakwah melalui lisan (komunikasi oral), dakwah melalui tulisan (komunikasi tulis), dan dakwah bil hal, yang terealisasi melalui tindakan nyata dalam kehidupan (komunikasi tubuh).

Pengertian Bimbingan dan Konseling
Secara bahasa istilah bimbingan dan konseling memiliki akar yang berbeda. Bimbingan berasal dari kata guidance yang berasal dari kata kerja to guide, yang berarti ‘membimbing’ atau ‘menunjukkan’. Konseling menurut asal kata dari bahasa lainnya, consilium yang berarti ‘dengan’ atau ‘bersama’ yang dirangkai dengan ‘menerima’ atau ‘memahami’. Namun dari segi pengertiannya, kedua istilah tersebut memiliki berbagai ragam pengertian, yang terkadang saling tumpang tindih, bahkan disamakan.

Menurut Prayitno dan Erman Amti, istilah bimbingan diartikan sebagai “proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli terhadap seseorang atau beberapa individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa, agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuannya secara mandiri, dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada serta dapat menyelesaikan konflik diri berdasarkan norma-norma yang berlaku. Menurut Bimo Walgito, istilah bimbingan diartikan sebagai bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada seorang individu atau sekelompok individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam kehidupannya, supaya mereka dapat mencapai kesejahteraan hidup.

Menurut Prayitno dan Erman Amti, istilah konseling dapat diartikan sebagai proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (konselor) kepada individu yang sedang mengalami masalah (klien), yang berujung pada teratasinya masalah yang dihadapi klien tersebut. Menurut Dewa Ketut Sukardi, istilah konseling diartikan sebagai upaya bantuan yang dilakukan dengan empat mata atau tatap muka antara konselor dan konseli. Berisikan usaha yang laras, unik, human (manusiawi), yang dilakukan dalam suasana keahlian dan didasarkan pada norma-norma yang berlaku, agar konseli memperoleh konsep diri tentang dirinya sendiri dalam usaha untuk memperbaiki tingkah laku pada saat ini menuju ke masa yang akan datang.

Atas dasar inilah keberadaan aktivitas bimbingan dan konseling sangat mungkin diintegrasikan dengan aktivitas dakwah Islam, karena secara persamaan tujuan dan manfaat bisa dikatakan ada keterkaitan. Sedangkan dalam aplikasi dan metode yang sedikit berbeda, namun semua itu tidak lepas dari tujuan untuk kebaikan dan membantu manusia.

Kesehatan Mental dalam Pandangan Psikoreligius
Dalam sejarah agama, manusia berusaha selalu mencari perlindungan dalam agama tertentu untuk mencari ketenteraman jiwa, yaitu usaha untuk memperbaiki kesehatan mental. Kesehatan mental dapat dicapai antara lain dengan keyakinan akan ajaran agama, keteguhan dalam mengindahkan norma-norma sosial, hukum, moral dan lainnya, karena yang menentukan ketenangan dan kebahagiaan hidup adalah kesehatan mental.

Orang yang sehat mentalnya tidak akan cepat merasa putus asa, pesimis, apatis, karena dia dapat menghadapi semua rintangan atau kegagalan dalam hidup dengan tenang dan wajar serta menerima kegagalan itu sebagai sebuah pelajaran berharga untuk dia di kemudian hari, dia mampu tulus dan ikhlas dalam melakukan kegiatan, serta total dalam beramal (kegiatan).

Dalam pembinaan moral, peranan agama sangat penting melalui kebiasaan dan pengalaman hidup yang ditanamkan sejak kecil oleh orang tua dengan jalan memberi contoh. Istilah kesehatan mental dalam al-qur’an dan hadits banyak sekali, antara lain ; najat (keselamatan), fawz (keberuntungan), falah (kemakmuran), dan sa’adah (kebahagiaan) bentuknya meliputi yang berlaku di dunia ini dan kehidupan di akhirat kelak.

Agama merupakan kebutuhan dasar spiritual manusia. Dari kajian ilmiah yang telah dilakukan oleh Dr. Howard Clinebell dalam Hawari (1999: 493-497) diperoleh inventarisasi 10 butir kebutuhan dasar spiritual manusia, yaitu :
1.   Kebutuhan akan kepercayaan dasar (basic Trust), yang senantiasa secara teratur terus menerus diulang guna membangkitkan kesadaran bahwa hidup ini adalah ibadah.
2.  Kebutuhan akan makna hidup, tujuan hidup dalam membangun hubungan yang selaras serasi dan seimbang dengan Tuhan-Nya (vertikal) dan dengan sesama manusia (horizontal) serta alam sekitarnya.
3.   Kebutuhan akan komitmen peribadatan dan hubungannya dalam hidup keseharian pengamalan agama hendaknya integratif antara ritual dan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.
4.   Kebutuhan akan pengisian keimanan dengan selalu teratur mengadakan hubungan dengan Tuhan (vertikal). Hal ini dimaksudkan agar kekuatan iman dan takwa senantiasa tidak melemah, dengan menjalankan ibadah shalat lima waktu, sehingga dalam kehidupan (horizontal) selalu terpadu olehnya.
5.  Kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan berdosa. Hal ini merupakan beban mental bagi seseorang yang menjadi ciri-ciri jiwa yang sehat.
6.   Kebutuhan akan penerimaan diri dan harga diri (self-acceptance dan self-esteem) dapat dilakukan bersama-sama baik terhadap Tuhan-Nya maupun terhadap sesama manusia.
7.  Kebutuhan akan rasa aman, terjamin dan keselamatan terhadap harapan masa depan. Bagi orang beriman hidup ini ada dua tahapan, yaitu jangka pendek hidup di dunia, dan jangka panjang hidup di akhirat.
8.   Kebutuhan akan dicapainya derajat dan martabat yang semakin tinggi sebagai pribadi yang utuh (integrated personality). Bagi orang yang beriman akan senantiasa mendekatkan diri pada Tuhan, sehingga diharapkan derajat dan martabatnya di mata sesama manusia akan lebih tinggi.
9.      Kebutuhan akan terpeliharanya interaksi dengan alam dan sesama manusia, dengan demikian orang akan hidup dalam kedamaian, aman, tenang, dan tenteram, bebas dari pencemaran lingkungan dan kriminalitas.
10. Kebutuhan akan kehidupan bermasyarakat yang syarat dengan nilai-nilai religiusitas.

Konseling dan Islam: Upaya Perbandingan
Berdasarkan konsep psikospiritual atau religius yang terdapat dalam ilmu psikologi yang berkaitan dengan aktivitas konseling, kegiatan konseling dapat diintegrasikan ke dalam sumber ajaran Islam, baik berupa ayat-ayat al-qur’an maupun hadist dan sunnah sebagai landasan untuk membangun Konseling Islam.

Allah mewahyukan agama ini dalam nilai kesempurnaan tertinggi yang meliputi segi fundamental tentang duniawi dan ukhrawi guna mengantarkan manusia kepada kebahagiaan lahir batin di dunia dan akhirat. Karena itu Islam bersifat universal dan External serta sesuai dengan fitrah manusia. Konsekuensinya Islam menjadi agama dakwah, yang harus disampaikan kepada seluruh manusia dan itu menjadi tugas setiap muslim.

Dalam Islam telah dibentangkan berbagai konsep yang tegas dan jelas tentang hakikat hidup dan kehidupan, tujuan hidup, dan siapakah manusia itu. Manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi ini serta memakmurkannya (QS. Al-an’am [6]: 165). Selain itu, manusia diciptakan juga untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah (QS. Adz-dzariyat [51]: 56). Seluruh konsep-konsep tersebut dapat dijadikan kerangka acuan dalam menjelaskan hakikat manusia yang berlaku dalam konseling Islam. Orientasi keberadaan manusia menurut Islam adalah dunia akhirat.

Islam memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki fitrah keimanan, mempunyai potensi akal, penglihatan, pendengaran dan hati. Semua potensi tersebut bisa dijadikan sebagai penunjuk jalan hidupnya, landasan moral untuk bertanggung jawab atas jalan yang dipilihnya, dan selalu berpikir positif dalam setiap gerak langkahnya untuk menggapai hari esok yang lebih baik. Islam mengajarkan manusia untuk tidak terikat oleh masa lalu yang suram, demikian juga tidak boleh terpaku dan silau oleh keberhasilan yang telah dicapai. Semua yang ada, adalah ujian sekaligus amanat yang harus dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Oleh karena itu manusia harus beriman dengan mengendalikan diri, ikhtiar dan tawakal kepada Allah SWT.

Secara umum, dapat diperjelas bahwa pandangan Islam yang dapat dijadikan kerangka acuan analisa Konseling Islam dalam merumuskan hakikiat manusia, pribadi sehat, pribadi tidak sehat, dan tujuan konseling, seperti berikut :

Pertama, hakikat manusia menurut Islam adalah netral-pasif dan aktif, yang hanya dibedakan dengan rentang waktu, faktor usia, yakni balita dan dewasa. Manusia itu netral-pasif pada masa balita, karena pada masa itu potensi yang dimiliki oleh individu belum berfungsi secara optimal, belum mandiri dan masih bergantung pada orang lain (orang tua). Manusia itu netral-aktif setelah usia akil balig, karena pada masa ini potensi yang dimiliki oleh individu sudah berfungsi secara optimal. Secara fitrah, manusia itu beragama tauhid, sebagai penerima kebenaran, serta terikat oleh perjanjian untuk mengakui Allah sebagai Tuhannya. Manusia diberi kebebasan dalam hidupnya dan dibekali dengan potensi akal, pendengaran, penglihatan dan hati serta petunjuk Ilahiyah untuk menentukan jalan mana yang dipilih, apakah jalan ketakwaan atau kefasikan.

Kedua, pribadi sehat menurut Islam diukur berdasarkan berfungsinya iman sebagai penentu kognitif, afektif dan psikomotorik manusia. Dalam hal ini berarti berpikir, bertindak dan berbuat sesuai dengan fitrahnya yang mengarah pada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat merupakan batasan kriteria kesehatan pribadinya. Pribadi yang sehat akan mengarah kepada mental yang sehat meliputi; mencintai Allah, bertakwa, mengakui kesalahan, ber-­amar ma’ruf nahi munkar, memelihara hubungan dengan Allah dan dengan sesama manusia, berpandangan hidup lurus, saling menolong dalam kebaikan dan melarang berbuat dosa, batinnya kuat, berlaku sabar dan adil, bernasihat tentang kebenaran, selalu mengingat Allah, menjaga keseimbangan dunia akhirat, selalu berpikir positif, dan banyak lagi.

Ketiga, pribadi tidak sehat menurut Islam adalah tidak berfungsinya iman dengan penuh sebagai penentu atau pengendali kognitif, afektif dan psikomotorik manusia. Pribadi tidak sehat ini dalam al-qur’an termasuk golongan hamba yang tidak mendapat petunjuk dan tidak dicintai Allah. Mereka tersesat karena tidak mau menggunakan akalnya. Hal ini berarti manusia tidak memanfaatkan potensi yang diberikan Allah, melupakan Allah, dhalim, kafir, musyrik, munafik, selalu mengikuti hawa nafsu, dan perbuatan yang menimbulkan kerugian serta kerusakan.

Keempat, tujuan Konseling menurut Islam adalah pemberdayaan iman, atau lebih tepatnya mengembalikan manusia sesuai dengan fitrahnya yaitu beragama tauhid dan penerima kebenaran, terikat perjanjian dengan Allah dan mengakui bahwa Allah itu Tuhannya, dibekali dengan potensi akal, pendengaran, penglihatan, hati, dan petunjuk Ilahiyah, sebagai khalifah atau pemegang amanat untuk tugas keagamaan, dan sebagai abdullah (pengabdi), bertanggung jawab atas perbuatan- perbuatannya, serta diberi kebebasan menentukan jalan hidupnya sesuai dengan fitrahnya.

Berdasarkan kerangka acuan di atas, maka hakikat fungsi dan proses konseling menurut Islam adalah memberikan layanan bantuan kepada seseorang yang mengalami masalah melalui cara yang baik untuk menumbuhkan kesadaran akan perbuatan dosa yang dilakukan dan memohon ampunan kepada Allah dan berjanji tidak akan mengulangi lagi, menumbuhkembangkan kesadaran untuk dekat kepada Allah dengan penuh kesadaran dan kesungguhan, dengan dzik-rullah, beramal shaleh, ikhlas dan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi serta meninggalkan larangan-Nya (Tajri, dalam Dahlan, 2005:261).

Dengan demikian dapat diperjelas bahwa Konseling Islam bersifat holisme, yaitu mencakup seluruh dimensi kemanusiaan yang tercantum dalam konseling secara umum, yaitu memfungsikan kelima unsur dalam diri manusia secara proporsional dan seimbang. Kelima unsur tersebut disebut pentagon, yang meliputi; behavior (tingkah laku), kognitif (pikiran), perasaan (pemelihara stabilitas), nafsu (pendorong), iman/kepercayaan (penentu). Penerapan konseling berbasis religius, khusus Islam seperti ini sesuai dengan perkembangan kecenderungan manusia dewasa ini yang berusaha menjadikan kembali nilai-nilai agama untuk menata kehidupan mereka.

Untuk menjadi seorang Konselor muslim menurut adz-Dzaky (2001: 295) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Aspek spiritual, yaitu memiliki keimanan, kemakrifatan dan ketauhidan yang berkualitas.
2.   Aspek moralitas, yaitu aspek yang memperhatikan nilai-nilai sopan santun, adab, etika dan tata krama kebutuhan, meliputi : niat, i’tikad (keyakinan), shiddiq (kejujuran dan kebenaran), amanah, tablig, sabar (tabah), ikhtiar dan tawakal, mendoakan, memelihara pandangan mata, menggunakan kata-kata yang baik dan terpuji.
3.   Aspek keilmuan dan skill,  yaitu konselor harus memiliki ilmu pengetahuan yang cukup luas tentang manusia dengan berbagai persoalannya; serta potensi yang siap pakai yang diperoleh melalui latihan-latihan yang disiplin, berkelanjutan, konsisten dengan metode tertentu di bawah bimbingan dan pengawasan para ahli yang senior. Sedangkan keterampilan (skill) antara lain berupa : empati, tenang, siap berdialog dengan klien, menumbuhkan keberanian klien untuk bicara, dan melaksanakan kegiatan konseling dengan terarah.

Beberapa keterampilan yang perlu dilatih berupa : ­takhalli (pembersihan diri), tahalli (pengisian diri), tajalli (kelahiran baru), dan pemberdayaan menuju insan kamil. Untuk bisa melaksanakan tugas dalam konseling, seorang konselor harus memulai dari diri sendiri, yaitu dengan memahami pribadinya, membekali diri dengan pengetahuan dan pemahaman tentang konseling umum dan khasanah ke-Islam-an pada khususnya, kemapanan dalam konseling dan keagamaan.

Tidak ada komentar: