SAATNYA DAN SELAYAKNYA ANDA MENGETAHUI

Selasa, 27 November 2012

Psikologi Agama & Tingkah Laku Keagamaan


A.     Psikologi Agama dalam Islam
     Secara terminologi, memang psikologi agama tidak dijumpai dalam kepustakaan Islam klasik, karena latar belakang sejarah perkembangannya bersumber dari literatur barat. Namun sudah sejak lama Al-qur’an menginformasikan bahwa manusia makhluk ciptaan Tuhan memiliki sosok diri yang terbentuk dari unsur fisik dan non-fisik (biologi dan psikologi).
     Manusia menurut terminologi Al-qur’an dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Manusia disebut al-basyar berdasarkan pendekatan aspek biologisnya, sedangkan dilihat dari fungsi dan potensi yang dimilikinya manusia disebut al-insan. Konsep al-insan menggambarkan fungsi manusia sebagai penyandang khalifah Tuhan yang dikaitkan dengan proses penciptaan dan pertumbuhan serta perkembangannya (QS 2:30 dan QS 23:12-14). Selain itu, konsep al-insan juga menunjukkan potensi yang dimiliki manusia seperti kemampuan untuk mengembangkan ilmu (QS 96:4-5). Di samping itu, konsep ini juga menggambarkan sejumlah sifat-sifat dan tanggung jawab manusia seperti lupa, khilaf, tergesa-gesa, suka membantah, kikir, tidak bersyukur, dan sebagainya. Namun, kepadanya dibebankan amanah dan tanggung jawab untuk berbuat baik (QS 29:8).
     Kemudian manusia juga disebut al-Nas yang umumnya dilihat dari sudut pandang hubungan sosial yang dilakukannya. Selain sebagai makhluk sosial, manusia juga dibebankan tanggung jawab sosial, baik dalam bentuk lingkungan sosial yang paling kecil (keluarga) maupun yang lebih besar seperti masyarakat, etnik, maupun bangsa. Manusia pun disebut sebagai al-Ins untuk menggambarkan aspek spiritual yang dimilikinya. Dalam bentuk pengertian umum, al-qur’an menyebut manusia sebagai “Bani Adam”. Bani Adam menggambarkan tentang kesamaan dan persamaan manusia, yang ditekankan pada aspek fisik.
     Selanjutnya, manusia menurut pandangan Islam juga dipandang sebagai makhluk psikis. Unsur-unsur psikis manusia itu menurut konsep Islam senantiasa dihubungkan dengan nilai-nilai agama. Konsep tentang manusia dalam Islam menjadikan pendekatan Islam berbeda dengan pendekatan psikologi pada umumnya. Dengan demikian, psikologi agama sebagai telaah terhadap kesadaran dan pengalaman agama melalui pendekatan psikologi akan jadi berbeda pula dalam memandang manusia dalam kehidupannya.
   Pendekatan-pendekatan psikologi yang ada pada umumnya, belum dapat menggambarkan konsep manusia secara utuh dan lengkap. Melalui pendekatan konsep Islam tentang manusia, terungkap bahwa manusia adalah makhluk ciptaan yang memiliki hubungan Makhluk-Khalik secara fitrah. Untuk menjadikan agar hubungan tersebut berjalan normal, maka manusia dianugerahkan berbagai potensi yang dipersiapkan untuk kepentingan pengaturan hubungan tersebut. Berangkat dari pandangan ini terungkap bahwa manusia merupakan makhluk terpola oleh fitrah ciptaannya, dan sikap ketundukan kepada Penciptanya merupakan salah satu unsur yang termuat dalam pola tersebut. Potensi ini pula yang merupakan benih dari rasa keberagamaan yang terdapat pada diri manusia.

B.     Ciri-Ciri dan Sikap Keberagamaan
     William James melihat adanya hubungan antara tingkah laku keagamaan seseorang dengan pengalaman keagamaan yang dimilikinya itu. Dalam bukunya The Varieties of Religious Experience, William James menilai secara garis besar sikap dan perilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu :

1.    Tipe Orang yang Sakit Jiwa (The Sick Soul)
Sikap keberagamaan orang yang sakit jiwa ini ditemui pada mereka yang pernah mengalami latar belakang kehidupan keagamaan yang terganggu. Maksudnya orang tersebut meyakini suatu agama dan melaksanakan ajaran agama tidak didasarkan atas kematangan beragama yang berkembang secara bertahap sejak usia kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa seperti lazimnya yang terjadi pada perkembangan secara normal. Mereka beragama akibat dari suatu penderitaan yang mereka alami sebelumnya, mereka yang pernah mengalami penderitaan ini terkadang secara mendadak dapat menunjukkan sikap yang taat hingga ke sikap fanatik terhadap agama yang diyakininya. Penderitaan tersebut disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor intern dan faktor ekstern :
a.    Faktor intern yang menjadi penyebab dari timbulnya sikap keberagamaan yang tidak lazim ini adalah :
1) Temperamen, merupakan salah satu unsur pembentuk kepribadian, tingkah laku yang didasarkan kondisi temperamen memegang peranan penting dalam sikap keagamaan seseorang.
2)  Gangguan Jiwa, orang yang mengidap gangguan jiwa menunjukkan kelainan dalam sikap dan tingkah lakunya.
3)   Konflik dan Keraguan, konflik kejiwaan yang terjadi pada diri seseorang mengenai keagamaan mempengaruhi sikap keagamaannya. Konflik dan keraguan ini dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap agama seperti taat, fanatik ataupun agnostis hingga ke ateis.
4) Jauh dari Tuhan, orang yang dalam kehidupannya jauh dari ajaran agama, lazimnya akan merasa dirinya lemah dan kehilangan pegangan saat menghadapi cobaan. Perasaan ini mendorongnya untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, hal ini menyebabkan terjadinya perubahan sikap keagamaan pada dirinya.

Adapun ciri-ciri tindak keagamaan mereka yang mengalami kelainan kejiwaan itu umumnya cenderung menampilkan sikap :
a)   Pesimis, dalam mengamalkan ajaran agama mereka cenderung untuk berpasrah diri kepada nasib yang telah mereka terima.
b)   Introvert, segala marabahaya dan penderitaan selalu dihubungkannya dengan kesalahan diri dan dosa yang telah diperbuat.
c)  Menyenangi paham yang Ortodoks, dorongan untuk menyenangi paham keagamaan yang lebih konservatif dan ortodoks.
d)   Mengalami proses keagamaan secara Nograduasi, timbulnya keyakinan beragama pada mereka melalui proses pendadakan dan perubahan yang tiba-tiba.
b.  Faktor ekstern yang turut mempengaruhi sikap keberagamaan secara mendadak, adalah :
1) Musibah, terkadang musibah yang serius dapat mengguncangkan kejiwaan seseorang. Keguncangan jiwa ini sering pula menimbulkan kesadaran pada diri manusia dalam berbagai macam tafsiran.
2)  Kejahatan, terkadang mereka yang hidup dalam garis kejahatan akan merasakan dirinya itu berdosa karena perbuatannya tersebut, sehingga dapat mengguncang batinnya menuju perubahan.

2.    Tipe Orang yang Sehat Jiwa (Healthy-Minded-Ness)
Ciri dan sifat agama pada orang yang sehat jiwa menurut W. Starbuck yang dikemukakan oleh W. Houston Clark dalam bukunya Religion Psychology adalah :
a.    Optimis dan gembira
Orang yang sehat jiwa selalu menghayati segala bentuk ajaran agama dengan perasaan optimis. Segala bentuk musibah dan penderitaan bukan berarti itu karena Tuhan marah, namun lebih kepada kesalahan dan keteledoran sendiri. Mereka yakin bahwa Tuhan bersifat pengasih dan penyayang, mereka selalu dapat mengambil hikmah dari setiap kejadian yang menimpanya.
b.    Ekstrovet dan tak mendalam
Sikap optimis dan terbuka yang dimiliki orang yang sehat jiwa ini menyebabkan mereka mudah melupakan kesan-kesan buruk dan luka hati yang tergores sebagai ekses agamis tindakannya. Mereka senang kepada kemudahan dalam melaksanakan ajaran agama, sehingga akibatnya, mereka kurang senang mendalami ajaran agama, dosa mereka anggap sebagai akibat perbuatan mereka yang keliru.
c.     Menyenangi ajaran setauhidan yang liberal
Sebagai pengaruh kepribadian yang ekstrovet maka mereka cenderung :
1)  Menyenangi teologi yang luwes dan tidak kaku.
2)  Menunjukkan tingkah laku keagamaan yang lebih bebas.
3)  Menekankan ajaran cinta kasih daripada kemurkaan dan dosa.
4)  Mempelopori pembelaan terhadap kepentingan agama secara sosial.
5)  Selalu berpandangan positif.
6)  Berkembang secara graduasi (meyakini ajaran agama melalui proses yang wajar dan benar)

     Walaupun keberagamaan orang dewasa ditandai dengan keteguhan dalam pendirian, ketetapan dalam kepercayaan, baik dalam bentuk positif, maupun negatif, namun dalam kenyataan yang ditemui masih banyak juga orang dewasa yang berubah keyakinan dan kepercayaan.

C.      Sikap Keagamaan dan Pola Tingkah Laku
     Sikap dipandang sebagai seperangkat reaksi-reaksi afektif terhadap objek tertentu berdasarkan hasil penalaran, pemahaman dan penghayatan individu (Mar’at 1982: 19). Rumusan umum tentang sikap adalah :
1.         Sikap merupakan hasil belajar yang diperoleh melalui pengalaman dan interaksi yang terus-menerus dengan lingkungan (attitudes are learned).
2.         Sikap selalu dihubungkan dengan objek seperti manusia, wawasan, peristiwa ataupun ide (attitudes have referent).
3.     Sikap diperoleh dalam berinteraksi dengan manusia lain baik di rumah, sekolah, tempat ibadat, ataupun tempat lainnya melalui nasihat, teladan atau percakapan (attitudes are social learning).
4.    Sikap sebagai wujud kesiapan untuk bertindak dengan cara-cara tertentu terhadap objek (attitudes have readiness to respons).
5.    Bagian yang dominan dari sikap adalah perasaan dan afektif, seperti yang tampak dalam menentukan pilihan apakah positif, negatif atau ragu (attitudes are affective).
6.   Sikap memiliki tingkat intensitas terhadap objek tertentu yakni kuat atau lemah (attitudes are very intensive).
7.      Sikap bergantung kepada situasi dan waktu, sehingga dalam situasi dan saat tertentu mungkin sesuai, sedangkan di saat dan situasi yang berbeda belum tentu cocok (attitudes have ­a time dimension).
8.    Sikap dapat bersifat relatif consistent dalam sejarah hidup individu (attitudes have duration factor).
9.         Sikap merupakan bagian dari konteks persepsi ataupun kognisi individu (attitudes are complex).
10.   Sikap merupakan penilaian terhadap sesuatu yang mungkin mempunyai konsekuensi tertentu bagi seseorang atau yang bersangkutan (attitudes are evaluations).
11.   Sikap merupakan penafsiran dan tingkah laku yang mungkin menjadi indikator yang sempurna atau bahkan tidak memadai (attitudes are inferred).

     Merujuk kepada rumusan di atas, terlihat bagaimana hubungan sikap dengan pola tingkah laku seseorang. Tiga komponen psikologis yaitu kognisi, afeksi, konasi yang bekerja secara kompleks merupakan bagian yang menentukan sikap seseorang terhadap sesuatu objek, baik yang berbentuk konkret maupun objek yang abstrak. Dengan demikian, sikap yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari proses berpikir, merasa, dan pemilihan motif-motif tertentu sebagai reaksi terhadap sesuatu objek.
     Bagaimana bentuk sikap keagamaan seseorang dapat dilihat seberapa jauh keterkaitan komponen kognisi, afeksi, dan konasi seseorang dengan masalah-msalah yang menyangkut agama. Hubungan tersebut jelasnya tidak ditentukan oleh hubungan sesaat, melainkan sebagai hubungan proses, sebab, pembentukan sikap melalui hasil belajar dari interaksi dan pengalaman. Pembentukan sikap itu sendiri ternyata tidak hanya tergantung sepenuhnya kepada faktor eksternal, melainkan juga dipengaruhi oleh kondisi faktor internal seseorang.
     Mata rantai hubungan antara sikap dan tingkah laku terjalin dengan hubungan faktor penentu, yaitu motif yang mendasari sikap. Motif sebagai tenaga pendorong arah sikap negatif atau positif akan terlihat dalam tingkah laku nyata pada diri seseorang atau kelompok. Dalam hubungan ini tergambar bahwa pembentukan sikap keagamaan dapat menghasilkan bentuk pola tingkah laku keagamaan dengan jiwa keagamaan.
     Para ahli didik melihat peran sentral orang tua sebagai pemberi dasar jiwa keagamaan kepada anaknya. Pandangan ini merujuk kepada adanya potensi bawaan manusia yaitu fitrah, yang diartikan sebagai potensi untuk bertauhid. Kajian psikologi transpersonal berpendapat bahwa jiwa keagamaan sebagai potensi dan daya psikis manusia, mereka mengakui adanya potensi-potensi luhur (the highest potensials) dan fenomena kesadaran (states of consciousness) manusia. Telaah psikologi agama tampaknya sudah mulai menyadari potensi-potensi dan daya psikis manusia yang berkaitan dengan kehidupan spiritual.
     Bila disimpulkan telaah dan pandangan yang ada bahwa jiwa keagamaan sebenarnya merupakan bagian dari komponen intern psikis manusia. Pembentukan kesadaran agama pada diri seseorang pada hakikatnya tak lebih dari usaha untuk menumbuh dan mengembangkan potensi dan daya psikis. Namun yang menjadi permasalahan krusial adalah bagaimana usaha yang dilakukan agar bimbingan yang diberikan sejalan dengan hakikat potensial yang luhur tersebut.
     Berdasarkan konsep yang telah dijelaskan, barangkali pemahaman sifat-sifat dasar yang merupakan ciri khas yang ada pada manusia dapat dikaitkan dengan konsep fitrah dalam pandangan Islam. Jika hal ini dapat diterima, maka pembentukan sikap dan tingkah laku keagamaan dapat dilakukan sejalan dengan fitrah tersebut bila situasi lingkungan dibentuk sesuai dengan ketentuan ajaran agama yang prinsipil, yaitu ketauhidan.

Tidak ada komentar: