SAATNYA DAN SELAYAKNYA ANDA MENGETAHUI

Sabtu, 07 Juli 2012

Hal-hal yang Perlu Kita Ketahui Tentang Penyakit Mental

10 Hal Penyakit Mental

1.    Menyalahkan Orang lain
Itu penyakit P dan K, yaitu Primitif dan Kekanak-kanakan. Primitif. Menyalahkan orang lain adalah salah satu pola pikir orang primitif. Di pedalaman Afrika, kalau ada orang yang sakit, yang Dipikirkan adalah: "Siapa nih yang nyantet?" Selalu "siapa", Bukan "apa" penyebabnya. Bidang kedokteran modern selalu mencari tahu "apa" sebabnya, bukan "siapa". Jadi kalau kita berpikir menyalahkan orang lain, itu sama dengan sikap primitif. Primitif berarti, kecenderungan berpikir siapa yang melakukan, bukan apa penyebab itu di lakukan.
Kekanak-kanakan. Kenapa? Anak-anak selalu nggak pernah mau disalahkan. Kalau ada piring yang jatuh, "Adik tuh yang salah", atau, "Mbak tuh yang salah". Kalau kita manusia yang berakal dan dewasa seharusnya selalu akan mencari sebab terjadinya sesuatu. Penyakit seperti ini biasanya berawal dari ketidaksukaan dan keirian seseorang pada sesuatu, dan lama kelamaan menjadi sebuah kebiasaan dan pola pikir yang negatif.
  
2.      Menyalahkan diri sendiri
Menyalahkan diri sendiri bahwa dirinya merasa tidak mampu. Ini berbeda dengan mengakui kesalahan. Anda pernah mengalaminya? Kalau anda bilang tidak pernah, berarti anda bohong. "Ah, dia sih bisa, dia ahli, dia punya jabatan, dia berbakat, dan sebagainya, Lha, saya ini apa ?, wah saya nggak bisa deh. Kata-kata seperti itu merupakan cikal bakal seseorang untuk mengembangkan penyakit mental yang tidak baik/ negatif.
Penyakit ini seperti kanker, tambah besar, besar di dalam mental diri sehingga bisa mencapai "improper guilty feeling". Jadi walau yang salah partner, anak buah, atau bahkan atasan, berani bilang, "Saya kok yang memang salah, tidak mampu, dan sebagainya". Penyakit ini pelan-pelan bisa membunuh kita. Merasa inferior, kita tidak punya kemampuan. Kita sering membandingkan keberhasilan orang lain dengan kekurangan kita, sehingga keberhasilan orang lain dianggap wajar karena mereka punya sesuatu lebih yang kita tidak punya.
  
3.      Tidak punya “Goal” atau cita-cita
Kita sering terpaku dengan kesibukan kerja, tetapi arahnya tidak jelas. Pada awalnya kita merasa harus bekerja karena sebab sesuatu yang bertolak belakang dengan tuntutan hidup. Kadang pekerjaan yang kita dapat tidak sesuai dengan minat dan bakat sehingga menurunkan etos kerja dan itu berdampak kepada Goal/ tujuan hidup tidak jelas bahkan tidak ada. Keadaan seperti itu bermula dari ketidakpuasan, menyalahkan orang lain dan diri sendiri, ibaratnya ini adalah penyakit level selanjutnya dari penyakit no.1 dan no.2.
Kadang seseorang berprinsip bahwa cita-cita hanyalah impian semasa kanak-kanak saja. Padahal seandainya kita cermati baik-baik lagi, impian masa kanak-kanak adalah perintis awal dari sebuah kehidupan dewasa kelak. Hal itulah yang sering orang dewasa lupakan, bahwa impian dan harapan adalah langkah awal menggapai sebuah tujuan. Sebaiknya kita selalu mempunyai target kerja dengan milestone. Buat target jangka panjang dan jangka pendek secara tertulis.
  
4.      Mempunyai "Goal", tapi ngawur mencapainya
Biasanya dialami oleh orang yang tidak "teachable". Goalnya salah, fokus kita juga salah, jalannya juga salah, arahnya juga salah. Ilustrasinya kayak gini : ada pemuda yang terobsesi dengan emas, karena pengaruh tradisi yang mendewakan emas. Pemuda ini pergi ke pertokoan dan mengisi karungnya dengan emas dan seenaknya ngeloyor pergi. Tentu saja ditangkap polisi dan ditanya. Jawabnya, "Pokoknya saya mau emas, saya nggak mau lihat kiri-kanan".
Setelah kita memiliki Goal/ tujuan atau cita-cita, apa sih yang seharusnya kita lakukan?, tentu kita semua tahu, planing apa selanjutnya yang harus kita lakukan. Apa yang harus dilakukan agar Goal kita tepat dalam jangka waktu yang juga kita tentukan. Apa saja yang harus dilewati, jalan yang mulus, jalan pintas, jalan terjal, atau jalan tol. Ibaratnya kita hendak pergi ke terminal, kita harus tahu di mana posisi terminal terdekat beserta nama jalan-jalan yang harus dilalui, apa-apa saja yang akan kita lihat seandainya kita melalui jalan ini. Dengan memikirkan itu, tentu ada jalan keluar dari setiap Goal yang kita inginkan.
  
5.      Mengambil jalan pintas (shortcut)
Keberhasilan tidak pernah dilalui dengan jalan pintas. Jalan pintas tidak membawa orang ke kesuksesan yang sebenarnya, karena tidak mengikuti proses. Kalau kita menghindari proses, ya nggak matang, kalaupun matang ya dikarbit. Jadi, tidak ada yang namanya jalan pintas. Contoh saja, pemain bulutangkis Indonesia bangun jam 5 pagi, lari keliling Senayan, melakukan smash 1000 kali. Itu bukan jalan pintas. Nggak ada orang yang leha-leha tiap hari pakai sarung, terus tiba- tiba jadi juara bulu tangkis. Nggak ada! Kalau anda disuruh taruh uang 1 juta, dalam 3 minggu jadi 3 juta, masuk akal nggak tuh? Nggak mungkin!. Karena hal itu melawan kodrat.
Dalam hal mencapai Goal/ tujuan hidup kita sebagai manusia, sudah sewajarnya kita lebih dahulu mengetahui jalan mana yang akan kita lalui. Baik jalan itu mulus, rusak, berlubang, atau berdebu, semua itu adalah jalan yang semestinya memang harus dilalui demi mencapai Goal dan menjadi individu yang bahagia. Kalau ibaratnya sebuah jalan, jalan pintas itu ada, tapi dalam melalui jalan itu juga kita harus melaluinya, sedangkan pengertian jalan pintas dalam hal Goal kita, berarti kita mencapai cita-cita kita itu tanpa melakukan apa-apa. Jujur deh, apa kita bisa dibilang berhasil kalau mencapainya dengan cara begitu, nggak mungkin bangetkan. Berhati-hatilah terhadap penyakit mental tersebut.
  
6.      Mengambil jalan terlalu panjang, terlalu santai
Analoginya begini : Pesawat terbang untuk bisa take-off, harus mempunyai kecepatan minimum. Pesawat Boeing 773, untuk dapat take- off, memerlukan kecepatan minimum 300 km/jam. Kalau kecepatan dia cuma 50 km/jam, ya Cuma ngabis-ngabisin avtur aja, muter-muter aja. Lha, kalau jalannya runwaynya lurus anda cuma pakai kecepatan 50 km/jam, ya nggak bisa take-off, malah nyungsep iya. Iya kan?
Secara deskriptif berarti, dalam mencapai Goal, kita tidak bersungguh-sungguh atau setengah-setengah semangatnya. Bisa saja kita terlalu santai atau kembali lagi, tidak sesuai dengan minat dan bakat kita, perlu diketahui, mengakui diri bermasalah sangat baik dari pada kita berputar-putar dalam mencapai Goal kita. Kesalahannya mungkin kita salah dalam menetapkan Goal atau kurang memahami apa yang ingin kamu pahami.
  
7.      Mengabaikan hal-hal kecil
Dia maunya yang besar-besar, yang heboh, tapi yang kecil-kecil nggak dikerjain. Dia lupa bahwa struktur bangunan yang besar, pasti ada komponen yang kecilnya. Maunya yang hebat aja. Mengabaikan hal kecil aja nggak boleh, apalagi mengabaikan orang kecil. Menganggap sesuatu yang lebih kecil tidak penting, atau merasa hal-hal tersebut di luar dari kemampuan kita, acuh tak acuh dalam mencapai Goal.
Sering kali apabila kita merasa sudah naik ke tahap selanjutnya atau setingkat yang lebih tinggi, kita sering menggabaikan hal-hal yang kecil, padahal sebelumnya itulah yang kita kerjakan tiap hari. Contoh ; saat adek ingin bertanya tentang PR matematika kelas 3 SD, kakak menolak dengan alasan sudah lupa dengan pelajaran kelas 3 SD, karena sudah merasa SMA “. Pemikiran seperti ini yang dapat mengurangi kemampuan kita dalam mencapai goal, ingatlah bahwa semua pengetahuan itu berfokuskan pada dasar-dasar keilmuan.
  
8.      Terlalu cepat menyerah
Jangan berhenti kerja pada masa percobaan 3 bulan. Bukan mengawali dengan yang salah yang bikin orang gagal, tetapi berhenti pada tempat yang salah. Mengawali dengan salah bisa diperbaiki, tetapi berhenti di tempat yang salah repot sekali. Sebenarnya apa sih yang salah, bagaimana caranya kita tahu bahwa kita cepat menyerah, atau seberapa banyak orang bisa di katakan cepat menyerah, atau apakah aku sudah menyerah?.
Dalam mencapai Goal kita, selalu membutuhkan perjuangan dan bertahan dari segala halangan dan melalui segala rintangan, lalu apakah pantas bila kita mudah menyerah dengan apa yang kita sukai. Contoh lain ; ‘adek suka sama tuh perempuan, setelah di selidiki ternyata dia sudah punya pacar, adek tetap saja suka dan berpikiran “aku akan menunggu kamu putus dengan pacarmu”. Adek nggak nyerah walau tau dia sudah punya pacar, karena adek suka,, Tuh kan nggak mungkin menyerah kalau kita memang benar-benar suka dengan Goal/ tujuan kita.
  
9.      Bayang-bayang masa lalu
Wah, puitis sekali, saya suka sekali dengan yang ini. Karena apa? Kita selalu penuh memori kan? Apa yang kita lakukan, masuk memori kita, minimal sebagai pertimbangan kita untuk langkah kita berikutnya. Apalagi kalau kita pernah gagal, nggak berani untuk mencoba lagi. Ini bisa balik lagi ke penyakit nomer-3. Kegagalan sebagai akibat bayang-bayang masa lalu yang tidak terselesaikan dengan semestinya. Itu bayang-bayang negatif.
Memori kita kadang- kadang sangat membatasi kita untuk maju ke depan. Kita kadang-kadang lupa bahwa hidup itu maju terus. "Waktu" itu maju kan?. Ada nggak yang punya jam yang jalannya terbalik? Nggak ada kan? Semuanya maju, hidup itu maju. Lari aja ke depan, kalaupun harus jatuh, pasti ke depan kok. Orang yang berhasil, pasti pernah gagal. Itu memori negatif yang menghalangi kesuksesan.
  
10.  Menghipnotis diri dengan kesuksesan semu
Biasa disebut Pseudo Success Syndrome. Kita dihipnotis dengan itu. Kita kalau pernah berhasil dengan sukses kecil, terus berhenti, nggak kemana-mana lagi. Sudah puas dengan sukses kecil tersebut. Napoleon pernah menyatakan, "Saat yang paling berbahaya datang bersama dengan kemenangan yang besar". Itu saat yang paling berbahaya, karena orang lengah, mabuk kemenangan. Jangan terjebak dengan goal-goal hasil yang kecil, karena kita akan menembak sasaran yang besar, goal yang jauh. Janganlah berpuas diri, entar jadi sombong, terus takabur.
Kesuksesan semu berarti adalah kesuksesan yang kiat capai atau Goal kita, bukanlah Goal yang Primer. Ini tentu berbeda dengan haus pencapaian atau serakah dengan keberhasilan, pengertian seperti itu mereka tidak pernah puas dengan Goal-goal yang dicapainya, jadi itu kembali lagi no.3, bahwa dia belum memiliki Goal/ tujuan hidupnya.

Referensi :
Perkuliahan problematika bimbingan dan konseling, STKIP Muhammadiyah Sampit
Baca SelengkapnyaHal-hal yang Perlu Kita Ketahui Tentang Penyakit Mental

Kamis, 05 Juli 2012

Problematika Internal Bimbingan Konseling


Problematika Internal (Konselor)
Masalah yang timbul di luar sebenarnya berasal dari para konselor itu sendiri, pandangan para konselor yang salah akan BK menyebabkan mereka salah langkah dalam memberikan pelayanan BK. Pandangan yang salah tersebut antara lain :

1.      Menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien

Latar Belakang Masalah :
Dalam setiap permasalahan yang terjadi dalam diri konseli memang bisa saja terdapat masalah-masalah yang sama dan sering konselor temui dalam setiap sesi konseling. Walau mungkin masalah yang dihadapi konseli sejenis atau sama, tetapi tetap saja tidak bisa disamaratakan dalam penyelesaiannya.
Cara apapun yang akan dipakai untuk mengatasi masalah haruslah disesuaikan dengan pribadi klien dan berbagai hal yang terkait dengannya. Tidak ada suatu cara pun yang ampuh untuk semua klien dan semua masalah. Masalah yang tampaknya “sama” setelah dikaji secara mendalam mungkin ternyata hakikatnya berbeda, sehingga diperlukan cara yang berbeda untuk mengatasinya.

Upaya Perbaikan :
Harus dipahami bahwa setiap manusia itu berbeda dalam kepribadian dan kemampuannya. sehingga dalam penyelesaian masalah harus disesuaikan dengan keadaan konseli itu sendiri. Bahkan jika seorang konselor ingin mengadopsi cara/ teknik penyelesaian dari konselor lain, maka harus disesuaikan juga dengan kemampuan konselor itu sendiri (yang mengadopsi).

2.      Bimbingan Konseling di batasi hanya untuk klien – klien tertentu saja

Latar Belakang Masalah :
Dalam bimbingan konseling, kadang terjadi kesalahpahaman dalam pemahaman seorang guru pembimbing. Layanan BK hanya untuk siswa-siswa yang sesuai kriteria seperti ; siswa yang bermasalah, siswa bandel, bolos, dll. Padahal semua siswa berhak atas pelayanan tersebut.
Semua konseli/ klien berhak mendapatkan hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan BK, kapan bagaimana, dan di mana pelayanan itu di berikan, pertimbangannya semata–mata di dasarkan atas sifat dan jenis masalah yang di hadapi serta ciri–ciri pribadi siswa yang bersangkutan, konselor membuka pintu yang selebar–lebarnya bagi siapa saja yang ingin mendapatkan atau memerlukan pelayanan BK.

Upaya Perbaikan :
Seorang konselor harus tidak memilih-milih klien yang ditanganinya, tidak boleh memilih-milih klien apalagi memilih-milih siswa. Konselor harus bisa memahami tentang kebutuhan seorang individu dalam perkembangan mental dan kejiwaannya. Konselor harus benar-benar menjadi seorang ahli yang berada dalam posisi netral dan selalu menjunjung kebutuhan kliennya akan layanan BK, khususnya layanan bimbingan konseling di sekolah.
Petugas bimbingan dan konseling wajib memberikan dan membuka pintu yang selebar-lebarnya bagi siapa saja siswa yang ingin mendapatkan atau memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling.

3.      Bimbingan dan Konseling Dibatasi pada Hanya Menangani Masalah-Masalah yang Bersifat Insidental

Latar Belakang Masalah :
Dalam bimbingan konseling di proses pendidikan kadang seorang guru pembimbing menganggap bahwa layanan dan konseling dapat diberikan hanya apabila terdapat permasalahan kepada seorang siswa atau klien yang nampak.
Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa pekerjaan BK salah satunya bertitik tolak dari masalah yang dirasakan siswa, khususnya dalam rangka pelayanan responsif. Pada hakikatnya pelayan itu sendiri menjangkau dimensi waktu yang lebih luas, yaitu yang lalu, sekarang, dan yang akan datang. Di samping itu konselor idealnya tidak hanya menunggu klien datang dan mengungkapkan masalahnya.

Upaya Perbaikan :
Seorang konselor atau petugas bimbingan dan konseling harus selalu memasyarakatkan dan membangun suasana bimbingan dan konseling, serta mampu melihat hal-hal tertentu yang perlu diolah ditanggulangi, diarahkan, dibangkitkan, dan secara umum diperhatikan demi perkembangan segenap individu.

4.      Bimbingan dan Konseling mampu bekerja sendiri

Latar Belakang Masalah :
Pelayanan bimbingan dan konseling bukanlah proses yang terisolasi, melainkan proses yang sarat dengan unsur-unsur budaya, sosial, dan lingkungan. Oleh karenanya pelayanan bimbingan dan konseling tidak mungkin menyendiri. Konselor perlu bekerja sama dengan orang-orang yang diharapkan dapat membantu penanggulangan masalah yang sedang dihadapi oleh klien.
Namun demikian, konselor tidak boleh terlalu mengharapkan bantuan ahli atau petugas lain. Sebagai tenaga profesional konselor harus terlebih dahulu mampu bekerja sendiri, tanpa tergantung pada ahli atau petugas lain.

Upaya Perbaikan :
Konselor harus pandai menjalin hubungan kerja sama yang saling menunjang demi terbantunya siswa yang mengalami masalah. Di samping itu, konselor harus pula memanfaatkan berbagi sumber daya yang ada dan dapat diadakan untuk kepentingan pemecahan masalah siswa.

5.      Bimbingan dan Konseling dianggap sebagai proses pemberian nasihat semata

Latar Belakang Masalah :
Bimbingan dan konseling bukan hanya bantuan yang berupa pemberian nasihat. Pemberian nasihat hanyalah merupakan sebagian kecil dari upaya-upaya bimbingan dan konseling. Pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal.
Misalkan, ada konseli yang suka mabuk, pelayanan bimbingan dan konseling hanya berkutat pada penekanan/ nasihat bahwa mabuk itu tidak baik. Seharusnya pelayanan yang diberikan adalah menggali faktor-faktor luar yang menyebabkan konseli tersebut menjadi suka mabuk.

Upaya Perbaikan :
Dalam memberikan layanan bimbingan konseling, seorang konselor janganlah hanya semata-mata memberikan nasihat tetapi juga mengajak siswa untuk mengenal kesulitan-kesulitannya dan menemukan sendiri pemecahannya tentu dengan arahan yang positif dari konselor.
Konselor juga harus melakukan upaya-upaya tindak lanjut serta menyinkronisasikan upaya yang satu dan upaya lainnya sehingga keseluruhan upaya itu menjadi suatu rangkaian yang terpadu dan berkesinambungan.

6.      Bimbingan dan konseling berpusat pada keluhan pertama saja

Latar Belakang Masalah :
Pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dengan melihat gejala-gejala dan atau keluhan awal yang disampaikan oleh klien. Namun demikian, jika pembahasan masalah itu dilanjutkan, didalami, dan dikembangkan, sering kali ternyata bahwa masalah yang sebenarnya lebih jauh, lebih luas dan lebih pelik apa yang sekedar tampak atau disampaikan itu. Bahkan kadang– kadang masalah yang sebenarnya, sama sekali lain daripada yang tampak atau dikemukakan itu.

Upaya Perbaikan :
Usaha pelayanan seharusnya dipusatkan pada masalah yang sebenarnya itu. Konselor tidak boleh terpukau oleh keluhan atau masalah yang pertama disampaikan oleh klien. Konselor harus mampu menyelami sedalam-dalamnya masalah klien yang sebenarnya.

7.      Bimbingan dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah-masalah yang ringan saja

Latar Belakang Masalah :
Berat atau ringannya sebuah masalah bukanlah hal yang mudah untuk ditetapkan. Oleh karena itu, memberikan sifat ringan atau berat pada masalah yang dihadapi klien tidaklah perlu, karena hal itu tidak akan membantu meringankan usaha pemecahan masalah. Yang terpenting adalah bagaimana menanganinya dengan cermat dan tuntas. Apabila seluruh kemampuan konselor tidak bisa mengatasi masalah klien, maka diperlukan pengalih-tanganan.

Upaya Perbaikan :
Pengalih-tanganan tidak harus sekaligus kepada psikiater atau ahli-ahli lain di luar bidang bimbingan dan konseling. Alih tangan pada tahap pertama hendaknya dilakukan kepada sesama konselor sendiri yang memiliki keahlian yang lebih tinggi. Dan bila ternyata ditemukan gejala-gejala kelainan kejiwaan misalnya, maka alih tangan sebaiknya diserahkan kepada psikiater.

8.      Sifat kepribadian konselor kurang mendukung

Latar Belakang Masalah :
Terkadang seorang konselor adalah seorang yang tidak sesuai dengan kepribadian seorang konselor yang seharusnya, dan ketidaksesuaian tersebut dapat menimbulkan faktor-faktor yang kurang mendukung. Seorang konselor harusnya penyabar, supel, suka menolong, tidak mudah marah, tidak ringan tangan, dan harus ikhlas menolong.
Sering kali kegagalan konselor sekolah dalam melaksanakan program bimbingan dan konselingnya berasal dari ketidaksabaran dan ketidaksiapan konselor itu sendiri. Kegagalan dalam melakukan layanan bimbingan membuat konselor merasa sudah berusaha namun tetap saja gagal, dan dampak dari kegagalan itu membuat konselor pasrah dan putus asa sehingga mengurangi dukungan internal bimbingan dan konseling di sekolah khususnya.

Upaya Perbaikan :
Seorang konselor wajib untuk memberikan contoh sikap dan perilaku yang sesuai dengan profesinya sebagai konselor. Konselor juga wajib untuk terus belajar dengan niat untuk meningkatkan profesionalitas keahliannya dan selalu berusaha sebaik mungkin untuk memberikan layanannya.

9.      Status konselor sering rangkap jabatan dalam satu sekolah atau dua sekolah

Latar Belakang Masalah :
Dalam memberikan sebuah layanan bimbingan dan konseling seorang konselor tidak boleh merangkap ataupun menjadi konselor yang memiliki peran ganda di dua tempat. Hal tersebut dapat mengurangi fokus layanan seorang konselor dan mengurangi intensitas konselor dalam melakukan konseling.

Upaya Perbaikan :
Dalam pekerjaannya seorang konselor haruslah menjadi pembimbing dalam satu wadah dan itu pun harus sesuai dengan rasio antara konselor dan siswa, agar layanan bimbingan konseling efektif dan tepat sasaran. Konselor harus menjadi konselor yang tetap dan tidak berubah-ubah demi lancarnya proses layanan bimbingan konseling di sekolah.

10.  Kurang berpengalaman ( ketidaksiapan konselor dalam memberikan layanan )

Latar Belakang Masalah :
Dalam melaksanakan layanan bimbingan dan konseling di sekolah memang haruslah memerlukan seseorang ahli yaitu konselor. Konselor bisa dikatakan ahli apabila dia mampu mewujudkan lingkungan kondusif pendidikan dan mengoptimalkan perkembangan siswa tepat dengan pertumbuhannya. Salah satu faktor keberhasilan itu selain jenjang pendidikan strata satu konselor juga memerlukan pengalaman khususnya di lapangan.
Konselor yang masih belum berpengalaman cenderung tidak siap secara mental dalam memberikan layanan dan masih sangat berpatokan terhadap teori. Dalam kenyataannya memang perlu pengalaman dalam melaksanakan bimbingan konseling di sekolah, salah satu kunci keberhasilan konselor yang masih belum berpengalaman adalah jangan menyerah untuk belajar dari kesalahan.

Upaya Perbaikan :
Seorang konselor seharusnya jujur terhadap dirinya sendiri di mana saja kekurangan-kekurangan yang dimilikinya. Dengan bersikap seperti itu konselor dapat belajar untuk menjadi lebih ahli lagi sehingga mengurangi kesalahan-kesalahan yang terjadi karena kurangnya pengalaman.

11.  Sarana dan etika dalam memberikan layanan konseling

Latar Belakang Masalah :
Melaksanakan konseling tentu memerlukan sebuah ruangan yang kondusif bagi kenyamanan konseli dalam proses konseling. Selain itu juga salah satu faktor konseli nyaman untuk mengeluarkan ketidaknyamanannya atau pemasalahannya, konselor harus sangat menjaga kerahasiaan dalam proses konseling tersebut.
Namun pada kenyataannya, masih banyak hal-hal yang keluar dari etika konselor dalam melakukan konseling. Menyangkut tempat konseling kurang representatif, asas kerahasiaan dalam konseling masih kurang, idealnya tempat BK tertutup, ber-AC dan kedap suara, ada meja konsultasi, meja tamu, ada meja kerja dan tempat menyimpan file / catatan.

Upaya Perbaikan :
Dalam melakukan layanan konseling, konselor hendaknya memahami etika-etika apa saja yang seharusnya dilakukan, sehingga kegiatan-kegiatan konseling dapat lebih bermakna bagi konseli/klien. Konselor juga perlu melihat sarana-sarana apa yang seharusnya terdapat dalam ruangan konseling sebagai penunjang dan pendukung secara visual dalam proses konseling.
Baca SelengkapnyaProblematika Internal Bimbingan Konseling