SAATNYA DAN SELAYAKNYA ANDA MENGETAHUI

Senin, 27 April 2015

Islam Penyembuh Masyarakat

Ibarat tubuh, sebuah masyarakat bisa sakit, juga bisa sehat. Sehat atau tidaknya masyarakat dilihat dari kualitas interaksi sosialnya. Interaksi sosial di dalam masyarakat terjadi karena empat komponen: (1) individu-individunya sebagai anggota masyarakat; (2) kumpulan pemikiran yang diadopsi masyarakat; (3) perasaan kolektif masyarakat; (4) sistem/aturan hidup yang mengatur berbagai interaksi masyarakat (Muhammad Husein Abdullah, 1996).


Jika kita membayangkan bagaimana tubuh kita bekerja agar tetap sehat dan kuat, maka tubuh tentu perlu nutrisi yang cukup yang akan membentuk sistem imun (daya tahan tubuh) sehingga juga akan menguatkan sistem metabolisme dan menjaga organ-organ vital tubuh kita tetap sehat.

Begitu pula masyarakat, selain individu yang baik sebagai anggota masyarakat, maka faktor pertama yang akan membuat masyarakat sehat adalah kualitas nutrisinya yang berupa pemikiran-pemikiran yang sahih untuk membangun fondasi peradaban masyarakat dan menjadi identitas yang jelas bagi warna masyarakat. Kedua adalah perasaan kolektif masyarakat yang berperan sebagai kontrol sosial dan sistem imun karena rasa suka dan benci masyarakat akan menentukan sikap kolektif yang benar terhadap berbagai peristiwa dalam kehidupan. Ketiga adalah bagaimana kualitas sistem kehidupan yang ada mampu mengatur berbagai interaksi sosial tersebut sehingga menyelesaikan berbagai masalah dengan tuntas.

Mendiagnosa “Penyakit” Masyarakat Barat

Tidak ada yang pernah membayangkan sebelumnya bahwa pada abad modern ini ada anggota masyarakat yang merasa terancam dengan masyarakatnya sendiri. Namun, itulah yang terjadi pada masyarakat Barat. Peristiwa teror dari banyak kasus pemuda yang hidup paranoid di lingkungan sosialnya adalah salah satu indikasi kronisnya penyakit masyarakat Barat. Paham individualistik akut yang merupakan buah dari sekularisme ini telah melahirkan generasi yang rusak mentalnya, kosong secara spiritual, gagal mendefinisikan realitas kehidupan, tidak memiliki tujuan hidup dan terobsesi pada tokoh-tokoh imajinatif dari industri hiburan kapitalistik yang mereka ciptakan sendiri.

Percampuran antara materialisme dan kebebasan individu tanpa batas telah menyebabkan kekerasan yang mewabah, keruntuhan bangunan keluarga, makin tingginya depresi sosial, krisis solidaritas antar generasi (intergenerational solidarity crisis) sehingga kaum muda tidak lagi peduli pada mereka yang lanjut usia dan sebaliknya, kesenjangan antara si kaya dan si miskin, hingga gagalnya proses integrasi sosial akibat kegagalan mengelola perbedaan dalam masyarakatnya.

Kebingungan negara-negara Barat dalam menetapkan standar moralitas juga terlihat jelas saat mereka berbeda pandangan dan kebijakan satu sama lain tentang kaum LGBT (Lesbian-Gay-Homoseksual dan Transgender). Demikian pula sikap beberapa negara bagian di Amerika Serikat yang berbeda dengan negara bagian New York dalam mentoleransi ‘Hari Bertelanjang Dada’ bagi perempuan.  Barat telah berada dalam kondisi ‘kebingungan’ dalam menetapkan standar moralitas. Ini terjadi pada level perumusan kebijakan saat standar mereka berbeda-beda, berubah-ubah dan saling bertentangan satu sama lain.

Ketika Barat terus berupaya menyebarkan nilai-nilai dan ideologi mereka kepada dunia dengan cara yang sangat arogan dan memfit-nah peradaban Islam, maka sebenarnya mereka telah mencoba untuk menyembunyikan kepu-tusasaan yang mereka ciptakan pada masyarakat mereka sendiri dan di seluruh dunia. Sekarang Barat tidak lagi mampu menyembunyikan kemunduran dan kerusakan peradabannya.

Masyarakat Barat bercirikan 3 hal: sekular, pragmatis dan hedonis. Sebagaimana yang  dikemukakan oleh Taqiyuddin an-Nabhani (1953) dalam Nizham al-Islam Kapitalisme Barat: (1) berasaskan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan); (2) Berstandar manfaat (utilitarianisme/pragmatisme) dalam mengukur segala perbuatan manusia; (3) Bersifat hedonis (mementingkan kenimatan fisik) dalam memahami makna kebahagiaan.

Dari sini bisa didiagnosa interaksi sosial masyarakat Barat dengan menggunakan definisi masyarakat yang telah diurai pada awal tulisan. Intinya, sakitnya masyarakat Barat sangat dipengaruhi oleh:
  1. Anggota masyarakat yang individualistik dan materialistik.
  2. Pemikiran yang rancu dan ‘kosong’ secara spiritual akibat sekularisme yang diadopsi masyarakat Barat sebagai pemikiran dasar.
  3. Perasaan kolektif yang kacau akibat pragmatisme dan hedonisme yang membuat standar sikap di masyarakat berbeda-beda dan berubah-ubah
  4. Sistem yang zalim dan berpihak akibat penerapan sistem demokrasi- kapitalisme

Semua komponen di atas adalah akar dari penyakit yang melanda masyarakat Barat. Interaksi sosial masyarakatnya didominasi oleh kebebasan berperilaku yang sangat individualistik dan materialistik, ditambah dengan berbagai kebijakan dan undang-undang yang saling bertentangan dan berubah-ubah satu sama lain.

Sekularisme atau pemisahan agama dari kehidupan adalah penyebab yang paling mendasar dari kerusakan masyarakat, Selain bertentangan dengan fitrah manusia, akidah sekulerisme juga bertentangan dengan rasionalitas (akal). Nilai-nilai pemikiran Barat yang sekularistik ini telah gagal dalam memberi nutrisi pada kehidupan masyarakatnya. Akibatnya, masyarakat Barat nyaris tidak lagi memiliki identitas yang jelas.

Perasaan kolektif masyarakat Barat juga mengalami gangguan kronis karena sikap apatis dan individualistik menjalar ke seluruh sendi masyarakat. Standar kebijakan negara yang berubah-ubah dan berbeda-beda karena faktor pragmatisme, selain menciptakan kebingungan di antara anggota masyarakat, juga menambah kebingungan para pembuat kebijakan. Akibatnya, kontrol sosial serta integritas sosial sulit untuk dibentuk.

Belum lagi berbicara tentang sistem yang diterapkan, yang paling besar pengaruhnya pada kualitas interaksi sosial di masyarakat. Barat telah menerapkan sebuah sistem yang bukan hanya menciptakan tata dunia yang tidak adil yang dicirikan oleh imperialisme lewat mekanisme hutang, perdagangan yang tidak adil, dukungan bagi para diktator dan tiran, dan pendudukan yang ilegal. Ketidakadilan itu juga tampak jelas di dalam negerinya masing-masing saat  kesenjangan antar si kaya dan si miskin kian menjadi. Pada saat yang sama kebebasan sipil dikurangi dengan cara menteror rakyatnya sendiri.

Kesimpulan diagnosanya, penyakit masyarakat di Barat semua berpangkal pada ideologi Kapitalisme yang cacat sejak lahir dan mengandung bibit-bibit kanker sejak awal. Ideologi Kapitalisme telah merusak individu, pemikiran dan perasaan yang ada pada masyarakat Barat dalam jangka panjang.

Karena itu, penting menyimak firman Allah SWT berikut:

فَأَمَّا عَادٌ فَاسْتَكْبَرُوا فِي الأرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَقَالُوا مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ (١٥)
Adapun kaum ‘Ad, mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dan berkata, “Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?” Apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya daripada mereka? Namun, mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) Kami (QS Fushshilat [41]: 15).

Kualitas Interaksi Sosial dalam Masyarakat Islam

Jika Amerika menghabiskan ratusan juta dolar untuk penelitian dalam mengatasi problem sosial di masyarakatnya, maka dengan bahasa elegan Sayyid Quthb berujar, “Islam melenyapkan kebiasaan yang telah mengakar di masyarakat jahiliah hanya dengan beberapa lembar ayat Quran.” SubhanalLah.

Kutipan ilustrasi di atas adalah benar adanya. Islam memiliki solusi mengakar untuk menciptakan masyarakat yang sehat jiwanya. Islam dengan seluruh risalahnya yang luhur telah menjaga bangunan masyarakat dengan penjagaan yang sempurna. Akidah dan hukum-hukum Islam telah menjaga 8 (delapan) hal yang ada dalam masyarakat (Muhammad Husein Abdullah, 1996), yakni: (1) memelihara agama;  (2) memelihara jiwa; (3) memelihara akal; (4) memelihara keturunan; (5) memelihara harta benda; (6) memelihara kehormatan; (7) memelihara keamanan; (8) memelihara negara.

Masyarakat Madinah adalah model terbaik dari masyarakat yang sehat dan berperadaban luhur. Islam, sejak kelahirannya di Jazirah Arab, telah menorehkan prestasi yang luar biasa dalam membawa masyarakatnya pada keluhuran martabat. Dalam naungan wahyu Allah SWT, Islam juga berhasil melebur pemikiran dan perasaan masyarakatnya dalam kemurnian akidah Islam serta keharmonian hukum-hukumnya. Tidak aneh jika keutamaan kota Madinah diilustrasikan oleh Rasulullah saw. seperti alat peniup tungku pandai besi yang mampu menyingkirkan karat besi. Rasulullah saw. bersabda:  “Madinah itu seperti tungku (tukang besi) yang bisa membersihkan debu-debu yang kotor dan membuat cemerlang kebaikan-kebaikannya.” (HR al-Bukhari).

Rasulullah saw. juga mengibaratkan kehidupan masyarakat Islam seperti sekelompok orang yang mengarungi lautan dengan kapal, “Perumpamaan orang yang teguh menjalankan hukum-hukum Allah dan orang yang melanggarnya bagaikan sekelompok orang yang berada di sebuah kapal. Sebagian berada di atas dan sebagian lagi di bawah. Adapun mereka yang berada di bawah, bila memerlukan air minum, harus naik ke melewati orang-orang yang berada di atas, sehingga mereka berkata, “Lebih baik kita lubangi saja kapal ini agar tidak mengganggu saudara-saudara kita yang berada di atas.” Bila mereka yang berada di atas membiarkan niat orang-orang yang berada di bawah, niscaya binasalah mereka semua. Akan tetapi, bila mereka mencegahnya maka akan selamatlah mereka semua.” (HR al-Bukhari).

Gambaran analogi kapal ini menunjukkan perasaan kolektif masyarakat berfungsi dengan baik sebagai kontrol sosial yang efektif, karena jika ada seseorang yang hendak mengambil air dengan melobangi kapal dan tidak ada orang lain yang mencegahnya, niscaya yang tenggelam adalah seluruh penumpang kapal. Kepedulian sosial seperti ini menjadi sistem imun yang kuat jika berbagai penyakit datang menghinggapi masyarakat. Dengan itu terwujudlah masyarakat yang sehat individunya, pemikirannya, perasaannya serta sistemnya dengan ideologi Islam.

Secara ringkas komposisi masyarakat Islam adalah:
1)   Anggota masyarakat yang bertakwa.
2)   Pemikiran yang lurus di bawah bimbingan wahyu sehingga memberi identitas kuat bagi fondasi masyarakat.
3)   Perasaan kolektif yang kuat dan jelas sehingga fungsi kontrol sosial, yakni amar makruf nahi mungkar, menjadi sangat efektif.
4)   Sistem yang adil dan mampu menuntaskan persoalan-persoalan di masyarakat, yakni Daulah Islam.

Peran Muslimah

Sebagai anggota masyarakat, perempuan berada di pusat perang budaya di banyak negara Muslim sekarang ini. Mereka dipandang sebagai “pengemban budaya”, pengelola tradisi dan nilai-nilai keluarga, serta benteng terakhir melawan penetrasi dan dominasi budaya Barat. Perempuan Muslim memegang peranan penting dalam mempertahankan keluarga dan sekaligus identitas Islam masyarakat Muslim. Masyarakat yang sehat bisa dicapai jika kaum Muslimah sadar di mana posisinya yang tepat dan kembali meraih posisi itu. Posisi utama perempuan adalah sebagai pendidik generasi muda. Ibu yang cerdas, beriman dan sadar akan tugas utamanya, akan melahirkan generasi-generasi pejuang yang akan memperbaiki kondisi umat Islam.

Di Barat, wujud dan peran utama perempuan ini telah dihancurkan. Akibatnya, yang terjadi adalah penyakit sosial dan kejahatan merajalela. Kezaliman yang paling buruk adalah rusaknya moral dan integritas kaum perempuan, karena akan menjalar ke seluruh sendi sosial masyarakat. Hancurnya peran perempuan dalam menjaga masyarakatnya tampak jelas di Barat. Baru-baru ini belasan perempuan di kota New York melakukan aksi protes dengan telanjang dada. Mereka menuntut kesetaraan di semua negara bagian AS untuk melegalkan kebolehan perempuan bertelanjang dada. Masya Allah. Bisa dibayangkan dampak dari liarnya perilaku perempuan di Barat. Wajar jika masyarakatnya menderita sakit kronis berkepanjangan.

Berbeda dengan Barat, Islam menjaga kehormatan kaum perempuan dengan hukum-hukumnya yang mulia. Perempuan diminta menutup aurat dan berhijab dan berbagai hukum lainnya yang sangat melindungi perempuan. Setelah menjaga kehormatannya, Islam memerintahkan kaum perempuan untuk menjalankan berbagai peran yang luar biasa dalam menjaga masyarakat, yakni berperan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga (ummun wa robbatul bayt), mendidik anak-anak mereka dan menguatkan suami mereka dalam mengemban Islam. Peran ini akan menjaga bangunan institusi keluarga sebagai unit terkecil dari bangunan masyarakat. Ibarat tubuh masyarakat, maka keluarga adalah sel-selnya, jika sel-selnya sehat maka sehat pula masyarakatnya.

Dalam lingkup yang lebih strategis, jika kuatnya peran Muslimah sebagai ibu semakin terakumulasi dalam masyarakat, berpadu dengan perannya sebagai da’iyah dan pengemban dakwah, maka terwujudlah peran sebagai Ibu generasi (ummu ajyal) yang dijalankan oleh kaum Muslimah dengan kesadaran politik tinggi. Tak bisa dibantah lagi, kesempurnaan peran yang digariskan Islam kepada perempuan justru menjadikan perempuan sebagai penguat peradaban dan penentu sehatnya sebuah masyarakat.

Penutup

Selain kewajiban amar makruf nahi mungkar serta peran terhormat kaum Muslimah untuk menjaga masyarakat, Islam juga telah memberikan sebuah sistem yang satu dan komprehensif yang akan memberi kesembuhan masyarakat yang sakit seberapapun parahnya. Sistem ini tiada lain adalah Khilafah Islam. Sebagaimana perkataan Utsman bin Affan ra., “Sesungguhnya Allah SWT memberikan wewenang kepada penguasa untuk menghilangkan sesuatu yang  tidak bisa dihilangkan oleh al-Quran.”

Khalifah sebagai pemimpin umum umat Islam akan mengatur berbagai interaksi sosial dan menghilangkan berbagai penyakit di dalam masyarakat dengan akidah dan hukum-hukum Islam yang mulia.

WalLahu a’lam bi ash-shawab.
Baca SelengkapnyaIslam Penyembuh Masyarakat

Selasa, 10 September 2013

Kontrak Cinta & Tuntunan Islami dalam Memilih Pasangan



Kontrak Cinta Dalam Kaidah Islami

Pada hakikatnya, kontrak merupakan bagian esensial dari akad, akad berarti ‘aqd artinya mempertemukan dua hal, atau mengukuhkan dua pihak, digunakan untuk menyebut transaksi jual beli (akad jual beli), perjanjian antara dua pihak, juga untuk menyebut pengukuhan dua orang dalam ikatan suami istri (akad nikah). Modern ini, akad adalah perjanjian yang tercatat atau kontrak yang dokumennya disebut piagam, akta atau sertifikat. Dari segi ajaran agama, akad nikah adalah ketentuan syari’at (rukun nikah) yang mengikat seorang lelaki dan perempuan dalam satu ikatan, yaitu ikatan perkawinan. Meski akad nikah merupakan transaksi kontrak tetapi juga memiliki sifat sakral, kesakralan ini karena dalam melafadzkannya (akad nikah) menggunakan nama Allah untuk menghalalkan persetubuhan (permainan cinta) antara lelaki dan perempuan. Secara sosial, akad nikah adalah suatu kontrak sosial dimana masing-masing pihak suami dan istri memiliki hak dan kewajiban, yang keduanya mengandung implikasi hukum.


Setiap muslim wajib memahami benar-benar makna kontrak cinta dalam kehidupan sesuai syar’i. Kita wajib mengenal proses, efek, efek samping, manfaat serta nilai-nilai ibadah yang terkandung dalam kontrak cinta Islami. Dalam Islam, berbicara mengenai cinta dengan lawan jenis harus memiliki tindakan nyata yang langsung to the point, artinya pernikahan adalah satu-satunya tindakan yang paling memungkinkan. Oleh karena itulah, kita wajib benar-benar memilih pasangan yang memiliki daya tarik bagi kita, karena setiap orang memiliki daya tarik tertentu disamping selera tertentu. Daya tarik ada yang bersifat lahir, kecantikan atau kegantengan misalnya, ada juga daya tarik yang menempel di luar seperti kekayaan, pangkat atau nama besar, ada juga daya tarik yang bersumber dari dalam diri seseorang, seperti kelemah-lembutan, kesetiaan, keramahan, dan berbagai ciri kepribadiaan lainnya. Selera manusia juga berbeda-beda, ada yang lebih tertarik kepada rupa, ada yang sangat mempertimbangkan harta dan jabatan serta status sosial, disamping ada yang seleranya lebih kepada kualitas hati, dsb.

Sebelum orang melakukan transaksi jual beli, apalagi jika membeli sesuatu yang bernilai, pasti terlebih dahulu akan melakukan berbagai pertimbangan; kualitas, kegunaan, harga dan selera pribadi. Akad nikah adalah kontrak cinta seumur hidup antara dua individu dimana mereka berdua bukan saja akan selalu bersama dalam suka, tetapi juga dalam duka. Suami istri nantinya, setiap hari akan banyak melalui waktu-waktu yang harus dilakukan bersama-sama; makan bersama, duduk bersama, tidur bersama dan menghadapi masalah bersama-sama, memperoleh keberuntungan bersama dan menanggung resiko bersama-sama. Jika antara keduanya tidak memiliki kesamaan, maka kebersamaan ini terus menerus dalam waktu yang lama akan melahirkan kebosanan/ kejenuhan. Oleh karena itu sebelum penandatanganan kontrak akad nikah, calon suami dan calon istri harus benar-benar meneliti unsur-unsur yang akan mendukung kebersamaan, dan menandai betul unsur-unsur resistensi yang dapat mengganggu dan mengeruhkan keadaan. Calon suami dan calon istri masing-masing harus benar-benar meyakini persepsi atas pengenalannya terhadap calon suami atau istri.

Argumen Memilih Pasangan

Dalam cinta dengan lawan jenis, ada peranan rasa dan ada peranan ilmu, perasaan cocok sering lebih besar dan ‘benar’ dibanding pertimbangan ‘ilmiah’ dalam persoalan ini. Jika seorang wanita dalam pertemuan pertama dengan seorang lelaki langsung merasa bahwa lelaki itu terasa ‘sreg’ untuk menjadi suami, meski ia belum mengetahui secara detail siapa identitas si lelaki itu, biasanya faktor perasaan seperti ini akan menjadi faktor dominan dalam mempertimbangkan. Penampilan seringkali menipu indrawi, padahal bisa saja penampilan yang ‘wow’ ternyata bertolak belakang dengan harapan. Sementara juga apabila menggunakan pemikiran rasional dalam memilih pasangan, mungkin pada awalnya dapat memuaskan logika, tetapi mungkin juga dapat menimbulkan perasaan kering, karena pernikahan bukan semata masalah logika, tetapi lebih mengarah persoalan perasaan. Misalnya saja, orang yang sama-sama kaya, laki-lakinya ganteng dan wanitanya cantik, mereka memutuskan untuk menikah dan hidup bersama karena melihat prospek mereka dalam berumah tangga. Namun karena mereka mengedepankan logika semata dan pernikahan mereka lebih bersifat formal dibandingkan ‘rasa’ hal seperti ini justru dapat menimbulkan suasana kering dan menjenuhkan dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Tuntunan dan Anjuran Memilih Pasangan

Manusia diciptakan Tuhan dengan dilengkapi fitrah kecenderungan (syahwat) yang bersifat universal seperti yang disebutkan dalam al-Qur’an:

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran; 14)

Adalah manusiawi jika banyak manusia tertarik kepada lawan jenis, bangga memiliki anak-anak yang banyak dan sukses, senang memiliki benda-benda berharga, kendaraan yang bagus, kebun luas dan binatang ternak, manusia fitrahnya menyukai kenikmatan, kebanggaan dan kenyamanan. Sepanjang syahwatnya ditunaikan secara benar dan syah (halal) maka hal itu bisa menjadi ibadah, atau sekurangnya mubah, tidak haram. Jika lelaki menginginkan memiliki istri yang cantik dan kaya, atau seorang wanita menginginkan memiliki suami yang ganteng dan kaya, maka syahwat seperti itu adalah syahwat yang wajar dan syah karena hal itu merupakan fitrah yang dilekatkan Tuhan kepada manusia.

Jika syahwat adalah wajar, lain halnya dengan hawa, manusia juga memiliki hawa disamping syahwat. Hawa atau dalam bahasa Indonesia disebut ‘hawa nafsu’ adalah dorongan kepada sesuatu yang bersifat rendah, segera, dan tidak menghiraukan nilai-nilai moral. Jika orang dalam memilih sesuatu lebih dipengaruhi oleh karena hawa, maka kecenderungannya adalah pada kenikmatan segera atau bahkan kenikmatan sesaat, bukan pada kebahagiaan abadi. Jika orang dalam memilih lebih mempertimbangkan sesuatu oleh karena tuntunan dan anjuran nurani dan Islam, maka pertimbangannya mengarah pada memilih kebahagiaan abadi, meski untuk itu sudah terbayang harus melampaui terlebih dahulu fase-fase kesabaran dalam menghadapi kesulitan dan kepahitan hidup. Ada empat pertimbangan yang secara sosial selalu diperhatikan pada calon pasangan yang akan dipilih, yaitu harta, keturunan, kecantikan dan agama.

“Wanita itu dinikahi karena empat pertimbangan, kekayaannya, nasabnya, kecantikannya dan agamanya. Pilihlah wanita yang beragama niscaya kalian beruntung.” (HR. Bukhari & Muslim dari Abu Hurairah)

“Pilihlah gen bibit keturunanmu, karena darah (kualitas manusia) itu menurun.” (HR. Ibnu Majah)

Memilih Pasangan dari Faktor Harta

Pada dasarnya, manusia menyukai materi adalah wajar dan manusiawi, memilih pasangan berdasarkan banyaknya hartanya bisa saja Anda lakukan namun pasti ada resiko dan konsekuensi. Hal ini tentu harus ada syarat dan anjuran yang memiliki keterkaitan dengan hal-hal lainnya. Jika orang memperoleh harta banyak dari usahanya yang halal, maka itu adalah karunia Tuhan, dan jika harta yang banyak itu digunakan untuk membuat kemaslahatan sebanyak-banyaknya bagi keluarga, masyarakat dan umat, maka itu adalah sebesar-besarnya ibadah. Maka dari itu, Anda bisa saja menjadikan faktor harta sebagai prioritas, namun perlu diketahui dengan sangat hati-hati, harta itu didapat dengan cara bagaimana, halal atau haram. Juga perlu diniatkan bahwa dengan harta yang banyak itu kelak Anda akan memberikan kekuatan dan kemampuan untuk membantu sesama muslim dan melaksanakan ibadah-ibadah lainnya. Adalah keliru, mengharapkan kebahagiaan abadi dalam rumah tangga semata-mata mengandalkan kesejahteraan materiil.

Memilih Pasangan dari Faktor Keturunan

Sebagaimana dikatakan oleh hadist Rasulullah bahwa setiap bayi lahir, ia dalam keadaan fitrah (kullu mauludin yuladu ‘ala al fithrah), yakni memiliki kapasitas potensi psikologis yang standar, bisa membedakan yang buruk dari yang baik, memiliki dorongan untuk mencari Tuhan dan memiliki peluang yang sama untuk menjadi apa dan siapa, bergantung kepada perjalanan hidupnya kemudian. Keutamaan keturunan bukan pada darah kebangsawanan atau bukan, tetapi lebih pada ‘darah’ karakter. Misalnya, ada orang yang secara sosial dipandang kecil, tidak punya status sosial, tinggal di ruang sempit, mengerjakan hal-hal yang nampaknya sederhana, tetapi ternyata ia memiliki obsesi yang besar melampaui status sosialnya, melampaui ruang dimana ia bertempat tinggal dan bahkan melampaui zaman dimana ia hidup. Dari ruang yang kecil itulah ia menatap dan memprogramkan membangun dunia yang besar, orang yang seperti inilah sosok orang besar yang akan mewariskan genetika (keturunan) besar kepada anak-anak dan keluarganya. Maka dari itu, Anda bisa saja memprioritaskan faktor keturunan, namun jangan hanya yang nampak di mata saja atau apa yang pasti saja, perlu juga pengamatan dan pengukuran tentang nilai-nilai karakter dan sifat pasangan yang Anda harapkan agar dapat mencapai membahagiakan kehidupan rumah tangga kedepannya.

Memilih Pasangan dari Faktor Kecantikan

Hakikatnya, manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang terindah (fi ahsani taqwim), fisik dan psikologis. Oleh karena itu manusia pun didesain Tuhan untuk mengerti keindahan dan bisa menikmati keindahan. Manusia yang mencintai keindahan secara benar pasti dicintai Allah, karena cinta keindahan juga merupakan sifat Allah, Innalloha Jamilun yuhibbal jamal. Sudah menjadi sunnatullah, lelaki tertarik kepada perempuan cantik dan sebaliknya, tetapi selera tentang kecantikan berbeda-beda setiap orang. Ada yang lebih tertarik kepada kecantikan lahir, ada yang lebih tertarik kepada kecantikan budi pekerti. Islam memberikan tuntunan dan anjuran agar tidak terlalu memprioritaskan kecantikan atau kegagahan sebagai pertimbangan dalam memilih pasangan, sebagaimana juga jangan terlalu menjadikan faktor harta atau keturunan saja sebagai faktor dominan.

Kadangkala, cinta yang menurut kita sudah terjalin dengan sangat baik, tidak menutupi kemungkinan bisa menjadi kebencian bahkan dendam. Pasangan cantik dan gagah yang semula hidup sangat mesra bisa juga berubah menjadi saling membenci, karena berbagai hal yang menuntut kesempurnaan. Di mata pasangan yang sedang saling membenci, kecantikan dan kegagahan sama sekali tidak berarti lagi, faktor kecantikan dan kegagahan justru menambah bahan bakar kebencian. Demikian pula dalam faktor keturunan yang dibanggakan atau harta yang dibanggakan, ketika dalam kebencian justru menjadi faktor utama yang mengobarkan semangat permusuhan pada pasangan suami istri. Hal ini sudah jauh-jauh Rasulullah peringatkan, “barang siapa memilih pasangan semata-mata karena kecantikan, atau karena semata-mata harta atau karena keunggulan keturunan, Allah akan membalikkan keadaan itu pada sesuatu yang sangat dibenci oleh mereka, dan mereka wajib bersabar dan mengikuti karena Allah”.

Memilih Pasangan dari Faktor Agama (keimanan)

Rasulullah menganjurkan kepada umatnya agar tidak mudah terperangkap tipu muslihat indrawi dan memprioritaskannya, pilihlah pasangan yang ‘dzatiddin’ yaitu orang-orang yang terang-terangan beriman kepada Allah swt, orang-orang yang tindakannya sesuai dengan ucapannya karena mengikuti syar’i atau dapat dilihat sifat-sifatnya sebagai orang yang mematuhi agama. Ketika Anda memprioritaskan faktor agama dalam memilih pasangan, niscaya akan dihindarkan dari dampak-dampak negatif. Orang yang tinggi keimanannya bukan berarti dia memiliki kesempurnaan lahiriah, namun akan terasa dalam berkomunikasi, dalam berinteraksi, dalam bertransaksi, subtansi beragamanya akan terasa menyejukkan, menentramkan, membangun semangat, susah dimusuhi, dan susah pula di provokasi. Bukan berarti pula, ketika Anda memprioritaskan faktor agama, lalu kehidupan Anda akan mudah dan nyaman. Memilih pasangan karena faktor keimanan mungkin saja tidak mudah, karena ada hukum kepantasan, bahwa orang yang beriman untuk orang yang beriman, jadi pantas-pantaskanlah diri Anda apabila menginginkan pasangan yang pantas. Kehidupan selalu akan diliputi oleh masalah, sederhananya bukan menghindari masalah tersebut, namun temukan dan hadapi bersama-sama dengan orang yang ikhlas membantu Anda, baik suka atau duka selalu dalam kebersamaan. Inilah yang dinamakan kebahagiaan dunia, menemukan pasangan ‘dzatiddin’ demi kebahagiaan abadi.

Rasulullah bertanya, “Apakah engkau tahu, tali keimanan manakah yang paling kuat?” Aku berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah bersabda, “Tali keimanan yang paling kuat adalah loyalitas kepada Allah,dengan mencintai dan membenci (segala sesuatu) hanya karena-Nya.”(HR. Hakim)

Demi Dzat yang jiwaku ada ditangan-Nya, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai (HR. Muslim).

Sesungguhnya kelak di hari kiamat Allah akan berfirman, “Di mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku?Pada hari ini Aku akan memberikan naungan kepadanya dalam naungan-Kudisaat tidak ada naungan kecuali naungan-Ku” (HR. Muslim)

Siapa yang mencintai seseorang karena Allah, kemudian seseorang yang dicintainya itu berkata, “Aku juga mencintaimu karena Allah.” Maka keduanya akan masuk surga. Orang yang lebih besar cintanya akan lebih tinggi derajatnya daripada yang lainnya. Ia akan digabungkan dengan orang-orang yang mencintai karena Allah.(HR. Muslim)

Kecintaan-Ku pasti akan diberikan kepada orang-orang yang saling mencintai karena-Ku. Kecintaan-Ku berhak diperoleh oleh orang-orang yang saling mengunjungi karena aku. Kecintaan-Ku berhak diperoleh oleh orang yang saling memberi karena-Ku. Kecintaan-Ku berhak diperoleh oleh orang yang saling menjalin persaudaraan karena-Ku.(HR. Hakim)

Billahifii sabililhaq, fastabiqul khoirot..
Baca SelengkapnyaKontrak Cinta & Tuntunan Islami dalam Memilih Pasangan

Selasa, 27 Agustus 2013

Memahami Seni Melalui Sejarah Islam

Sekilas kita bisa memikirkan dari judul yang tertulis, istilah “seniman” yang bermakna pelaku atau orang yang memiliki kemampuan seni. Lantas kemudian apakah makna seni berarti ? mungkin Anda memiliki persepsi masing-masing, karena hakikat seni adalah perihal mendasar yang sudah menjadi fitrah manusia. Wujud fitrah itu bisa kita pandang pada diri kita masing-masing. Misalnya, seberapa besar pengetahuan dan kemampuan Anda dalam menyusun alunan-alunan bunyi hingga menjadi sebuah instrumen ? mungkin kemampuan kita bervariasi, ada yang mampu dan ada yang tidak mampu. Namun, seberapa besar kemampuan Anda dalam mengamati, mendengar atau mungkin merasakan alunan-alunan, gambaran-gambaran yang seakan-akan mampu kita simpulkan suasananya ? mungkin rata-rata kita mampu melakukannya walau sesuai dengan kadar masing-masing dalam menafsirkannya.

Itulah fitrah dasar dari manusia, mampu merasakan kemudian meresapi dan menghayati apa yang dilihat dan didengar walau belum memahami sumber dan kaidah asal perihal tersebut. Lalu apa yang bisa kita simpulkan dari penjelasan singkat di atas ? mari kita sama-sama simak wacana di bawah ini..!!

Apa yang Anda pikirkan dengan seseorang yang menjadi Artis, Selebritis atau Musikus yang menggambarkan diri sebagai seorang seniman ? bagaimana pola pikirnya atau gaya hidupnya ? bagaimana moralitasnya atau spiritualitasnya ? semua ini percaya tidak percaya sudah Anda generalisasikan dalam alam bawah sadar Anda dengan satu jawaban pembenaran, yaitu “kemewahan dan kegemerlapan”. Semua ini adalah stereotip para seniman dewasa sekarang ini, apapun jenisnya.

Bila jawaban Anda mengacu kepada kedua hal di atas, maka itu adalah kesalahan mendasar Anda, juga tidak lepas dari kesalahan sebagian orang dalam menafsirkan makna “seni”. Sebelum saya terangkan apa sebenarnya seni, ada sebuah syair yang secara eksklusif menerangkan makna seni ; “Keindahan ini pertama-tama adalah abadi, ia tidak tidak pernah diwujudkan maupun dimatikan, tak mengalami pasang-surut, kemudian ia bukan indah sebagian dan jelek sebagian, bukan indah pada satu saat dan jelek pada saat lain, bukan indah dalam kaitannya dengan hal ini dan jelek dengan hal itu, tidak beraneka menurut keragaman pemerhatinya, tidak pula keindahan ini akan tampil di dalam imajinasi seperti kecantikan seraut wajah atau tangan atau sesuatu pemikiran atau ilmu pengetahuan, atau seperti keindahan yang bersemayam di dalam sesuatu di luar dirinya sendiri, apakah itu makhluk hidup atau bumi atau langit atau apa pun lainnya, dia akan melihatnya sebagai yang absolut, ada sendirian di dalam dirinya, unik, abadi.” (Socrates).

Seni adalah “keindahan”, begitu menurut Socrates, seorang guru besar filsuf Yunani kuno yang pada abad keemasan Islam, buku-bukunya banyak diterjemahkan ke bahasa Arab dan dipelajari secara umum. Ciri-ciri keindahan adalah unik, abadi, dan mutlak. Secara mendasar, Socrates ingin mengajak orang-orang pada masanya untuk memikirkan seni, melalui seni-lah hukum-hukum akan dijalankan dan sarana individu untuk menghayati keberadaan/ kebesaran Tuhan. Jadi, pengertian seni bukanlah seperti yang khalayak awam katakan, bahkan mereka yang mengaku-ngaku sebagai seniman namun perbuatannya masih jauh dari nilai-nilai seni, patutlah kita pertanyakan siapa mereka.

Kita kembalikan sejarah pada masa-masa yang banyak dilupakan, yaitu masa-masa keemasan Islam, pada zaman kejayaan Daulah Khilafah Islamiyah, negara Islam bukanlah sebuah negara yang dingin dan kaku. Di sana, selain terdapat banyak ulama mujtahid yang membuat hidup jadi terarah, lalu para ilmuwan dan insinyur yang membuat hidup lebih mudah, juga bertebaran para seniman yang membuat hidup lebih indah. Dan yang paling utama para seniman ini adalah orang-orang yang beriman, yang menjadikan iman sebagai poros hidupnya, bukan sebaliknya. Berbeda pada zaman sekarang, banyak mereka yang mengaku seniman, terjebak dengan aktivitas yang mereka anggap sebuah seni sehingga meninggalkan “keimanan” dan melupakan segala hal-hal yang mendasar dalam hidupnya.

Macam-Macam Seni dalam Dunia Islam

Secara umum, dunia seni dapat dibagi dalam lima macam; 1) seni rupa, 2) seni sastra, 3) seni suara (musik), 4) seni gerak (akrobat), 5) seni gabungan (treatikal). Ketika aliran naturalis yang menggambar atau membuat patung hewan atau manusia diharamkan dalam Islam, para perupa muslim dapat tetap menuangkan kreativitasnya dalam bentuk-bentuk abstrak yang memerlukan jiwa seni dan kemampuan matematis yang lebih tinggi, misalnya dalam bentuk kaligrafi yang rumit yang juga tertuang pada karpet atau keramik, arsitektur masjid yang canggih, atau taman kota yang simetri. Bentuk seni rupa yang membawa permisanya serasa mi’raj ke dimensi spiritual, dimensi ilahiyah.

Dunia sastra juga menggelora dengan karya-karya yang menggugah. Berbagai hikayat dari zaman pra-Islam dimodifikasi dan diberi semangat iman. Karya sastra yang paling legendaris tentu saja adalah “Kisah 1001 Malam”, yang mengisahkan seorang ratu Persia Syahrazad yang setiap malam tak lelah mendongeng kisah-kisah fantastis seperti Aladin, Ali Baba atau Sinbad ke suaminya Raja Syahriar, dan baru berhenti saat adzan subuh pada titik yang membuat orang penasaran. Setelah 1001 malam, ada perubahan sikap yang signifikan dari Raja Syahriar, yang semula dikenal sebagai raja yang paranoid, yang karena takut dikhianati selalu menyingkirkan istrinya pada hari kedua pernikahannya. Namun Syahrazad berhasil mengubah kebiasaannya itu dengan sebuah dongeng yang indah.


Karya sastra juga sering dipakai untuk memberikan pelajaran, Ibnu Malik membuat puisi 1000 bait yang dikenal dengan “Alfiah Ibnu Malik” untuk memberikan pelajaran bahasa Arab secara komprehensif. Barangsiapa hafal 1000 bait tersebut, dia telah belajar dan menguasai nahwu, shorof dan balaghah sekaligus.

Seni suara pada zaman daulah Islam mendapat tempat yang layak dan dapat digunakan untuk terapi mental. Bacaan al-Qur’an dapat dilantunkan dengan suara yang indah untuk suasana apapun, sedih ataupun gembira. Rasulullah membolehkan lagu dan musik dimainkan untuk mengiring acara gembira seperti walimah nikah. Semula yang berkembangadalah nasyid, konsert vokal tanpa instrumen (Accapella). Berbagai lirik nasyid yang penuh makna diciptakan untuk berbagai peringatan, misalnya maulid Nabi. Konon Salahuddin al-Ayyubi mengadakan sayembara untuk itu, agar masyarakat ingat kembali pada Sirah Nabawiyah dengan cara yang indah dan menyenangkan. Kiat ini dilakukan untuk memperkuat kembali kaum muslim dalam menghadapi tentara salib.

Dalam instrumen musik, umat Islam tak hanya mengenal rebana sebagai satu-satunya alat musik yang sudah dikenal di zaman Nabi. Khilafah Islam mewarisi berbagai alat musik bangsa-bangsa yang ditaklukannya sekaligus memerkayanya dengan alat-alat musik baru. Saklipun ada ikhtilaf di antara para fuqoha dari yang menghalalkan dan mengharamkan musik, tokoh Al-Farabi tetap meneliti dan menciptakan berbagai alat musik yang sebelumnya tidak dkenal, seperti piano. Dia juga menemukan hubugan matematis antara tinggi tiap nada dan hubungan ritme dengan kejiwaan seseorang. Islam tidaklah melarang seseorang untuk memainkan musik atau bernyanyi selalma apa yang dia lantunkan tidak berkaitan dengan kemunkaran dan syirik, serta tidak menimbulkan kelalaian terhadap diri sendiri dan orang lain.

Dalam seni gerak, seni akrobat sudah diterima oleh Rasulullah, bahkan beliau telah menyaksikan pertunjukan suatu tim dari Habasyah bersama Ummul Mukminin Aisyah di masjid. Seni gerak ini kemudian berkembang pesat di kalangan shufi, seperti halnya Darwish di Turki, yang mendapatkan semacam perasaan “ectasse” ketika berputar-putar ratusan kali sambil berdzikir. Sedangkan untuk seni teater dikenal baik yang dimainkan oleh orang maupun dalam bentuk boneka, yang di Indonesia kemudian berkembang dalam bentuk wayang. Seni ini sudah dikenal di masa Abbasiyah kira-kira 1000 tahun yang lalu dengan mengambil alur cerita dari sejarah Islam. Para khalifah Utsmaniyah, termasuk Sulaiman al-Qanuni juga dikenal sangat antusias menonton sandiwara boneka.

Seni Musik Seniman Muslim

Ketika Khilafah Islam jaya, seni musik dan seni-seni yang lainnya tidak pernah menjadi sesuatu yang melalaikan. Bahkan kaum muslimin pernah ikut berkontribusi dalam teknologi musik. Sejumlah besar alat musik yang dipakai di musik klasik Barat dipercaya berasal dari alat musik Arab. Lute berasal dari “al-‘ud”, rebec (violin) dari “rabab”, guitar dari “qitara”, naker dari “naqareh”, adufe dari “al-duff” alboka dari “al-buq”, anafil dari al-nafir”, exabeba (flute) dari “al-syabbaba”, atabal (bass drum) dari “al-tabl”, atambal dari “al-tinbal”, sonajas de azofar dari “sunuj al-sufr”, dan masih puluhan alat musik lainnya yang ternyata berawal dari alat musik Arab.


Kenyataan bahwa teori musik banyak ditemukan oleh orang Islam cukup berasal, Meninski dalam bukunya Thesaurus Linguarum Orientalum (1680) dan Laborde dalam tulisannya Essai sur la Musique Ancienne et Moderne (1780) sepakat bahwa asal muasal notasi musik Solfege (do, re, mi, fa, sol, la, si) diturunkan dari huruf-huruf Arab sistem “solmization” Durar-Mufassalat (dal, ro, mim, fa’, sod, lam, to’) yang bermakna “mutiara yang terpisah”. Setiap huruf memiliki frekuensi getar dalam perbandingan logaritmis dengan huruf sebelumnya.

Kehebatan musik dari negara Khilafah bertahan sampai abad-18 M, yakni ketika militer Utsmaniyah sebagai militer terkuat dunia memiliki marching band yang hebat bahkan dianggap sebagai marching band tertua di dunia. Orang barat menyangka bahwa semangat jihad yang menyala-nyala dari tentara Utsmaniyah ini ditunjang atau diciptakan oleh musik militernya. Padahal sejatinya, aqidah Islam dan semangat syahidlah yang membuat militer ini jadi hebat. Ketika belakangan aqidah dan semangat mencari syahid mengendur, militer ini tinggal marching-band-nya saja yang hebat.

Marching band berasal dari istilah Persia “Mehler”. Instrument yang digunakan oleh Mehler adalah Bass-drum (timpani), Kettledrum (nakare), Frame-drum (davul). Cumbals (zil), Oboes, Flutes, Zuma, “Boru”, Triangle dan “Cevgen”. Marching-band militer ini menginspirasi banyak bangsa barat, bahkan juga menginspirasi para komponis orkestra Barat seperi Wolfgang Amedeus Mozart (1756-1791) dan Ludwig van Beethoven (1770-1827), yang mungkin nama mereka tidak asing lagi bagi kita.


Perlu kita sadari khususnya sebagai Muslim kita belum sepenuhnya mengetahui bagaimana besar dan agungnya sejarah peradaban Islam pada masa-masa Khilafah. Kita sering bangga dengan pengetahuan yang kita dapat dari peradaban Barat, memuja-muja kedikdayaan Barat, padahal kalau mau kita merinci bahwasanya sumber ilmu dan pengetahuan berawal dari cendikia-cendikia muslim, maka sepatutnyalah kita berbesar hati dan menanamkan semangat pembaharuan dan pantang menyerah. Islam adalah ajaran yang selalu terintegritas dengan seni, bahkan cakupan seni dalam Islam sangatlah luas, sehingga janganlah Anda menutupi bahkan membatasi usaha Anda tanpa meninggalkan dan melupakan syar’i dan iman sebagai Muslim. Billahi fi sabililhaq, fastabiqul khoirot..
Baca SelengkapnyaMemahami Seni Melalui Sejarah Islam