SAATNYA DAN SELAYAKNYA ANDA MENGETAHUI

Rabu, 09 Januari 2013

Sikap dan Perilaku Konselor Pada Proses Konseling


 A.   Konselor Melakukan Wawancara
Wawancara konseling adalah wawancara yang hanya terjadi apabila terdapat individu yang mengalami kesulitan untuk menangani sendiri problem yang dihadapi dan memerlukan bantuan dari orang lain atau konselor yang menentukan sesi-sesi konseling yang dibutuhkan. Konseling merupakan proses membantu seseorang untuk memperoleh pemahaman tentang masalah yang dihadapi, kemudian menemukan jalan untuk menanggulanginya. Tujuan utama konseling adalah menolong individu untuk mengerti, menyesuaikan diri, serta memecahkan masalah yang berkaitan dengan sikap dan hubungan dengan orang lain.


Terdapat dua pendekatan atau model wawancara konseling, yaitu directive dan nondirective. Berikut penjelasan dari pendekatan-pendekatan tersebut.
1.   Konseling Directive (Penyuluhan Terarah)
Karakteristik wawancara ini antara lain konselor menyerang langsung ke masalah, mengontrol struktur wawancara, memutuskan untuk menyelesaikan atau menghindari masalah subjek, menyusun langkah-langkah dalam wawancara. Konselor mengumpulkan informasi, menganalisis masalahnya, memberikan pendapat, memberikan solusi-solusi, dan memberi arahan yang spesifik kepada klien. Ada beberapa keuntungan dari konseling directive, antara lain :
a.      Cukup mudah untuk memimpin dan mempelajarinya.
b.      Tidak memerlukan waktu yang banyak.
c.       Konselor fokus pada kepentingan masalah yang spesifik.
d.      Membolehkan konselor untuk memberikan informasi dan pedoman penting.
e.  Memperbolehkan konselor untuk melayani seperti penasihat ketika klien merasa segan dan tidak sanggup untuk menganalisis masalahnya atau untuk memperkirakan kemungkinan-kemungkinan solusinya.
2.   Konseling Nondirective
Karakteristiknya adalah konselor dipandang sebagai fasilitator atau penolong pasif, bukan sebagai ahli. Konselor membantu klien untuk memperoleh informasi, menyelidiki masalah dan menganalisisnya, serta menemukan dan mengevaluasi solusinya. Konselor bersikap mendengarkan, mengobservasi, dan memberi harapan (mendorong), bukannya memaksakan ide dan solusi. Konseling berpusat pada klien, klien yang mengontrol struktur wawancara, menentukan topik yang didiskusikan, waktu mereka memulai berdiskusi, cara mereka berdiskusi, menentukan langkah-langkah dalam diskusi, dan lamanya waktu diskusi.
Dalam konteks ini diasumsikan bahwa, 1) setiap orang mempunyai kemampuan untuk mencapai pemecahan terbaik yang ia miliki. 2) hanya klien yang dapat memutuskan sesuatu yang terbaik untuknya. 3) hal terpenting dalam konseling adalah mendengar. Beberapa keuntungan dari konseling nondirective adalah sebagai berikut :
a.     Membolehkan klien untuk mengungkapkan sesuatu yang lebih penting untuk dirinya pada waktun yang diperlukan.
b.   Membolehkan klien menyampaikan informasi dengan kesukarelaan, yang mungkin saja konselor tidak memikirkan hal itu.
c.       Menyerahkan kepada klien dalam mengontrol keputusan dan tindakannya.
d.  Nondirective mungkin dapat mendorong klien untuk memberikan jawaban dan komentar secara mendalam.
e.   Memberikan kesempatan kepada konselor untuk mendengarkan tentang klien dan mendorong klien.
f.     Nondirective memungkinkan adanya komunikasi pada klien bahwa konselor sungguh tertarik padanya dan tidak terburu-buru untuk menerima klien lain ataupun mengerjakan tugas lainnya.
Dalam melaksanakan wawancara, ada beberapa hal yang perlu direncanakan atau dilakukan, di antaranya adalah sebagai berikut :
1.      Membuat keputusan untuk melakukan konseling. Konseling secara tidak langsung berarti menginvestasikan waktu, energi, dan uang untuk kedua individu (konselor dan klien).
2.   Mengumpulkan fakta dan kerjakan tugas anda. Konselor harus spesifik, tidak ambigu, konselor yang baik memulai dengan fakta-fakta. Dalam mengumpulkan fakta, konselor gunakan paradigma yang paling relevan dengan situasi tertentu. Paradigma pertama menyatakan bahwa seseorang bertanggung jawab atas masalahnya. Oleh karena itu, solusinya adalah mengubah orang itu. Paradigma kedua menyatakan bahwa masalah disebabkan oleh lingkungan atau situasi kerja, bukan karena individu atau tingkah lakunya.
3.   Meninjau kembali tujuan anda. Konseling adalah aktivitas membantu, yaitu membuat perubahan-perubahan yang harusnya terjadi pada klien. Anda harus menginvestigasi sama atau tidaknya tujuan anda dengan klien.
4.    Batasi sasaran anda setiap melakukan wawancara. Batasan itu meliputi wilayah masalah, alasan untuk berubah, alternatif perubahan, dan manfaat perubahan.
5. Pilih struktur untuk konseling. Konselor dapat memakai konseling directive atau nondirective.
6.    Rencanakan suasana yang akan anda kembangkan. Suasana yang menghasilkan manfaat untuk konseling antara lain ‘terbuka’, ‘interaktif’, dan ‘objektif”. Situasi keterbukaan dicirikan dengan pengungkapan diri, dibutuhkan saling percaya satu sama lain dan harus menjaga kerahasiaan, sebab orang sulit untuk terbuka. Konselor lebih baik menekankan pada fakta daripada penilaian sendiri saat mengambil kesimpulan.
7.   Menyusun setting sehingga interaksi dapat maksimal. Setting juga merupakan penentu terjadinya interaksi. Beberapa pertimbangan utama yang dapat dilakukan antara lain :
a. Buatlah janji dengan klien dan tentukan lama pertemuan yang akan nanti berlangsung.
b.      Pilih ruangan tersendiri, area yang nyaman dan bebas dari gangguan.
c.       Atur perabotan yang akan membantu, apakah ingin formal atau informal.
d.      Perhatikan pencahayaan, cahaya yang lemah cenderung membuat orang dapat lebih terbuka.
Pendahuluan wawancara konseling sebaiknya memenuhi empat hal yaitu, membangun rapor, membuat kesepakatan kerja, melakukan diskusi area masalah, dan menjamin kerahasiaan. Setelah itu, anda dapat mempraktikkan hal-hal berikut ini :
1. Membangun rapor. Rapor sangat diperlukan untuk membuat klien nyaman dan menumbuhkan kepercayaan dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan memulai pembicaraan singkat, orientasi yang bagus, hangat, dan ramah. Setelah anda membangun rapor, konselor membuat kesepakatan kerja mengenai bayaran, frekuensi konseling, dan tujuan klien. Beberapa hal yang dapat dilakukan agar klien mau berbicara antara lain meyakinkan kerahasiaan kepadanya, dapat menunjukkan komitmen untuk membantu, jujur, mendengarkan dari awal hingga akhir, dan menunjukkan penerimaan.
2.  Spesifik dalam mengidentifikasi dan mengartikan masalah, tingkah laku, sikap, atau hubungan. Menggali lebih dalam masalah klien dengan menyelidiki dan menanyakan hal-hal yang spesifik. Itu dilakukan agar klien mau membuka diri dan mengakui masalah yang dihadapi. Setelah masalah diakui, biasanya kemajuan dapat dibuat.
3. Menyelidiki atau mengekplorasi persepsi klien. Menyelidiki dengan mengungkap pertanyaan yang membangkitkan kenangan dan tidak membiarkan klien meng-hindari topik. Jika klien meyakini suatu persepsi, tanyakan apakah ia mendukung atau menolaknya. Eksplorasi yang efektif dilakukan dengan terus terang, tidak menuduh, dan dengan cara yang tidak emosional.
4.   Mendengar dan menyerap. Anda tidak hanya mendengar, tapi juga menyimak dengan baik sesuatu yang dikatakan oleh klien. Hal ini dilakukan dalam upaya mendeteksi perubahan-perubahan dan inkonsistensi dalam percakapan. Setelah itu, diberi pertanyaan tambahan untuk mengklarifikasi perasaan dan kesan klien. Perhatikan juga tingkah laku nonverbal karena tingkah laku tersebut mampu mengungkapkan hal yang disembunyikan dalam kata-kata.
5.    Menyelidiki reaksi secara penuh. Konfrontasi diperlukan dalam menyelidiki reaksi klien. Sebab, sebagian besar orang selalu ingin menutupi kesalahan yang membuat mereka tak nyaman. Dalam hal ini, wawancara nondirective lebih banyak men-dapat feedback reaksi klien.
6. Berorientasi pada masalah. Konseling memiliki konotasi pengambilan keputusan-keputusan. Maka lebih baik anda berorientasi pada masalah daripada solusi. Gunakan waktu yang tersedia untuk menyelidiki sumber masalah klien.
7.     Menjelaskan cabang dari masalah, dan menyelidiki alasan-alasan perlunya per-ubahan. Dalam situasi kerja, tidak boleh terlalu cepat mengambil inti masalah.
8.  Bereaksi pada klien. Biasanya, klien bertanya tentang hal-hal pribadi konselor, atau perbandingan dengan orang lain. Agar fokusnya tidak berubah, sebaiknya dialihkan dengan pertanyaan-pertanyaan lain.
9.   Mengembangkan rencana tindakan. Bila menggunakan pendekatan nondirective, anda meminta klien mengidentifikasi rencana tindakan. Hal ini tidak hanya mem-buat klien bertanggung jawab terhadap solusinya, tapi juga mengetahui apakah klien ada pengaruh atau perubahan setelah sesi konseling. Bila mengunakan pen-dekatan directive, konselor yang mengajukan rencana tindakannya. Perlu juga diukur reaksi klien terhadap solusi yang diberikan konselor.
10. Menutup wawancara dengan ketentuan-ketentuan yang harus diikuti.
11. Menjaga suara suara dan tubuh tetap dibawah kendali. Pertanyaan harus dapat ditanyakan da dikomentari dengan cekatan. Empati dan penerimaan ditunjukkan secara wajar, tidak perlu berlebihan atau malah kekurangan karena akan mem-pengaruhi keterbukaan selama konseling.
12. Membuat catatan menyeluruh. Catatan itu berupa rincian dalam sesi konseling, dapat digunakan oleh konselor untuk mendalami masalah klien.
13. Membantu klien menyaring ide dan ekspresi dari masalah mereka sendiri.
14. Keinginan untuk pergi (wanting to leave). Sebagian besar klien ingin meninggal-kan situasi konseling yang menekan mereka. Untuk mencegah hal tersebut terjadi, konselor sebaiknya menunjukkan manfaat melanjutkan hubungan atau konseling.
15. Ketergantungan. Ketergantungan terjadi ketika klien berharap konselor mampu menyelesaikan masalah mereka. Dalam pendekatan directive hal tersebut sering terjadi, namun dalam pendekatan nondirective, hal tersebut cenderung berkurang.
16. Penyangkalan. Penyangkalan harus dihadapi untuk membuat kemajuan. Penyang-kalan ini dapat diatasi degan membuktikannya dengan tegas, menghadapinya dengan fakta-fakta, dan mendorong klien menuju suatu pengakuan.
Dengan demikian, ada dua poin penting yang bisa kita ambil dari uraian tersebut. Pertama, sebagai konselor, anda bertanggung jawab secara etis dan tidak manipulatif dalam berinteraksi dengan klien. Gunakan kekuasaan peran anda dengan bijaksana. Kedua, konseling melibatkan koreksi atas perilaku dan pendisiplinan.

B.   Konselor Sebagai Pendengar
Konselor harus menjadi pendengar yang aktif. Hal ini sangat penting dikarenakan beberapa faktor. Pertama, menunjukkan sikap penuh kepedulian. Kedua, merangsang dan memberanikan klien untuk beraksi secara spontan terhadap konselor. Ketiga, menimbulkan situasi yang mengajarkan. Keempat, klien membutuhkan gagasan-gagasan baru.
Konselor sebagai pendengar yang baik memiliki kualitas sebagai berikut :
1.      Mampu berhubungan dengan orang-orang dari kalangan sendiri, dan berbagi ide-ide.
2.      Menantang klien dalam konseling dengan cara-cara yang bersifat membantu.
3. Memperlakukan klien dengan cara-cara yang dapat menimbulkan respons yang bermakna.
4.      Keinginan untuk berbagi tanggung jawab secara seimbang dengan klien dalam konseling.
Dalam hal ini, dibutuhkan dua hal dalam diri konselor, yaitu kesabarab dan kepekaan. Berikut penjelasan masing-masing.
1.   Kesabaran
Dalam konseling, konselor dapat membiarkan situasi-situasi berkembang secara alami, tanpa memasukkan gagasan-gagasan pribadi, perasaan, atau nilai-nilai secara prematur. Konselor yang sabar ini memiliki kualitas sebagai berikut :
a.      Memiliki toleransi terhadap ambiguitas.
b.    Mampu berdampingan dengan klien dan membiarkannya mengikuti arahnya sendiri, meskipun mungkin konselor mengetahui ada jalan yang lebih baik.
c. Tidak takut terhadap pemborosan waktu dalam minatnya terhadap adanya pertumbuhan klien.
d.      Dapat mempertahankan tilikan dan pertanyaan yang akan disampaikan dalam sesi dan digunakan kemudian.
2.   Kepekaan (Sensitivity)
Konselor yang memiliki kepekaan menunjukkan beberapa hal berikut :
a.      Peka terhadap reaksi dirinya sendiri.
b.      Mengetahui bagaimana, di mana, dan berapa lama melakukan penelusuran klien.
c. Mengajukan pertanyaan dan mengaitkan informasi yang dipandang dapat mengancam pada klien dengan cara-cara yang arif.
d.      Peka terhadap hal-hal yang mudah tersentuh dalam dirinya.

C.   Konselor Memahami Klien
Shertzer anda Stone (1987) mengemukakan bahwa keberhasilan atau kegagalan proses konseling ditentukan oleh tiga hal, yaitu kepribadian klien, harapan klien, dan pengalaman atau pendidikan klien. Berikut penjelasan masing-masing.
1.   Kepribadian Klien
Kepribadian klien sangat berperan dalam menentukan keberhasilan proses konseling. Aspek kepribadian meliputi emosi, sikap, intelektual, motivasi, dan lain sebagainya.
Kecemasan klien akan tampak di hadapan konselor. Oleh sebab itu, konselor yang efektif akan mengeksplorasi perasaan-perasaan tersebut dan adanya keter-bukaan. Sebagaimana konselor, klien juga dilatarbelakangi oleh sikap, nilai-nilai, pengalaman, perasaan, budaya, sosial, ekonomi, yang ikut serta membentuk kepribadiannya. Kepribadian membimbing dan wawasan yang luas adalah hal mutlak yang harus dimiliki konselor.
2.   Harapan Klien
Harapan mengandung makna adanya kebutuhan yang ingin dipenuhi. Harapan mempengaruhi proses konseling dan persepsi klien terhadap konselor. Umumnya, harapan klien terhadap konseling biasanya untuk mendapat informasi, menurunkan kecemasan, memperoleh jawaban dari persoalan yang dihadapi, serta mencari upaya agar dirinya lebih baik dan berkembang.
Perlu diketahui, harapan klien datang dari dalam atau luar dirinya (intervensi atau desakan orang lain). Tentu, perlu keterbukaan dan keterlibatan klien dalam proses konseling. Sehingga, tercipta diskusi yang mendalam mengenai harapan dan cita-cita klien. Selain itu, klien dapat menjawab sendiri apakah harapannya itu logis, realistis, dan dapat dicapai atau tidak.
3.   Pengalaman dan Pendidikan Klien
Dengan pengalaman dan pendidikan yang memadai, klien lebih mudah memahami dirinya, serta persoalan menjadi lebih jelas dan terarah. Klien yang memiliki pengalaman luas lebih akan mudah diarahkan menuju keputusan yang hendak diambil. Klien yang berpendidikan tinggi dapat mempermudah konselor dalam berkomunikasi dengan klien. Konselor harus mampu menempatkan diri dan melakukan penyesuaian terhadap klien yang memiliki pengalaman dam latar belakang pendidikan yang berbeda.
4.   Aneka Ragam Klien
a.      Klien Suka Rela
Secara umum, klien jenis ini dapat dikenali dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1)     Hadir atas kehendak sendiri.
2)     Segera dapat menyesuaikan diri dengan konselor.
3)     Mudah terbuka, seperti segera mengatakan persoalan.
4)     Sungguh-sungguh dalam mengikuti proses konseling.
5)     Berusaha mengemukakan sesuatu dengan jelas.
6)     Sikap bersahabat mengharapkan bantuan.
7)    Bersedia mengungkap rahasia, walaupun menyakitkan.
Konselor harus dapat mempelajari kliennya. Ia tidak dibenarkan berbicara terus-menerus dan mendominasi topik pembicaraan. Sebab, hal ini dapat menyebabkan klien suka rela menjadi kecewa dan drop out.
b.      Klien Terpaksa
Klien yang datang kepada konselor bukan karena keinginannya sendiri, tapi atas dorongan orang lain. Klien jenis terpaksa ini memiliki karakteristik bersifat tertutup, enggan untuk berbicara, curiga terhadap konselor, kurang bersahabat, dan menolak secara halus bantuan konselor.
Strategi yang digunakan untuk menghadapi klien jenis terpaksa adalah mencoba menjelaskan dengan bijak tentang sesuatu yang dimaksud dengan proses konseling yang akan dilakukan.
c.       Klien Enggan
Salah satu bentuk klien enggan adalah banyak berbicara, yang pada prinsipnya enggan untuk dibantu. Upaya yang dilakukan untuk menghadapi klien semacam ini ada dua. Pertama, menyadarkan kekeliruannya. Kedua, memberi kesempatan agar dia dibimbing oleh orang lain, atau mencari lawan bicara yang lain.
d.      Klien Bermusuhan atau Menentang
Klien jenis terpaksa dan bermasalah dapat menjadi klien yang menentang. Sifat-sifatnya antara lain ; tertutup, menentang, bermusuhan, dan menolak secara terbuka.
Ada beberapa cara yang efektif untuk menghadapi klien semacam ini. Di antaranya adalah sebagai berikut :
1)     Ramah, bersahabat, dan empati.
2)     Toleransi terhadap perilaku klien yang tampak.
3)     Tingkatkan kesabaran dalam menunggu saat yang tepat untuk berbicara sesuai dengan bahasa tubuh klien.
4)     Memahami keinginan klien, yaitu tidak sudi dibimbing.
5)    Membuat bentuk negosiasi, kontrak waktu, dan penjelasan tentang apa sebenarnya konseling.
e.       Klien Krisis
Klien krisis berarti klien yang sedang menghadapi musibah, seperti baru kehilangan orang yang dicintai, diperkosa, dan lain sebagainya, yang hadir dihadapan konselor untuk diberi bantuan agar jiwanya stabil dan mampu menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru. Beberapa gejala klien krisis adalah sebagai berikut :
1)     Tertutup, atau menutup diri dengan dunia luar.
2)     Amat emosional, tidak berdaya, bahkan histeris.
3)     Kurang mampu berpikir secara rasional.
4)     Tidak mampu membimbing diri dan keluarga.
5)    Membutuhkan orang yang amat dipercayai.
Tujuan utama membantu klien yang mengalami kesedihan mendalam (grief) adalah sebagai berikut :
1)     Agar klien menerima kesedihannya secara wajar.
2)     Agar klien dapat mengekspresikan segala rasa kesedihannya.
3)     Menghilangkan ingatan tentang orang yang pergi (meninggal), rasa ketakutan (trauma), atau hal-hal yang menekan klien.
4)    Membentuk lingkungan dan relasi baru yang lebih baik.
Menurut Brammer (1979), ada tiga langkah penting untuk membantu klien krisis, yaitu :
1)     Tentukan dahulu kondisi krisis klien, seberapa parah keadaannya. Lalu tentukan tipe bantuan yang sangat dibutuhkan klien saat itu berdasarkan penilaian konselor tentang kondisi krisis klien tersebut.
2)    Tentukan sumber-sumber yang mampu membantu klien secepatnya, misalnya saudara, teman, kelompok, atau bantuan awal yang dapat meningkatkan kesadaran klien.
3)  Bantuan secara langsung, konselor memberi peluang kepada klien agar bisa menyalurkan perasaannya, seperti rasa takut, bersalah, dan amarah. Konselor dapat memberikan bantuan psikologis dengan penyaluran dan penyadaran emosional.

D.  Konselor Sebagai Pribadi
Persamaan pribadi antara konselor dengan klien merupakan hal yang penting dalam konseling. Kualitas lahiriah dari seorang konselor adalah menawan hati, memiliki kemampuan bersikap tenang ketika bersama orang lain, memiliki kapasitas untuk berempati, dan karakteristik-karakteristik lain yang memiliki makna yang sama. Kualitas tersebut tidak seluruhnya bawaan sejak lahir, melainkan dapat dicapai dan diusahakan lewat proses belajar.
Pribadi seorang konselor yang seimbang dapat membantu dirinya dalam men-jalankan tugas sebagai seorang konselor yang benar. Tugas seorang konselor adalah memberikan bantuan kepada klien (konseli) untuk menyelesaikan problem yang mengganggu. Konseling juga dimaksudkan untuk membantu konseli mengembangkan beragam cara yang lebih positif untuk menyikapi hidup. Konseling, pada umumnya bertujuan memecahkan masalah-masalah konseli, atau menumbuhkan kekuatan mereka dalam menyikapi hidup.
Dalam praktik konseling, terdapat tiga keterampilan yang wajib dikuasai oleh seorang konselor, yaitu :
1. Keterampilan Antarpribadi, adalah semua keterampilan yang dibutuhkan untuk membangun relasi dengan klien (konseli). Sehingga, klien dapat terlibat dalam proses konseling.
2.    Keterampilan Intervensi, adalah kemampuan konselor melibatkan klien (konseli) dalam pemecahan masalah sesuai dengan cara dan strategi yang diusulkan oleh berbagai aliran konseling.
3.  Keterampilan Integrasi, mengacu kepada kemampuan konselor untuk menerapkan strategi pada situasi khusus, sambil mengingat konteks budaya dan sosial-ekonomi klien (konseli). Konseling tidak dapat dipraktikkan tanpa memperhitungkan konteks budaya dengan sungguh-sungguh.

E.   Konselor Berempati
Empati berbeda dengan simpati. Simpati bisa dikatakan sebagai perasaan peduli terhadap perasaan orang lain, tapi simpati tidak sedalam empati. Dengan simpati, kita belum dikatakan bisa merasakan sesuatu yang dirasakan oleh orang lain. Contoh, ketika terjadi bencana atau musibah, anda bersimpati dengan menyatakan kesedihan. Hal ini akan menjadi empati sesungguhnya ketika kita tidak merayakan peringatan hari tertentu dengan foya-foya karena berhubung terjadi bencana. Sebab, anda benar-benar berusaha memahami perasaan orang lain yang terkena musibah atau bencana. Lebih-lebih lagi jika anda melakukan kerja nyata dengan memberikan bantuan.
Empati bahkan lebih powerfull jika anda pernah mengalami kejadian yang sama, atau minimal orang terdekat dengan anda. Ada dua cara agar anda mampu melakukan dan menghadirkan empati terhadap orang lain, seperti berikut ini :
1.   Melatih Perasaan Empati
a.      Menuliskan Perasaan Positif atau Negatif
Cobalah tuliskan kejadian-kejadian yang anda alami dalam sebuah buku atau catatan, tuliskan dengan sedetail mungkin apa yang anda rasakan. Setelah menulis itu, coba simpan buku tersebut, kemudian baca lagi buku tersebut setelah beberapa lama. Coba anda simpulkan perasaan anda ketika anda menuliskan tentang kejadian dalam buku tersebut pada kondisi anda saat ini.
b.      Mendengarkan Curhat Orang Lain
Cobalah mendengarkan cerita teman, saudara, atau orang lain berkaitan dengan perasaannya atau kondisinya saat itu. Simak cerita mereka dan coba anda simpulkan sendiri tentang perasaan orang tersebut dalam versi anda.
c.       Membayangkan Kejadian pada Diri Sendiri
Bayangkan bahwa diri anda adalah seseorang mengalami suatu musibah baik dalam novel, film, berita, atau cerita. Coba anda simpulkan perasaan yang bagaimana yang dirasakan anda ketika berada dalam posisi tersebut.
2.   Lakukan Tindakan Empati
a.      Berhati-hati dalam Ucapan dan Perbuatan
Setiap anda melakukan sesuatu, selalu jagalah sikap anda terhadap orang lain. Berusaha menjaga perasaan seseorang dapat meningkatkan kepekaan hati dan empati tingkat tinggi yang dapat menggerakkan emosional seseorang.
b.      Mulai dari Diri Sendiri
Selalu menjaga setiap hal yang anda lakukan seolah-olah itu menjaga diri anda sendiri. Menginginkan yang terbaik bagi dalam sebuah hal ibaratkan itu untuk diri anda sendiri, begitu penting dan sangat berarti bagi diri anda.
c.       Memberikan Bantuan
Selalu mulai dengan membantu orang lain, mulailah dari orang terdekat anda atau keluarga anda. Biasakan sikap ringan tangan terhadap kesulitan orang lain dan lakukan yang terbaik seolah-olah itu untuk dirimu sendiri.

Sikap dan perilaku seorang konselor sangat besar pengaruhnya dalam konseling, bisa dikatakan bahwa sikap dan perilaku konselor adalah proses konseling itu sendiri. Semoga amal dan kegiatan yang ada dalam konseling bisa dilakukan dengan sebenar-benarnya dan bermanfaat bagi kemaslahatan umum.
Billahi Fii Sabillil Haq, Fastabiqul Khairat,..
Wassalamuallaikum Warrahmatullahi Wabarakatu...!!!
Baca SelengkapnyaSikap dan Perilaku Konselor Pada Proses Konseling