SAATNYA DAN SELAYAKNYA ANDA MENGETAHUI

Kamis, 22 Agustus 2013

Cinta dalam Perspektif Islam

Ketika Kita berbicara tentang Cinta, banyak sekali penafsiran-penafsiran personal dari yang abstrak hingga yang konkrit, dari yang konvensional hingga ke fenomenal, subyektif atau objektif, dan memang Kita boleh berargumen sesuai kapasitas masing-masing. Cinta merupakan bagian penting dari isi Hati (qalb), karakteristik dari Cinta seseorang diwarnai oleh karakteristik hatinya. Orang yang hatinya baik maka ekspresi Cintanya juga bersifat positif, sebaliknya orang yang kualitas hatinya jelek maka dalam mengekspresikan Cintanya pun bersifat negatif. Hal ini bisa Kita perhatikan pada realita yang ada.


Setiap manusia normal, setiap kali mengerjakan sesuatu perbuatan pasti di balik perbuatan itu ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan-tujuan itu terkadang hanya bersifat biologis, terkadang pemuasan kebutuhan psikologis, atau bisa juga untuk pencapaian nilai-nilai tertentu sesuai keinginan masing-masing. Tingkah laku manusia tidak mudah dipahami tanpa mengetahui apa yang mendorongnya melakukan perbuatan tersebut. Faktor-faktor yang menggerakkan tingkah laku manusia itulah biasa disebut “Motif”. Dalam bahasa Arab, faktor-faktor penggerak tingkah laku itu disebut ad dawafi’an nafsiyyah yang artinya dorongan-dorongan yang bersifat psikologis. Salah satu motif yang paling kuat dalam mendorong nafs (jiwa) manusia adalah Motif Cinta. Pada tingkat tertentu Motif Cinta bisa mendorong orang mampu melakukan pekerjaan yang besar yang positif, juga dapat mendorong orang melakukan perbuatan luar biasa yang sangat destruktif.

Menurut Al-Qur’an, manusia diciptakan Tuhan berpasangan lelaki-perempuan dan kepada mereka dianugerahi perasaan Cinta dan Kasih Sayang, dan sudah menjadi fitrahnya bahwa manusia ingin mencintai dan dicintai. Tercapainya kebutuhan Cinta itu bilamana ketika mengerjakannya dengan benar akan membuat manusia merasa tenteram, tenang dan bahagia, sebaliknya Cinta yang dikerjakan dengan cara yang salah akan mengantarkan pada penderitaan. Al-Qur’an memberikan perumpamaan perasaan Cinta antar laki-laki perempuan dengan istilah mawaddah, rahmah, syaghafa, mail, dan h­ubb-mahabbah.

Cinta memang memiliki dimensi yang sangat luas dan mendalam dimana perbedaan karakteristik itu akan membawa implikasi pada perbedaan tingkah laku. Cinta itu sendiri diungkap dalam bahasa Arab dengan tiga kelompok karakteristik, yaitu; 1) apresiatif (ta’dzim), 2) penuh perhatian (ihtimaman) dan 3) cinta (mahabbah). Ketiga kelompok karakteristik itu terkumpul dalam ungkapan mahabbah, orang yang disebut habib, habibah atau mahbub. Dalam ayat-ayat Al-Qur’an ada beberapa istilah, sebagai berikut :

      1.      Cinta mawaddah, artinya adalah jenis Cinta yang menggebu-gebu, membara, keinginan untuk selalu              berdua-duaan, romantis, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya.
      2.      Cinta rahmah, artinya adalah jenis Cinta yang penuh kasih sayang, lembut, siap berkorban, dan siap             melindungi. Orang yang memiliki jenis Cinta ini, biasanya lebih memperhatikan orang yang dicintainya             daripada dirinya sendiri. Dia sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan        kekasihnya.
     3.      Cinta mail, artinya adalah jenis Cinta yang menyedot perhatian. Begitu menyilaukan sehingga membuat          orang yang terkena Cinta ini akan cenderung melalaikan hal-hal lainnya yang juga berharga.
     4.      Cinta syaghaf, artinya adalah Cinta yang mendalam, alami dan memabukkan. Orang yang terserang Cinta      ini bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang dia lakukan.
      5.   Cinta ra’fah, yaitu rasa kasih sayang yang bersumber dari rasa iba dan kasihan, rasa sayang ini bisa              cenderung membuat orang lain lupa dengan norma-norma kebenaran.
    6.     Cinta shobwah, yaitu Cinta buta yang mendorong perilaku penyimpangan tanpa sanggup mengelak. Orang     yang terkena Cinta ini, sanggup melakukan apa saja demi hasrat dan gejolaknya terluapkan.
    7.      Cinta syauq, adalah pengembaraan hati kepada sang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan                 kobaran Cinta yang apinya berada di dalam hati sang pecinta, hurqat al mahabbah wa il tihab naruha       fi qalb al muhibbi. Cinta ini berarti adalah perasaan rindu yang menggebu-gebu tak terbendung dan             menyesak dada orang yang mencinta.
   8.     Cinta kulfah, yakni perasaan Cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal yang positif meski          sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya untuk mandiri. Cinta seperti ini cenderung menginginkan          orang yang dicintainya bisa melakukan apa yang dia pikirkan/ kehendaki.

Menurut hadist, orang yang sedang jatuh Cinta cenderung selalu mengingat dan menyebut orang yang dicintainya (man ahabba syai’an katsura dzikruhu), kata Rasulullah, orang bisa diperbudak oleh cintanya (man ahabba syai’an fa huwa ‘abduhu). Kata Rasul pula, ciri dari Cinta sejati ada tiga : 1) lebih suka berbicara dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, 2) lebih suka berkumpul dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, dan 3) lebih suka mengikuti kemauan yang dicintai dibanding kemauan orang lain/ diri sendiri. Bagi orang yang telah jatuh Cinta kepada Tuhan, maka ia lebih suka berbicara dengan Tuhan, dengan membaca firman-Nya, lebih suka bercengkerama dengan Tuhan dalam I’tikaf, dan lebih suka mengikuti perintah Tuhan daripada perintah yang lain.

Menurut Imam Gazali, ada empat tingkat kualitas Cinta; 1) Cinta diri, semua hal yang berhubungan dengan Cinta diukur dengan kesenangan diri sendiri, 2) Cinta transaksional, yakni Cinta kepada orang lain sepanjang orang yang dicintainya itu membawa keuntungan bagi dirinya, seperti cintanya pedagang kepada pembeli, 3) Cinta kepada orang baik meski tak memperoleh keuntungan langsung, seperti Cinta orang kepada ulama dan pemimpin, ia sanggup berkorban demi orang baik yang dicintainya, 4) Cinta kepada kebaikan, terlepas dari siapa yang memiliki kebaikan itu, bahkan kebaikan yang ada pada musuhnya. Cinta jenis terakhir inilah yang bisa mengantar manusia ke tingkat Cinta kepada Tuhan. Seperti Rabi’ah al Adawiyah, cintanya kepada Tuhan bahkan sudah tidak memberi ruang di dalam hatinya untuk membenci, bahkan untuk membenci syaitan.

Karena Cinta adalah motif atau faktor penggerak tingkah laku, maka kualitas cintanya akan memengaruhi kualitas perilakunya. Tidak bolehlah kita terlalu fanatik dengan Cinta yang subtansinya belum kita ketahui. Orang Islam diajarkan untuk selalu ikrar minimal lima kali dalam sehari kepada Tuhan, inna sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahirabbil’alamin, sesungguhnya shalatku, ibadahku, bahkan hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Karena Cinta bersifat indah, maka orang yang sedang dimabuk Cinta hatinya selalu berbunga-bunga, wajahnya berseri-seri, memersepsi alam (misalnya bulan, samudra, langit, bentangan alam dsb) sebagai dukungan atas cintanya, oleh karena itu ia mengerjakan pekerjaan dengan riang gembira.

Cinta merupakan fitrah isi hati maka perasaan Cinta tumbuh bersamaan dengan berfungsinya hati sebagai instrumen psikologis, hati (qalb) berfungsi cenderung mengikuti masa pertumbuhan dan usia. Pada masa puber pertama, (15-17 tahun) perasaan Cinta itu selalu muncul dan mencari-cari objek. Anak usia puber yang belum menemukan lawan jenis sebagai obyek cintanya akan didera rasa gelisah secara terus menerus, namun ketika menemukan obyek cintanya bahkan membuat hatinya makin mengelisah. Cinta puber sangat membara tetapi belum bisa dipastikan, oleh karena itu ia juga mudah putus dan mudah berganti. Ia indah, menggoda, tetapi penuh gejolak, jarang sekali cinta puber yang berakhir dengan pernikahan.

Setelah melewati masa puber pertama, sekitar usia 21-25, perasaan Cinta yang muncul sudah merupakan perasaan yang mapan. Ia muncul bisa oleh pandangan pertama, bisa juga karena pergaulan setiap hari.

Cinta Pandangan Pertama
Cinta seperti ini biasanya dipicu oleh bertemunya unsur daya tarik tertentu dan selera tertentu. Daya tarik itu bisa oleh sosok utuh seseorang, bisa juga oleh lirikan maut, bisa oleh senyumannya yang sangat menawan, bisa juga oleh suaranya yang sangat merdu atau perilaku khas dari orang itu yang sangat mengesankan, daya tarik khas mana kemudian bertemu dengan orang yang memiliki selera khas pula. Cinta sulit dianalisa secara ilmiah, karena ini berhubungan dengan perasaan. Sebagaimana sulit menerangkan rasa manisnya gula, demikian juga sulit menguraikan gemuruh Cinta. Bagi orang yang sudah merasakan manisnya gula, meski tidak sanggup menguraikan secara ilmiah, tetapi manisnya gula sudah menjadi “haqqulyaqin” yang tidak tergoyahkan oleh argumen apapun yang mengatakan bahwa gula tidak manis. Demikian pula orang yang telah merasakan manisnya Cinta, ia tidak pernah mau mendengar penilaian orang lain yang menggugat berdasarkan analitik.

Cinta Karena Biasa
Perasaan Cinta juga bisa tumbuh karena berlangsungnya komunikasi yang lama, misalnya Cinta yang tumbuh antara dua orang yang kuliah bersama, atau antara teman sekerja, atau teman seperantauan, teman sependeritaan, dsb. Bisa juga terjadi antara dua orang yang tadinya saling membenci, setelah bergaul lama, terutama pergaulan senasib dan sependeritaan, atau jujur, atau setia atau sebaliknya. Pengenalan dalam kehidupan keseharian dalam waktu yang lama akan mengubah pengenalan kognitif menjadi pengenalan afektif sehingga seseorang sudah dikenali karakternya sebagai orang yang menawan hati maka kesejukan, keceriaan, ketenangan akan terasa dalam kebersamaan. Sebaliknya perasaan kehilangan dan kesepian akan muncul jika berpisah, dan jika masih harus menunggu, rasa rindu mendera hatinya. Proses psikologis itulah yang mengukir hati mereka berdua dalam keindahan perasaan, dan selanjutnya dalam diri masing-masing terbangun imajinasi masa depan yang penuh harapan.

Ilham Cinta
Perasaan Cinta juga bisa tumbuh melalui ilham, yang berarti adalah suatu gagasan yang tiba-tiba tertanam kuat di dalam hati. Ilham seperti ini bisa didahului oleh pertemuan, oleh pengenalan ide melalui bacaan, bisa juga oleh mimpi. Menurut sebuah tafsir Al-Qur’an, dulu zulaikha putri seorang gubernur Yaman akan dinikahkan dengan seorang pangeran, tetapi ia menolak karena ia bermimpi menikah dengan seorang menteri urusan pangan dari kerajaan fir’aun mesir. Singkatnya zulaikha dipertemukan dengan sang menteri, namun zulaikha sangat terkejut ketika ia dipertemukan dengan calon suaminya itu, karena orangnya berbeda dengan yang ia jumpai dalam mimpi. Menteri yang dijumpai dalam mimpinya itu ganteng dan masih muda, sementara menteri yang akan menikahinya itu duda tua. Sang menteri pun menikahi zulaikha, sang menteri syahdan, sudah sekian tahun belum juga dikaruniai putra, dalam perjalanan mereka berdua mendapati seorang anak bernama yusuf yang dijual sebagai budak oleh saudara-saudaranya. Zulaikha usul kepada suaminya agar budak itu dibeli saja. Perjalanan hidup selanjutnya, yusuf tumbuh sebagai remaja cakep dalam asuhan zulakiha. Birahi zulaikha terusik oleh sosok yusuf yang sangat menawan, apalagi suaminya sudah tua. Rayuan zulaikha tidak berhasil, tetapi menurut tafsir itu selanjutnya yusuf dijebloskan ke penjara demi menjaga nama baik martabat ibu menteri. Sekian tahun akhirnya kebenaran terbuka, zulaikha mengakui kesalahannya. Singkat cerita, suami zulaikha pun meninggal, raja mesir melihat yusuf memiliki kecerdasan yang luar biasa, maka dia pun dianggap menjadi menteri menggantikan ayah angkatnya, lanjut cerita, sesungguhnya yusuf juga mencintai zulaikha, maka akhirnya keduanya menikah. Setelah yusuf benar-benar menjadi suaminya, zulaikha berkata, inilah orang yang aku lihat dalam mimpi ku dulu sewaktu masih gadis, jadi Cinta zulaikha sudah diilhamkan sejak yusuf masih anak-anak dab belum dikenalinya.

Cinta yang Mapan

Cinta itu ada yang menghanyutkan, ada yang bergelora, tetapi ada juga Cinta yang mapan dan stabil. Cinta seperti ini lebih menonjolkan rasa simpati dan kasihan dibanding rasa ingin memiliki. Sebab-sebab terjadinya, biasanya karena faktor merasa berhutang budi, simpati atau kagum atas perjuangan seseorang. Cinta yang mapan lebih mengutamakan kepolosan, ikhlas, dan keluguan serta jauh dari kesan konotasi seksual. Cinta seperti ini bisa terjadi pada siapa saja dalam kondisi yang bagaimana, tergantung orang itu mengartikan perasaan yang datang padanya dalam persepsi yang ideal baginya. Proses psikologis yang mengawali Cinta ini adalah nilai-nilai keadilan ketika melihat orang yang kita cintai dicurangi atau disakiti oleh orang lain. Sehingga kita merasa bertanggung jawab dan merasakan ketidakadilan terhadap orang itu adalah karena kita tidak melakukan apa yang harusnya dilakukan walau secara nalar, tidak ada hubungannya dengan tindakan kita.
Baca SelengkapnyaCinta dalam Perspektif Islam

Pendidikan Multibudaya

Dalam era kemajuan informasi dan teknologi, siswa semakin tertekan dan terintimidasi oleh perkembangan dunia akan tetapi belum tentu diimbangi dengan perkembangan karakter dan mental yang mantap. Seorang Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor mempunyai tugas yaitu membantu siswa untuk mengatasi permasalahan dan hambatan dan dalam perkembangan siswa. Setiap siswa sebenarnya mempunyai masalah dan sangat variatif. Permasalahan yang dihadapi siswa dapat bersifat pribadi, sosial, belajar, atau karier. Oleh karena keterbatasan kematangan siswa dalam mengenali dan memahami hambatan dan permasalahan yang dihadapi siswa, maka konselor sebagai pihak yang berkompeten perlu memberikan intervensi. Apabila siswa tidak mendapatkan intervensi, siswa mendapatkan permasalahan yang cukup berat untuk dipecahkan.


Konselor sekolah senantiasa diharapkan untuk mengetahui keadaan dan kondisi siswanya secara mendalam. Untuk mengetahui kondisi dan keadaan siswa banyak metode dan pendekatan yang dapat digunakan, salah satu metode yang dapat digunakan yaitu studi kasus (Case Study). Dalam perkembangannya, oleh karena kompleksitas permasalahan yang dihadapi siswa dan semakin majunya pengembangan teknik-teknik pendukung seperti hanya teknik pengumpulan data,teknik identifikasi masalah, analisis, interpretasi, dan treatment metode studi kasus terus diperbarui. Studi kasus akan mempermudah konselor sekolah untuk membantu memahami kondisi siswa seobyektif mungkin dan sangat mendalam. Membedah permasalahan dan hambatan yang dialami siswa sampai ke akar permasalahan, dan akhirnya konselor dapat menentukan skala prioritas penanganan dan pemecahan masalah bagi siswa tersebut.

PENDAHULUAN               
Bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku dan ras, yang mempunyai budaya, bahasa, nilai, dan agama atau keyakinan berbeda-beda. Bila bangsa ini ingin menjadi kuat dalam era demokrasi, diperlukan sikap saling menerima dan menghargai dari tiap orang yang beraneka ragam itu sehingga dapat saling membantu, bekerja sama membangun negara ini lebih baik. Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di Indonesia telah memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam masyarakat seperti ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal dan pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis memberikan kontribusi terhadap masalah-masalah sosial seperti ketimpangan sosial, konflik antar golongan, antar suku dan sebagainya.

Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara FPI dan kelompok Achmadiyah, dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa, Untuk itu dipandang sangat penting memberikan pendidikan multikultural sebagai wacana baru dalam sistem pendidikan di Indonesia terutama agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan karena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya. Hal ini dapat diimplementasi baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.

TEORI – TEORI TENTANG PENDIDIKAN MULTI BUDAYA
Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat perkembangan teori, riset dan praktek, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multibudaya. Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan lain lain.

Bill Martin Dalam tulisannya yang berjudul Multiculturalism: Consumerist or Transformational?, Bill Martin menulis, bahwa keseluruhan isu tentang multikulturalisme memunculkan pertanyaan tentang "perbedaan" yang nampak sudah dilakukan berbagai teori filsafat atau teori sosial. Sebagai agenda sosial dan politik, jika multikulturalisme lebih dari sekedar tempat bernaung berbagai kelompok yang berbeda, maka harus benar-benar menjadi 'pertemuan' dari berbagai kelompok itu yang tujuannya untuk membawa pengaruh radikal bagi semua umat manusia lewat pembuatan perbedaan yang radikal (Martin, 1998: 128).

PRAKTEK PELAKSANAAN PENDIDIKAN MULTI BUDAYA
Agar pendidikan lebih multikultural, maka kurikulum, model pembelajaran, suasana sekolah, menyeragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada , dan peran guru harus dibuat multicultural serta peran keluarga yang sangat penting untuk pelaksanaan multi budaya. Isi, pendekatan, dan evaluasi kurikulum harus menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif. Isi dan bahan ajar di sekolah perlu dipilih yang sungguh menekankan pengenalan dan penghargaan terhadap budaya dan nilai lain.Pertama Misalnya, dalam semua bidang pelajaran, dimasukkan nilai dan tokoh-tokoh dari budaya lain agar siswa mengerti bahwa dalam tiap budaya, ilmu itu dikembangkan. Contoh-contoh ilmuwan dan hasil teknologi, perlu diambil dari berbagai budaya dan latar belakang termasuk gender. Kesamaan dan perbedaan antarbudaya perlu dijelaskan dan dimengerti. Siswa dibantu untuk kian mengerti nilai budaya lain, menerima dan menghargainya. Misalnya, dalam mengajarkan makanan, pakaian, cara hidup, bukan hanya dijelaskan dari budayanya sendiri, tetapi juga yang lain.

**Kedua Model pembelajaran dalam kelas pun perlu diwarnai multikultural, yaitu dengan menggunakan berbagai pendekatan berbeda-beda. Penyajian bahan, termasuk matematika, dalam memberi contoh, guru perlu memilih yang beraneka nilai. Buku-buku yang ditulis dalam pelajaran pun perlu disusun untuk menghargai budaya lain dan penghargaan gender.

**Ketiga Suasana sekolah amat penting dalam penanaman nilai multibudaya. Sekolah harus dibangun dengan suasana yang menunjang penghargaan budaya lain. Relasi guru, karyawan, siswa yang berbeda budaya diatur dengan baik, ada saling penghargaan. Anak dari kelompok lain tidak ditolak tetapi dihargai.

**Keempat dengan menyeragamkan dan menghilangkan perbedaan yang ada, baik dari segi budaya, agama, nilai, dan lain-lain. Sikap saling menerima, menghargai nilai, budaya, keyakinan yang berbeda tidak otomatis akan berkembang sendiri. Apalagi karena dalam diri seseorang ada kecenderungan untuk mengharapkan orang lain menjadi seperti dirinya.

**Kelima Dengan sikap saling menerima dan menghargai akan cepat berkembang bila dilatihkan dan dididik pada generasi muda dalam sistem pendidikan nasional. Dengan pendidikan, sikap penghargaan terhadap perbedaan yang direncana baik, generasi muda dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan budaya lain bahkan melatihnya dalam hidup sehingga sewaktu mereka dewasa sudah mempunya sikap itu. Di sini pemerintah dan tiap sekolah perlu memikirkan model dan bentuk yang sesuai.

**Keenam lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.

PERAN GURU DAN KELUARGA DALAM PELAKSANAAN MULTI BUDAYA
Peran guru dalam pendidikan multikultur juga amat penting. Guru harus mengatur dan mengorganisir isi, proses, situasi, dan kegiatan sekolah secara multikultur, di mana tiap siswa dari berbagai suku, jender, ras, berkesempatan untuk mengembangkan dirinya dan saling menghargai perbedaan itu.

Guru perlu menekankan diversity dalam pembelajaran, antara lain dengan1) mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain dalam hidup bersama sebagai bangsa; dan 2) mendiskusikan bahwa semua orang dari budaya apa pun ternyata juga menggunakan hasil kerja orang lain dari budaya lain. Dalam pengelompokan siswa di kelas mapun dalam kegiatan di luar kelas guru diharapkan memang melakukan keanekaan itu. Usaha untuk mengembangkan sikap penghargaan ini masih panjang, terlebih karena kadang ada kecurigaan terhadap budaya lain. Semoga kita makin mengusahakannya, meski banyak tantangan. Semoga bangsa ini kian kuat bekerja sama, bukan saling menghancurkan.

Didalam peran keluarga adalah peran yang sangat penting bagi pendidikan multi budaya karena Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai yang lebih responsive multikultural dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya (agama, ras, golongan) terhadap anak atau anggota keluarga yang lain. Serta didalam keluarga, orang tua juga menanamkan dan memberi contoh perilaku agar kita bisa mencintai, menjaga ,memahami dan melestarikan rasa kebudayaan, ras, agama, bahasa yang beraneka ragam yang kita miliki.

PENTINGNYA PENDIDIKAN MULTI BUDAYA
Pada konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.

Pendidikan multikulturalisme/multibudaya sangat bermanfaat untuk membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita, dan juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan multikultural membantu siswa mengerti, menerima, dan menghargai orang dari suku, budaya, dan nilai berbeda. Untuk itu, anak didik perlu diajak melihat nilai budaya lain, sehingga mengerti secara dalam, dan akhirnya dapat menghargainya. Bukan dengan menyembunyikan budaya lain, atau menyeragamkan sebagai budaya nasional, sehingga budaya lokal hilang.
Baca SelengkapnyaPendidikan Multibudaya