SAATNYA DAN SELAYAKNYA ANDA MENGETAHUI

Senin, 22 April 2013

Memaknai Hidayah Sebagai Seorang Muslim


Makna Hidayah Bagi Seorang Muslim

          Pada umumnya, kaum muslim mengaitkan hidayah dengan sesuatu yang tidak terjangkau oleh manusia, atau sesuatu yang langsung datang dari Allah dan bersifat ghaib, sebaliknya, mereka (kaum muslim) menafikkan usahanya sama sekali untuk meraih hidayah Allah.

“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya”. (QS. Al-Kahfi : 17)

          Hidayah berasal dari kata hada-yahdii-hidayatan yang berarti menunjuki, hidayah sendiri berarti petunjuk. Definisi ini penting karena banyak kesalahan pembahasan berawal dari salahnya definisi, termasuk banyaknya kesalahpahaman tentang hidayah. Lebih dalam lagi, petunjuk adalah suatu panduan, kumpulan instruksi yang harus dilaksanakan dalam mencapai suatu tujuan.


Sedikit sekali yang langsung yakin dan merasa jelas ketika disampaikan pada mereka suatu petunjuk. Ketika kita mendapatkan petunjuk, biasanya akan muncul banyak sekali keraguan dan kebimbangan, “apakah saya mampu melakukannya?”, “bagaimana kalau terjadi sesuatu di tengah-tengah perjalanan?”, “bagaimana jika pemberi petunjuk ini berbohong kepada saya?” dan lain sebagainya yang muncul menghantui kita.

Sama seperti kita, hidup kita pun punya tujuan, dan biasanya bila seorang muslim ditanya tentang apa yang diinginkannya pada akhir hidupnya maka dia akan menjawab surga Allah. Surga adalah kepunyaan Allah, dan Dia-lah satu-satunya yang berhak menentukan dan memberikan petunjuk alamatnya kepada kita dan seperti apa cara mencapainya. Pertanyaannya adalah, sudahkah Allah memberitahukan petunjuk alamat masuk surga-Nya kepada anda! “Jelas Sudah”.

Al-Qur’an adalah petunjuk (Al-Huda), yang memuat alamat petunjuk-petunjuk kepada surga-Nya. Al-Qur’an adalah kitab yang berisikan guidance bagi hidup manusia dari awal sampai akhirnya, dari urusan yang aling kecil hingga urusan paling besar, mulai dahulu sampai dengan masa kapan pun. Artinya, ketika seseorang selalu mengikuti petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dalam menjalani kehidupannya maka dia pasti akan menemui surga-Nya, allah menetapkan :

“Dan kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. (QS. An-Nahl : 89).

          Walaupun Al-Qur’an telah diyakini kebenarannya oleh seorang muslim, namun tetap saja sebagian besar yang membacanya tetap akan merasakan kontraindikasi petunjuk seperti ragu, bimbang, pusing, dan sebagainya. Banyak yang akhirnya terjebak menjadikan Al-Qur’an justru sebagai tujuan, bukan sebagai petunjuk. Misalnya, sekelompok kaum muslim seringkali lebih mementingkan dan mengagung-agungkan hafalan Al-Qur’an dan cara membaca serta bagusnya suara pembacaan Al-Qur’an saja, lalu berhenti sampai di sana. Mereka lupa bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk, membacanya adalah Sunnah, sedangkan mengamalkannya adalah kewajiban. Namun, yang sekarang banyak difokuskan justru bukan pada pengamalannya. Maka wajar kalau umumnya kaum muslim tidak pernah mencapai tujuan hidupnya karena petunjuk yang diberikan Allah hanya dijadikan sebagai hafalan dan bacaan tanpa adanya pengamalan.

          Atas dasar ini pula, kita bisa mengatakan bahwa hidayah Allah sebenarnya telah turun ke tengah-tengah manusia, yaitu dalam bentuk Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya saja kita belum secara menyeluruh mengamalkannya, sehingga kita belum merasakan apa itu hidayah dan bagaimana mencapainya.

          Adalah sesuatu yang wajar apabila seseorang merasa ragu dalam menjalani hidayah yang Allah berikan kepadanya, ada ketakutan-ketakutan yang selalu dibisikkan setan dalam diri kita sehingga kita meragukan petunjuk yang telah Allah berikan. Cara yang paling mudah mengatasinya adalah take action! Ambil tindakan! Kemudahan dan taufik Allah akan datang pada orang yang mengambil langkah nyata untuk menjalani hidayah Allah.

          Apabila anda saat ini adalah seorang pegawai dengan pekerjaan yang jelas riba atau haram, atau anda seorang pengusaha yang memakan uang orang lain dengan cara tidak benar. Segeralah anda berhenti, karena anda sejatinya mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, karena Rasullah menjanjikan tidak beruntung orang yang memakan riba. Apabila anda berani mengambil sikap tegas, pastilah Allah akan memberikan kemudahan-kemudahan kepada anda untuk menjalani hidayah Allah karena Allah Swt adalah pemilik segala-galanya. Yakinlah! Namun, kebanyakan dari kita, seolah-olah tidak yakin dengan Allah dan tidak mau mengambil tindakan untuk “menyerahkan” segalanya kepada Allah.

          Action ini pula yang nanti akan memberikan tambahan keyakinan kepada seseorang, seringkali kita mendengar alasan ‘belum siap’ ketika seseorang diminta menjalankan suatu kewajiban dan amanah. Padahal, kesiapan dan keyakinan justru akan muncul ketika kita menjalankan petunjuk atau hidayah yang telah datang kepada diri kita.

          Contoh sederhana, ketika seorang muslimah diminta mengenakan penutup aurat dengan cara mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh dan kerudung ke dadanya. Mereka seringkali menyampaikan alasan belum siap dan belum yakin, mereka belum mau mengambil action (tindakan) dan menunda mengambil action sampai mereka yakin. Memang betul, keyakinan akan memengaruhi perbuatan, namun berlaku juga sebaliknya, perbuatan akan menambah keyakinan. Pada umumnya, muslimah yang awalnya takut menggunakan penutup aurat menjadi semakin yakin dan nyaman ketika telah mengenakannya, ketakutan-ketakutan yang awalnya menggunung menjadi hilang seketika saat mereka mengenakan penutup aurat, Allah memudahkan mereka. Malah, muslimah yang menunda-nunda dengan alasan belum yakin dan belum siap, biasanya tidak akan pernah menutup auratnya. Sekali lagi, itulah bisikkan setan yang selalu menyebabkan manusia bimbang dalam berbuat kebaikan.

Singkatnya, jangan banyak berpikir dalam berbuat baik, namun pikirkanlah baik-baik ketika kita berbuat maksiat kepada Allah. Ada kalanya, ketika kita dihadapkan pada kesempatan untuk berbuat baik, kita selalu berpikir “kena kaya pa lah?” (nanti bagaimana, ya?) namun, dalam perbuatan maksiat malah sering berpikir “kaya pa kena ja lah!” (bagaimana nanti sajalah!). Ketika ingin memberi bantuan kepada saudaranya yang mengalami musibah, kita berpikir ribuan kali, apakah akan dipergunakan dengan baik-lah, masih banyak keperluan lain-lah, takut disalahgunakan-lah, nggak punya duit-lah, dan alasan-alasan lainnya. Namun, ketika seseorang mengeluarkan biaya untuk berfoya-foya dan hura-hura, kita langsung berpikir, “Allah maha baik nanti pasti ada rezeki lain untuk mengganti uang ini”. Seperti itulah kesalahan cara berpikir kita, seharusnya dalam kebaikan kita harus berpikir “kaya pa kena ja lah!” dan dalam maksiat dan foya-foya kita harusnya berpikir “kena kaya pa lah?”. Sebagai seorang mukmin kita wajib memiliki ‘kenekadan’ dalam berbuat kebaikan, dan berpikir ribuan kali dalam setiap keburukkan, lakukan saja dulu kebaikannya, adapun hasilnya, urusan nanti!.

Apabila kita ingin mencapai surga Allah maka sepantasnya kita selalu bertanya dan mengambil informasi dari orang yang telah mengetahui secara jelas perihal surga maka itu bukan ustadz, bukan kyai, bukan siapapun, kecuali hanya Rasulullah Muhammad Saw yang mengetahuinya. Kita bisa mulai menggali informasi melalui sunnah-sunnah Rasul dan mulai mengamalkan dan mengaktualisasikan petunjuk-petunjuk yang tertera. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa hidayah akan datang lebih mudah seandainya kita berada pada tempat yang tepat dan berkumpul dengan orang-orang yang tepat sehingga seseorang tidak dikatakan serius dalam mencari hidayah seandainya dia tidak pernah meninggalkan teman-teman yang mengajaknya kepada kesesatan untuk mencari teman yang dapat mendukungnya dalam kebaikan. Seseorang tidak dikatakan bersungguh-sungguh dalam mencari hidayah seandainya dia tidak meninggalkan tempat yang pasti memaksanya berbuat maksiat untuk mencari tempat yang bisa membuatnya mudah berbuat kebaikan. Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda :

“Seseorang itu menurut agama teman dekat (sahabatnya), maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dengan siapa ia bersahabat.” (HR. Abu Dawud & Tirmidzi)

          Untuk mengkristalisasikan pemahaman tentang hidayah ini, seorang muslim harus memahami bahwa hidayah dalam Al-Qur’an, sedikitnya ada tiga makna :

1.      Hidayah Al-Khalqi

Hidayah yang datang bersama penciptaan manusia, yang dimaksud dalam hidayah ini adalah akal manusia yang memiliki kemampuan untuk berpikir dan memahami sesuatu. Melalui akalnya inilah manusia memiliki kebebasan berkehendak atau kebebasan memilih, bersamaan dengan diberinya hidayah ini, Allah juga memberikan potensi baik dan buruk pada manusia sebagai konsekuensi kebebasan berkehendak atau kebebasan memilih.

2.      Hidayah Al-Irsyad wa Al-Bayan

Hidayah yang diturunkan Allah dengan diturunkannya Al-Qur,an dan diutusnya Rasulullah Saw kepada seluruh manusia. Hal ini berfungsi sebagai guidance atau tuntunan bagi manusia dalam melaksanakan tugasnya di dunia sebagai wakil Allah. Sebutan lain dari Al-Qur’an sendiri adalah Al-Huda atau Al-Furqan, yang artinya petunjuk manusia atau pembeda antara yang benar dan yang salah. Allah Swt telah menetapkan bahwa diturunkan-Nya kitab-kitab Allah dan diutus-Nya para Rasulullah wa Nabiyullah akan menjadi tanda-tanda keberadaan Allah dan kebenaran Islam bagi kaum yang berpikir.

3.      Hidayah At-Taufiq

Hidayah ini berarti persetujuan atau kemudahan yang akan datang dari Allah ketika seseorang menjalankan aktivitas menaati-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ketika seorang hamba melaksanakan ketaatan kepada Allah dengan maksimal maka Allah pun akan memberikan taufiq kepadanya agar dapat menjalankan ketaatan itu dengan lebih mudah. Sebagaimana firman Allah Swt :
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (QS. Al-Qashash : 56).

Taufiq inilah yang seringkali diartikan kaum muslim sebagai ‘hidayah’ ketika mereka meminta kepada Allah Swt. pada saat kita shalat dan membaca surah Al-Fatihah maka pada ayat ke-enam berbunyi “Ihdinaa Ash-Shiraath Al-Mustaqima”, lafadz ‘Ihdinaa’ berarti adalah ‘tunjukkanlah (hantarkanlah) kami’ atau ‘berikan kami taufiq (kemudahan)’.

Akal, Wahyu, dan Taufiq

Allah memberikan Akal pada manusia agar manusia dapat menerima Wahyu, dan bila manusia bersungguh-sungguh dalam memahami Wahyu, maka Allah akan menurunkan Taufiq. Kemampuan akal untuk berpikir ini menjadikan manusia yang sudah baligh (optimal akalnya) terkena taklif untuk mengimani Allah dan Rasul-Nya. Proses keimanan ini menjadi dimungkinkan karena akal mampu mengakses tanda-tanda yang diberikan Allah, baik berupa tanda-tanda yang bersifat aqliyah (diindera akal) atau tanda yang bersifat naqliyah (dirujuk dari Al-Qur’an dan As-Sunnah). Pada saat manusia menggunakan akalnya untuk mengakses wahyu Allah maka diberikanlah kepada manusia itu taufiq dalam menjalankan hidayah dari Allah Swt.

Pada saat akal manusia mengakses wahyu yang telah diturunkan oleh Allah, kemungkinannya bisa menjadi tiga jurusan. Apabila dia menggunakan akalnya dengan maksimal dan benar maka dia akan menjadi seorang muslim yang menjadikan wahyu sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupannya. Apabila dia menolak wahyu yang telah datang kepada dirinya maka dia akan menjadi kafir karena mengingkari bukti-bukti jelas yang ada pada wahyu tersebut, yang seharusnya diterima oleh akalnya. Apabila setelah dia menggunakan akalnya, lalu mengambil wahyu yang telah diturunkan kepadanya dengan memilah dan memilihnya, serta memasukinya dengan setengah hati maka mereka menjadi orang-orang munafiq karena secara zahir mereka tampak sebagai orang yang menerima wahyu, namun batin mereka menolak.

Sesungguhnya di antara ketiga kelompok tadi, yang mendapatkan taufiq hanya yang golongan pertama, yaitu muslim. Dua yang terakhir yaitu kafirin dan munafiqin tidak akan mendapatkan taufiq atas hidayah Allah Swt.

Jadi, taufiq adalah pilihan bagi manusia dan bukan merupakan sesuatu yang diberikan oleh Allah tanpa ada usaha dari manusia. Sesungguhnya, Allah telah memberikan pilihan bebas kepada manusia dan petunjuk-Nya bagi manusia maka bergantung manusia itu sendiri, apakah mau menaati petunjuk Allah setelah akalnya memahami petunjuk itu, atau malah mengingkarinya? Sesungguhnya, Allah tidak akan mendzalimi hamba-hamba-Nya dengan meminta pertanggungjawaban sesuatu yang tidak pernah dipilih oleh hamba-Nya.

Billahi fii sabilil haq, Fastabiqul khairat
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Baca SelengkapnyaMemaknai Hidayah Sebagai Seorang Muslim