SAATNYA DAN SELAYAKNYA ANDA MENGETAHUI

Rabu, 02 Januari 2013

Pengembangan Kreativitas Dalam Pendidikan Islam


     Pemikiran pendidikan Islam sering dibedakan dengan pemikiran pendidikan Barat, namun rumusan konsep pendidikan Islam belum memiliki referensi yang banyak, sehingga sering merujuk pada sumber pemikiran Barat. Secara umum, teori tentang pendidikan yang berasal dari Barat dapat dikelompokkan menjadi empat aliran, yaitu progresivisme, esensialisme, perennialisme, dan rekonstruktivisme.


     Kata kreativitas berasal dari bahasa Inggris, creativity yang berarti daya cipta. Mengenai definisi kreativitas terdapat berbagai macam pendapat, tergantung pada bagaimana dan dari segi mana orang melihatnya. Hal ini disebabkan pertama, sebagai suatu konstruksi hipotesis, kreativitas merupakan ranah psikologis yang kompleks dan multidimensional, yang mengundang berbagai tafsiran beragam. Kedua, berbagai definisi kreativitas memberikan tekanan yang berbeda-beda, tergantung teori yang menjadi acuan pembuat definisi.
     Guilford mengedepankan bahwa terdapat lima sifat yang menjadi ciri kemampuan dalam berpikir kreatif, yaitu kelancaran (fluency) adalah kemampuan untuk menghasilkan banyak gagasan, keluwesan (flexibility) adalah kemampuan untuk mengedepankan bermacam-macam pemecahan atau pendekatan terhadap masalah, keaslian (originality) adalah kemampuan untuk mencetuskan gagasan dengan cara-cara yang asli, penguraian (elaboration) dan perumusan kembali (redefinition) adalah kemampuan untuk meninjau suatu persoalan berdasarkan perspektif yang berbeda dengan apa yang sudah diketahui oleh banyak orang.
     Definisi-definisi kreativitas dapat dibedakan berdasarkan penekanannya, yaitu person, process, product, dan press. Keempat macam ini oleh Rhodes (1961) disebut the four P’s of creativity. Istilah Guilford (1950) menekankan definisinya pada dimensi person. Creativity refers to the abilities that are characteristics of creative people. Sementara Munandar (1977) menekankan definisinya pada dimensi proses, creativity is a proces that manifests itself in fluency, in felxibility as well as in originality of thinking. Baron (1976) menekankan pada segi produk, yaitu the ability to bring something new into existence. Sedangkan Amobile (1983) mengedepankan creativity can be regarded as the quality of products or responses judges to be creative by eppropite observers.
     Dari berbagai definisi tersebut di atas, ada titik kesamaannya, yaitu kreativitas merupakan kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya yang nyata, yang relatif berbeda dengan apa yang ada sebelumnya. Kreativitas merupakan sebuah kemampuan berpikir tingkat tinggi yang mengimplikasikan terjadinya eskalasi dalam kemampuan berpikir yang ditandai oleh suksesi, diskontinuitas, diferensiasi dan integrasi antara setiap tahap perkembangan.
I.       Gambaran Umum Pendidikan Islam
A.        Pengertian, Tujuan dan Isi Pendidikan Islam
          Kata Pendidikan sinonim dengan kata Tarbiyah dalam bahasa Arab. Sedangkan Pendidikan Islam merupakan terjemahan dari Tarbiyah Islamiyah. Pendidikan Islam merupakan proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan mengangkat derajat kemanusiaannya, sesuai dengan fitrah dan kemampuan ajarnya (pengaruh) dari luar.
Tujuan Pendidikan Islam adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengembangkan fitrah dan memberikan kemampuan pada peserta didik agar dapat memimpin hidupnya sesuai dengan cita-cita hidup Islam, semaksimal mungkin.
2.      Untuk mewariskan dan mengembangkan budaya dalam rangka membentuk corak kepribadian muslim sesuai dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam serta kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik umat Islam.
3.      Untuk menyeimbangkan seluruh aspek kehidupan manusia baik spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, keilmiahan, bahasa, baik individu maupun kelompok dan mendorong aspek-aspek itu ke arah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup.
4.      Untuk mengembangkan berpikir bebas dan mandiri agar dapat membentuk Mu’min sejati (insan kamil).

B.        Pendidikan Islam Dalam Perspektif Sejarah
1.      Pendidikan Islam berpangkal pada mulainya Nabi menerima wahyu pertama. Karena wahyu tersebut memerintahkan agar Nabi membaca, kemudian wahyu berikutnya memerintahkan Nabi bangun dari tidur, menyingkap selimutnya dan bangkit memberikan peringatan (pendidikan) kepada kerabatnya. Berikutnya setiap wahyu-wahyu yang turun disampaikan dan diterangkan kepada sahabatnya, yang kemudian terbentuklah pendidikan di rumah al-Arqam bin Abil Arqam.
2.      Pendidikan Islam ketika itu belum secara khusus ditekankan pada kreativitas. Karena tergantung sekali pada wahyu yang turun. Wahyu setelah diterima oleh Nabi disampaikan kepada para sahabatnya. Nabi mengamalkannya, kemudian para sahabat mengikutinya.
3.      Pada masa Daulah Umayah, kemudian diikuti oleh Abbasyiah, pendidikan selain di Masjid juga di Kuttab-Kuttab, kemudian di istana-istana. Pada masa Abbasyiah inilah mulai muncul lembaga-lembaga pendidikan semacam madrasah, dan mulai berkembang berbagai ilmu pengetahuan. Kemudian Baghdad menjadi pusat peradaban dunia menurut sejarah, kejayaan itu diawali dari usaha menerjemahkan berbagai ilmu ke dunia Islam. tidak ketinggalan pula penerjemahan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.

C.        Problem-Problem Dalam Pendidikan Islam
          Problem-problem pendidikan Islam dalam perspektif sejarah dapat diringkas menjadi empat, yaitu :
1.   Pendidikan Islam Krisis Konseptual
Hal ini terutama disebabkan karena adanya dikotomi dalam dunia Islam. Kondisi yang mencemaskan ini berpangkal dari adanya yang biasa dikenal dengan kecelakaan sejarah (historical accident). Ketika itu, ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh ahli ra’yu (rasional) ditentang oleh fuqaha. Ahli ra’yu yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Mu’tazilah mengalami kekalahan kemudian tersingkir.
Alternatif dari krisis ini adalah dengan menghilangkan dikotomi tersebut. Cara untuk menghilangkan dikotomi itu dapat dilakukan dengan Islamisasi ilmu pengetahuan. Bersikap terbuka terhadap ilmu pengetahuan umum dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah disaring Islamisasi.
2.   Pendidikan Islam Krisis Kelembagaan
Krisis ini sebagai akibat dari krisis yang pertama. Lembaga-lembaga pendidikan Islam hanya mengembangkan ilmu-ilmu agama saja, dengan mengabaikan ilmu-ilmu umum. Walau sekarang mulai ada perubahan, namun usaha ini kurang menampakkan hasil yang sebagaimana diharapkan. Karena dikotomi sudah berlangsung terlalu lama, sehingga meskipun ilmu-ilmu umum diajarkan di sana, namun kurang dijiwai oleh visi-visi Islam, sehingga masih tetap nyata dikotomi antara keduanya.
3.   Pendidikan Islam Krisis Orientasi
Fenomena yang ada menunjukkan pendidikan Islam lebih berorientasi ke masa silam daripada ke masa mendatang, tidak futuralistik. Tampaknya peran dari pendidikan Islam masih sangat sulit diprediksikan, selama hal tersebut tidak mengarahkan orientasinya ke masa depan.
Alternatif solusinya adalah pembenahan kurikulum yang ada sekarang. Isi kurikulum di samping norma-norma wahyu, hendaknya disusun berdasarkan kondisi objektif tuntunan dari masyarakat. Artinya isi dari kurikulum adalah hal-hal yang memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
4.   Pendidikan Islam Krisis Metodologi
Dalam kehidupan modern, masalah mencari dan menemukan makna hidup yang ultimate, menjadi sakral, dan menjadi semakin serius dan akut. Indikasi-indikasi ke arah itu dapat disebutkan dua macam yang datangnya dari dua jurusan yang berlawanan yaitu positif dan negatif.
Industrialisasi ditandai dengan penggunaan teknologi terapan, dengan ekspansi produksi secara besar-besaran, dengan menggunakan tenaga mesin, untuk tujuan pasaran yang luas bagi barang-barang produsen maupun konsumen, melalui angkatan kerja yang terspesialisasikan. Kondisi masyarakat yang demikian, hampir dengan dipastikan membawa kepada kemakmuran material. Namun justru karena kemakmuran material itu, dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti dehumanisasi, dan kemerosotan akhlak.

D.       Kreativitas Dalam Pendidikan Islam
          Kenapa perlu kreativitas dalam pendidikan islam? di karenakah pendidikan Islam dimaksudkan untuk mengembangkan fitrah manusia, sebagai subyek didik pendidikan Islam, agar dapat membentuk kepribadian Muslim dengan sendirinya, yang dimaksud kepribadian muslim adalah pribadi yang dijiwai oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.
          Kreativitas semacam apa yang diinginkan? Dimungkinkan agar peserta didik untuk memiliki keberanian, kepercayaan diri, kemampuan untuk memahami wahyu secara langsung dan tidak mempunyai anggapan lagi bahwa pemahaman ulam masa lalu itu merupakan hasil yang sudah final, yang pasti mujarab untuk mendiagnosa permasalahan-permasalahan sekarang dan yang akan datang.
          Tujuan dikembangkan kreativitas dalam metode pendidikan Islam adalah untuk menghasilkan out put yang kreatif. Dengan kata lain, pendidikan islam harus dapat mengembangkan anak didik yang memiliki nilai kreatif. Anak didik yang kreatif mempunyai tiga ciri yang menonjol, yaitu : 1) mempunyai pemikiran asli (originality), 2) mempunyai keluwesan (flexibility), dan 3) menunjukkan kelancaran proses berpikir (fluency).

E.         Pendidikan Islam Dalam Perubahan Sosial
          Tiga aliran yang menonjol adalah aliran organisme positivistik, behaviorisme sosial, dan fungsionalisme sosial. Aliran pertama dan ketiga mempunyai asumsi bahwa perubahan sosial itu bersifat progresif, maju terus secara evolutif, sedangkan aliaran kedua berasumsi bahwa perubahan itu berjalan sirkuler.
          Dalam pendidikan Islam, sejak permulaan sampai seterusnya nanti, selalu ada perubahan yang dinamis. Dahulu pesantren-pesantren mengajarkan ilmu agama dengan cara sorongan dan bandongan, dengan tidak memakai papan tulis, meja dan kursi belajar, namun sekarang sistem sekolah masuk pada pesantren.
          Sehingga perlu diketahui bahwa perubahan yang terjadi pada masyarakat jauh lebih cepat dibandingkan dengan yang terjadi pada pendidikan islam. dan perubahan itu terjadi secara terus-menerus dan berkelanjutan, sesuai dengan dinamisasi masyarakat, oleh karena itu perlu disusun prediksi pengembangan dan dikembangkan kreativitas dalam pendidikan Islam.

II.       Pengembangan Kreativitas Dalam Pendidikan Islam Kontemporer
A.   Berbagai Pengembangan Kreativitas Pendidikan Islam Dalam Menghadapi Perubahan Sosial
          Tujuan pendidikan agama Islam bukan hanya untuk memahami ajaran Islam, namun juga untuk mengamalkan ajaran-ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Islam sebagaimana tersebut di atas memiliki berbagai kelemahan, seperti belum bisa sebagai pengendali moral dan akhlak bangsa, proses belajar-mengajarnya monoton. Sehingga berkonsekuensi Out Put nya pasif, reseptif dan kurang kreatif.
          Pembahasan ini akan dikaitkan dengan pemikiran Paulo Freire, tentang pendidikan kebebasan, dan David C. McClelland, tentang motivasi kerja.
1.      Pendidikan Kebebasan
Pendidikan kebebasan oleh Paulo Freire dikembangkan bersama-sama dengan pendidikan kesadaran. Peserta didik disadarkan akan potensinya, lantas diberi kebebasan dan motivasi untuk berbuat. Di dalamnya dikembangkan prinsip-prinsip :
a)    Kondisi dialogis antara guru dengan murid, dalam proses belajar-mengajar saling mengajar antar keduanya.
b)     Melibatkan seluruh siswa.
c)      Siswa didorong untuk menemukan masalah, lantas dengan problem solving.
Dengan prinsip-prinsip tersebut pendidikan diharapkan dapat menghasilkan out put yang memiliki kreativitas berpikir tinggi.
2.      Perlu Penanaman Teori Need For Achievement
Yaitu keinginan untuk mencapai hasil, yaitu agar dapat mencapai pemahaman wahyu yang sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh umat manusia sekarang dan antisipasi untuk masa yang akan datang. Menurut teori tersebut semakin kuat keinginan, semakin memungkinkan untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Pendidikan Islam tampak sekali lemah motivasi untuk mewujudkan tujuan yang telah dirancangkan. Upaya-upaya yang mengarah pada terealisirnya tujuan masih sangat kurang. Apalagi motivasi untuk mengembangkan ilmu dan ini merupakan ciri utama kelemahan pendidikan Islam. Sesuai dengan kekuatan yang dikaruniakan oleh Ego Mutlak (Tuhan) yakni jiwa kreatif, kemauan dinamis.

B.      Kreativitas Sebagai Alternatif Dasar Pengembangan Pendidikan Islam Kontemporer
          Esensi dari kreativitas adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan maupun karya nyata, yang berbeda dari yang telah ada. Kehidupan Mu’min sejati didasarkan kepada wahyu dan penjelasan terhadap wahyu itu, yang berupa Sunnah, yang dimaksud wahyu dan Sunnah pada konteks tersebut bisa mengacu pada dua pengertian. Pertama, wahyu dan Sunnah dalam pengertian al-Qur’an dan Hadist. Dalam arti, peserta didik memiliki kemampuan untuk memahami dan mengembangkan wahyu itu secara langsung. Kedua, wahyu dan Sunnah sesuai dengan pemahaman ulama tertentu, siswa tidak memahami kedua sumber itu secara langsung.
          Kalau yang dimaksud wahyu dan sunnah dalam pengertian yang pertama, maka pendidikan Islam bertugas memberikan kemampuan pada peserta didiknya agar dapat memahami wahyu secara langsung. Berarti di sini diperlukan berbagai kemampuan, yang dapat memberikan bekal kepada peserta didik untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk mencapai itu, diperlukan berbagai piranti dan metode. Piranti yang mutlak diperlukan adalah penguasaan bahasa Arab, Ulumul Qur’an, Ulumul Hadist, dan Metodologi. Dan metode yang memungkinkan adalah metode dialogis.
          Dalam metode dialogis, guru berkewajiban mengusahakan kondisi dan situasi yang memungkinkan siswa untuk mengadakan dialog. Siswa, secara leluasa, mengadakan dialog secara langsung, baik dengan guru maupun teman-temannya. Metode yang demikian ini, pada gilirannya nanti dapat menumbuhkan kreativitas siswa. Adapun mengenai isi pendidikan Islam yang biasa disebut kurikulum, harus menampilkan sisi yang dapat membentuk peserta didik yang kreatif. Agar kurikulum dapat memenuhi hal ini, maka kurikulum harus dilihat, minimal dari tiga prinsip, yaitu : prinsip filosofis, psikologis dan sosiologis.
Prinsip Filosofis
          Prinsip filosofis memberikan arah dan kompas tujuan pendidikan Islam, sehingga susunan kurikulum mengandung kebenaran, terutama kebenaran di bidang nilai-nilai sebagai pandangan hidup yang diyakini dari suatu kebenaran. Prinsip ini membawa rumusan kurikulum pendidikan Islam pada tiga dimensi, yaitu dimensi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
          Ontologi mengarahkan kurikulum agar lebih banyak memberi anak didik untuk berhubungan langsung dengan fisik objek-objek serta berkaitan dengan pelajaran yang mengarahkan pada benda-benda dan materi-materi kerja. Dimensi Epistemologi mengarahkan perwujudan kurikulum berdasarkan metode konstruktif pengetahuan yang disebut dengan metode ilmiah yang sifatnya mengajar berpikir menyeluruh, reflektif dan kritis. Metode ilmiah ini dilakukan melalui lima tahapan, yaitu kesadaran akan adanya masalah, perumusan msalah, identifikasi semua cara pemecahan masalah, proyeksi di semua konsekuensi yang ajab timbul dan mengkaji konsekuensi tersebut dalam pengalaman.
          Dimensi aksiologi mengarahkan pembentukan kurikulum yang dapat memberikan kepuasan pada anak didik untuk memiliki nilai-nilai yang diperlukan mereka, supaya hidup dengan baik, sekaligus menghindarkan nilai-nilai yang tidak diinginkan. Tegasnya, ketiga dimensi tersebut merupakan kerangka dalam perumusan kurikulum pendidikan Islam yang dapat memenuhi tujuan pendidikan itu sendiri jika pendidikan Islam ditujukan untuk membentuk peserta didik yang kreatif, maka isi kurikulumnya adalah segala sesuatu yang terkait dengan terbentuknya peserta didik yang kreatif.
Prinsip Psikologis
  Prinsip Psikologis berkaitan dengan ciri-ciri perkembangan anak didik, tahap kematangan, bakat-bakat jasmani, intelektual, bahasa, emosi, kebutuhan-kebutuhan, keinginan, minat, kecakapan, perbedaan individu, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, proses belajar, pengamatan terhadap sesuatu, dan lain-lain yang berkaitan dengan psikologi anak didik. Jadi, menurut prinsip ini, kurikulum harus sesuai dengan keadaan perkembangan psikologi peserta didik, dan harus sesuai dengan masa kematangan dari masing-masing masa perkembangan dari peserta didiknya.
Prinsip Sosiologis
   Prinsip Sosiologis memberikan implikasi bahwa kurikulum pendidikan Islam memegang peranan penting terhadap penyampaian dan pengembangan kebudayaan, proses sosialisasi anak didik, dan dalam rekonstruksi masyarakat. Di samping itu juga memberikan bekal kepada anak didik agar siap berkorban demi membela aqidah, dan agar dapat mempunyai kemahiran kerja dalam masyarakat, di mana anak didik tinggal nanti. Tegasnya, prinsip ini menghendaki agar isi kurikulum sesuai dengan kebutuhan atau tuntunan masyarakat pada saat peserta didik mengalami proses pendidikan maupun pada saat berikutnya, ketika peserta didik terjun dalam kehidupan masyarakat.
Masalah-Masalah Kontemporer
    Kontemporer adalah zaman sekarang, yang ditandai oleh globalisasi dan industrialisasi. Industrialisasi merupakan proses perkembangan teknologi dengan menggunakan ilmu pengetahuan terapan, yang ditandai oleh ekspansi produksi secara besar-besaran, yang segalanya serba mesin, dengan pembagian kerja yang serba spesialis. Kreativitas dikembangkan pada pendidikan Islam dalam rangka terutama untuk mengantisipasi berbagai dampak negatif, di samping untuk membentuk insan kamil atau mu’min sejati.
        Pendidikan Islam dikembangkan agar dapat menghasilkan subyek didik yang kreatif, untuk mencapai hasil seperti itu guru harus memberikan kesempatan kepada subyek didiknya untuk leluasa mengembangkan kreasinya. Alat-alat pendidikan baik perangkat keras maupun lunaknya harus mendukung pula. Selanjutnya agar menjadi lebih kreatif, siswa perlu dibantu :
1)  Menciptakan rasa aman, maksudnya guru perlu melindungi siswanya dari rasa terancam, tanpa berpretensi sebagai pembela. Bantuan ini diberikan dengan maksud agar mereka mampu memahami hubungannya dengan orang lain dan implikasi dari gagasan-gagasannya.
2)  Mengakui kelebihan mereka, maksudnya guru sebaiknya berusaha untuk menunjukkan bahwa kelebihan mereka diakui dan dihargai. Pengakuan ini diberikan di dalam berbagai situasi yang memungkinkan mereka menunjukkan kebolehannya (diskusi, seminar, penelitian, kepemimpinan, dam kegiatan-kegiatan yang lain).
3)  Memberikan peluang para siswa untuk dapat mengomunikasikan gagasan-gagasannya. Keadaan yang paling tidak menyenangkan bagi siswa adalah apabila mereka tidak memiliki peluang untuk menyatakan gagasan-gagasannya. Guru hendaknya berusaha menghilangkan hambatan ini. Dengan demikian, mereka merasa ditantang untuk terus berpikir dan berbuat, karena mereka merasa mendapatkan peluang dari lingkungannya.
4)  Memberikan informasi mengenai peluang yang tersedia. Peluang untuk mengembangkan diri bukan hanya di sekolah, melainkan juga di luar sekolah. Minat siswa yang luas menuntut memberikan informasi yang memadai dari guru mengenai peluang-peluang yang tersedia di luar sekolah yang dapat diakses oleh siswa.
          Pendidikan Islam dapat menghasilkan out put yang kreatif atau tidak, sangat ditentukan oleh kurikulum. Untuk itu, agar pendidikan Islam dapat menghasilkan out put yang kreatif, kurikulum perlu dicermati dari segi pendekatan teori, teknologi, isi, metode dan proses belajar mengajar.
Baca SelengkapnyaPengembangan Kreativitas Dalam Pendidikan Islam