SAATNYA DAN SELAYAKNYA ANDA MENGETAHUI

Selasa, 09 Oktober 2012

Perkembangan Konsep Diri Pada Peserta Didik

Karakteristik Perkembangan Konsep Diri Peserta Didik


            Konsep diri bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir, ketika kita lahir, kita tidak memiliki konsep diri, tidak memiliki pengetahuan tentang diri, dan tidak memiliki pengharapan apa pun terhadap diri kita sendiri. Konsep diri terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung sejak masa pertumbuhan hingga dewasa.

Karakteristik Konsep Diri Anak Usia Sekolah
            Seiring dengan pertumbuhan dan perubahan fisik, kognitif, dan kemampuan sosial, anak usia sekolah dasar juga mengalami perubahan pandangan terhadap dirinya sendiri. Pada awal-awal sekolah dasar, terjadi penurunan dalam konsep diri anak-anak. Sekolah dasar banyak memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk membandingkan dirinya dengan teman-temannya, sehingga penilaian dirinya secara gradual menjadi lebih realistis. Menurut Santrock (1995), perubahan-perubahan dalam konsep diri anak selama tahun-tahun sekolah dasar dapat dilihat sekurang-kurangnya dari tiga karakteristik konsep diri, yaitu (1) karakteristik internal, (2) karakteristik aspek-aspek sosial, dan (3) karakteristik perbandingan sosial.
            Karakteristik Internal. Anak usia sekolah dasar lebih memahami dirinya melalui karakteristik internal daripada melalui karakteristik eksternal. Penelitian F. Abound dan S. Skeryy (1983), menemukan bahwasanya anak-anak kelas dua jauh lebih cenderung menyebutkan karakteristik psikologis (seperti preferensi atau sifat-sifat kepribadian) dalam pendefinisian diri mereka dan kurang cenderung menyebutkan karakteristik fisik (seperti warna mata atau pemilikan).
            Karakteristik Aspek-aspek Sosial.  Selama tahun-tahun sekolah dasar, aspek-aspek sosial dari pemahaman diri anak-anak juga meningkat. Dalam suatu investigasi, anak-anak sekolah dasar sering kali menjadikan kelompok-kelompok sosial sebagai acuan dalam deskripsi diri mereka (Livesly & Bromley, 1983).
            Karakteristik Perbandingan Sosial. Pemahaman diri anak-anak usia sekolah dasar juga mengacu pada perbandingan sosial (social comparison). Pada tahap ini, anak-anak cenderung membedakan diri mereka dari orang lain secara komparatif daripada secara absolut. Pergeseran perkembangan ini menyebabkan suatu kecenderungan yang meningkat untuk membentuk perbedaan-perbedaan seseorang dari orang lain sebagai seorang individu.
      Sejumlah ahli psikologi perkembangan percaya bahwa dalam perkembangan pemahaman diri, pengambilan perspektif (perspective taking, kemampuan untuk mengambil perspektif orang lain dan memahami pemikiran dan perasaan-perasaannya) memainkan peranan penting. Menurut sejumlah ahli, anak-anak usia 6 tahun mampu memahami perspektif orang lain, namun belum bisa diasosiasikan dengan masing-masing tingkat, sebab kemampuan anak dalam pengambilan peran mungkin berfluktuasi dari suatu waktu ke waktu lain (Macoby, 1980). Beberapa anak dapat memahami perspektif orang lain pada suatu peristiwa, tetapi mungkin gagal mempertahankan perspektif tersebut dalam jangka waktu yang lama.

Karakteristik Konsep Diri Remaja (SMP-SMA)
            Ketika anak-anak memasuki masa remaja, konsep diri mereka akan mengalami perkembangan yang sangat kompleks dan melibatkan sejumlah aspek dalam diri mereka. Santrock (1998) menyebutkan sejumlah karakteristik penting perkembangan konsep diri pada masa remaja, yaitu :
            Abstract and Idealistic. Pada masa remaja, anak-anak lebih mungkin membuat gambaran tentang diri mereka dengan kata-kata yang abstrak dan idealistis. Contoh pernyataan remaja usia 14 tahun mengenai dirinya : “ saya seorang manusia, saya tidak dapat memutuskan sesuatu, saya tidak tahu siapa diri saya, saya orang yang sensitif, saya rasa, saya cukup cantik “. Meskipun tidak semuanya, namun sebagian besar remaja membedakan antara diri mereka yang sebenarnya dengan diri yang diidamkannya.
            Differentiated. Dibandingkan dengan anak-anak yang lebih muda, remaja lebih mungkin untuk menggambarkan dirinya sesuai dengan konteks atau situasi yang semakin berdiferensiasi. Dibandingkan dengan anak-anak, remaja lebih mungkin memahami bahwa dirinya memiliki diri-diri yang berbeda-beda (differentiated selves), sesuai dengan peran atau konteks tertentu.
             Contradictions Within the Self. Setelah remaja mendiferensiasikan dirinya ke dalam sejumlah peran dan dalam konteks yang berbeda-beda, maka muncullah kontradiksi antara diri-diri yang berdiferensiasi ini. Susan Harter (1986), dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat sejumlah istilah yang kontradiktif yang digunakan remaja dalam mendeskripsikan dirinya (seperti; jelek dan menarik, mudah bosan dan ingin tahu, peduli dan tak peduli, tertutup dan suka bersenang-senang) meningkat pada remaja kelas tujuh dan kelas sembilan.
            The Fluctiating Self. Sifat yang kontradiktif dalam diri remaja pada gilirannya akan memunculkan fluktuasi diri dalam berbagai situasi dan lintas waktu. Diri remaja akan terus memiliki ciri ketidakstabilan hingga masa di mana remaja berhasil membentuk teori mengenai dirinya yang lebih utuh, dan biasanya tidak terjadi hingga masa remaja akhir, bahkan hingga masa dewasa awal.
            Real and Ideal, True and False Selves. Kemampuan untuk menyadari adanya perbedaan antara diri yang nyata (real self) dengan diri yang dianggap ideal (ideal self) menunjukkan adanya peningkatan kemampuan kognitif remaja. Penelitian yang dilakukan Strachen dan Jones (1982) menunjukkan bahwa pada pertengahan masa remaja diskrepansi yang lebih besar antara diri yang nyata dengan diri ideal dibandingkan dengan pada awal dan akhir masa remaja. Remaja cenderung menunjukkan diri yang palsu ketika berada di lingkungan teman-teman sekelasnya, namun ketika berada bersama sahabat atau teman baiknya, kecil kemungkinan remaja menunjukkan dirinya yang palsu.
            Social Comparison. Sejumlah ahli perkembangan percaya bahwa dibandingkan dengan anak-anak, remaja lebih sering menggunakan social comparison (perbandingan sosial) untuk mengevaluasi diri mereka sendiri. Menurut remaja, terungkapnya motif perbandingan sosial mereka akan membahayakan popularitas mereka. Demikian juga, informasi perbandingan sosial di masa remaja dapat menimbulkan kebingungan karena banyaknya kelompok referensi.
            Self-Concscious. Karakteristik lain dari konsep diri remaja adalah bahwa remaja lebih sadar akan dirinya (self-conscious) dibandingkan dengan anak-anak dan lebih memikirkan tentang pemahaman diri mereka. Remaja menjadi lebih introspektif, yang mana hal ini merupakan bagian dari kesadaran diri mereka dan bagian dari eksplorasi diri. Remaja kadang-kadang meminta dukungan dan penjelasan dari teman-teman sebayanya, memperoleh opini teman-temannya mengenai definisi diri yang baru muncul.
            Self-Protective. Mekanisme untuk mempertahankan diri (self-protective) adalah salah satu aspek dari konsep diri remaja. Dalam upaya melindungi dirinya, remaja cenderung menolak adanya karakteristik negatif dalam dirinya. Gambaran diri yang positif seperti menarik, suka bersenang-senang, sensitif, penuh kasih sayang, dan ingin tahu, lebih sering disebutkan sebagai bagian inti dari diri remaja yang penting. Remaja memiliki kecenderungan untuk menutupi keadaan yang dianggapnya tidak penting karena remaja cenderung menggambarkan diri mereka dengan cara yang idealistis.
            Unconscious. Konsep diri remaja pada masa remaja akhir, melibatkan adanya pengenalan bahwa komponen yang tidak disadari (unconscious) termasuk dalam dirinya, sama seperti komponen yang disadari (conscious). Remaja yang lebih tua akan lebih yakin dengan adanya aspek-aspek tertentu dari pengalaman mental diri mereka yang berada di luar kesadaran atau kontrol mereka dibandingkan dengan remaja yang lebih muda.
            Self-Integration. Pada masa remaja akhir, konsep diri menjadi lebih berintegrasi, di mana bagian yang berbeda-beda dari diri secara sistematik menjadi satu kesatuan. Remaja yang lebih tua, lebih mampu mendeteksi adanya ketidakkonsistenan dalam gambaran diri mereka pada masa sebelumnya ketika ia berusaha untuk mengonstruksikan teori mengenai diri secara umum. Ketika remaja menghadapi tekanan untuk membagi-bagi diri menjadi sejumlah peran, muncullah pemikiran formal operasional yang mendorong proses integrasi dan perkembangan dari suatu teori diri yang konsisten dan koheren.
            McDevitt dan Ormrod (2002) mencatat dua fenomena yang menonjol dalam perkembangan konsep diri pada masa remaja awal (10-14 tahun). Pertama, kebanyakan anak-anak remaja awal percaya bahwa dalam situasi sosial, dirinya menjadi pusat perhatian dari orang lain. Aspek egosentris (self-centered) dari konsep diri remaja ini disebut dengan istilah imaginary audience. Anak gadis SMP misalnya, ketika berjalan memasuki kelas, dia berpikir bahwa semua mata tertuju pada penampilannya. Karena mereka percaya bahwa dirinya menjadi pusat perhatian, maka remaja gadis cenderung memerhatikan penampilan mereka dan sangat kritis terhadap dirinya sendiri, serta juga beranggapan bahwa orang lain suka memerhatikan dan mengkritik dirinya.
            Kedua, fenomena lainnya dalam perkembangan konsep diri remaja awal adalah personal fable, yaitu perasaan akan adanya keunikan pribadi yang dimilikinya. Remaja awal sering percaya bahwa dirinya berbeda dengan orang lain. Mereka sering berpikir bahwa orang-orang di sekitar mereka tidak pernah merasakan apa yang ia alami.

Implikasi Perkembangan Konsep Diri Peserta Didik Terhadap Pendidikan

            Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa konsep diri merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan psikososial peserta didik. Konsep diri memengaruhi perilaku peserta didik dan akan mempunyai hubungan yang sangat menentukan proses pendidikan dan prestasi belajar peserta didik. Berikut ini adalah beberapa strategi yang mungkin dapat dilakukan guru dalam mengembangkan dan meningkatkan konsep diri peserta didik.

1.    Membuat siswa merasa mendapat dukungan dari guru. Dukungan dari guru dapat ditunjukkan dalam bentuk dukungan emosional (emotional support), seperti ungkapan empati, kepedulian, perhatian, dan umpan balik, dan dapat pula berupa dukungan penghargaan (esteem support), seperti melalui ungkapan hormat (penghargaan) positif terhadap siswa, dorongan untuk maju atau persetujuan dengan gagasan dan perbandingan positif antara satu siswa dengan siswa lainnya.
2.      Membuat siswa merasa bertanggung jawab. Memberi kesempatan kepada siswa untuk membuat keputusan sendiri atas perilakunya dapat diartikan sebagai upaya guru untuk memberi tanggung jawab kepada siswa. Tanggung jawab ini akan mengarahkan sikap positif siswa terhadap diri sendiri, hal ini juga menunjukkan adanya penghargaan guru terhadap perilaku siswa, sehingga siswa merasa dirinya mempunyai peranan dan diikutsertakan dalam kegiatan pendidikan.
3.   Membuat siswa merasa mampu. Guru harus berpandangan bahwa semua siswa pada dasarnya memiliki kemampuan, hanya saja mungkin belum dikembangkan. Dengan sikap dan pandangan positif terhadap kemampuan siswa ini, maka siswa juga akan berpandangan positif terhadap kemampuan dirinya.
4.      Mengarahkan siswa untuk mencapai tujuan yang realistis. Dalam upaya guru agar meningkatkan konsep diri siswa harus membentuk siswa untuk menetapkan tujuan yang hendak dicapai serealistis mungkin, yakni tujuan yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki siswa tersebut. Penetapan tujuan yang realistis ini dapat dilakukan dengan mengacu pada pencapaian prestasi di masa lampau, sehingga siswa akan terbantu untuk bersikap positif terhadap kemampuan dirinya sendiri.
5.     Membantu siswa menilai diri mereka secara realistis. Guru perlu membantu siswa menilai prestasi mereka secara realistis, karena cenderung siswa yang pada saat mengalami kegagalan akan menilai dirinya secara negatif, dengan memandang dirinya sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan. Salah satu cara membantu siswa menilai diri mereka secara realistis adalah dengan membandingkan prestasi siswa pada masa lampau dan prestasi siswa saat ini agar dapat membangkitkan motivasi, minat, dan sikap siswa terhadap seluruh tugas di sekolah.
6.   Mendorong siswa agar bangga dengan dirinya secara realistis. Guru semestinya membantu dalam mengembangkan konsep diri siswa agar bangga dengan prestasi yang telah dicapainya. Ini penting, karena perasaan bangga atas prestasi yang dicapai merupakan salah satu kunci untuk menjadi individu yang lebih positif dalam memandang kemampuan yang dimiliki.
Baca SelengkapnyaPerkembangan Konsep Diri Pada Peserta Didik

Minggu, 07 Oktober 2012

Perkembangan Konsep Diri


Konsep diri merupakan salah satu aspek perkembangan psikososial peserta didik yang penting dipahami oleh seorang guru. Hal ini karena konsep diri merupakan salah satu variabel yang menentukan dalam proses pendidikan. Banyak bukti yang menguatkan bahwa rendahnya prestasi dan motivasi belajar siswa serta terjadinya penyimpangan-penyimpangan perilaku di kelas banyak disebabkan oleh persepsi dan sikap negatif siswa terhadap diri sendiri.


Pengertian Konsep Diri
            Sebagai sebuah konstruksi psikologi, konsep diri didefinisikan secara berbeda oleh para ahli. Seifert dan Hoffnung (1994), mendefinisikan konsep diri sebagai suatu pemahaman mengenai diri atau ide tentang diri sendiri. Santrock (1996) menggunakan istilah konsep diri mengacu pada evaluasi bidang tertentu dari diri sendiri. Atwater (1987) menyebutkan bahwa konsep diri adalah keseluruhan gambaran diri, yang meliputi persepsi seseorang tentang diri, perasaan, keyakinan, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan dirinya. Atwater juga mengidentifikasi konsep diri atas tiga bentuk. Pertama, body image, kesadaran tentang tubuhnya, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri. Kedua, ideal self, yaitu bagaimana cita-cita dan harapan-harapan seseorang mengenai dirinya. Ketiga, social self, yaitu bagaimana orang lain melihat dirinya.
            Menurut Burns (1982), konsep diri adalah hubungan antara sikap dan keyakinan tentang diri kita sendiri. Pemily (dalam Atwater; 1984), mendefinisikan konsep diri sebagai sistem yang dinamis dan kompleks dari keyakinan yang dimiliki seseorang tentang dirinya, termasuk sikap, perasaan, persepsi, nilai-nilai, dan tingkah laku yang unik dari individu tersebut. Cawagas (1983) menjelaskan bahwa konsep diri mencakup seluruh pandangan individu akan dimensi fisiknya, karakteristik pribadinya, motivasinya, kelemahannya, kelebihannya, kegagalannya, dan lainnya. Konsep diri terdiri atas bagaimana cara kita melihat diri sendiri sebagai pribadi, bagaimana kita merasa tentang diri sendiri, dan bagaimana kita menginginkan diri sendiri menjadi manusia sebagaimana yang kita harapkan.
            Konsep diri dapat digambarkan sebagai sistem operasi yang menjalankan komputer mental yang memengaruhi kemampuan berpikir seseorang. Semakin baik atau positif konsep diri seseorang maka akan semakin mudah ia mencapai keberhasilan. Karena dengan konsep diri yang baik, seseorang akan bersikap optimis, berani mencoba hal-hal baru, berani sukses dan berani pula gagal, penuh percaya diri, antusias, merasa diri berharga, berani menetapkan tujuan hidup, serta bersikap dan berpikir secara positif.
Konsep Diri dan Harga Diri
            Dalam kajian psikologi perkembangan, sering dijumpai istilah “ harga diri “ (self-esteem) di samping istilah “ konsep diri “ (self-concept). Sejumlah ahli mengatakan bahwa kedua istilah tersebut tidak sama, meskipun mempunyai hubungan. Menurut Santrock (1998), self-esteem adalah dimensi penilaian yang menyeluruh dari diri. Self-esteem juga sering disebut dengan self-worth atau self-image. Sedangkan, self-concept adalah penilaian terhadap domain yang spesifik.
            Jadi, harga diri adalah evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara positif atau negatif. Evaluasi individu tersebut terlihat dari penghargaan yang ia berikan terhadap eksistensi dirinya. Individu yang memiliki harga diri positif akan menerima dan menghargai dirinya sendiri sebagaimana adanya serta tidak cepat-cepat menyalahkan diri sendiri atas kekurangan atau ketidaksempurnaan dirinya, selalu merasa puas dan bangga dengan hasil karyanya sendiri dan selalu percaya diri dalam menghadapi berbagai tantangan.

Dimensi Konsep Diri
            Secara umum para ahli menyebutkan ada tiga dimensi konsep diri. Calhoun dan Acocella (1990) menyebutkan dimensi konsep diri, yaitu ; dimensi pengetahuan, dimensi pengharapan, dimensi penilaian. Paul J. Centi (1993) menyebutkan ketiga dimensi konsep diri dengan istilah ; dimensi gambaran diri (self-image), dimensi penilaian diri (self-evaluation), dan dimensi cita-cita diri (self-ideal). Sebagian ahli lain menyebutkan dengan istilah ; citra diri, harga diri, diri ideal.
            Pengetahuan. Dimensi pertama dari konsep diri adalah apa yang kita ketahui tentang diri sendiri atau penjelasan diri yang akan memberikan gambaran tentang diri. Gambaran diri nantinya akan membentuk citra diri, gambaran diri merupakan simpulan dari ; pandangan kita dalam berbagai peran yang kita pegang, pandangan kita tentang watak kepribadian yang kita rasakan ada pada diri kita, pandangan kita tentang sikap yang ada pada diri kita, kemampuan yang dimiliki, kecakapan yang dikuasai, dan karakteristik lainnya yang melekat pada diri kita. Singkatnya, dimensi pengetahuan (kognitif) dari konsep diri mencakup segala sesuatu yang kita pikirkan tentang diri kita sebagai pribadi, seperti “ saya pintar”, “ saya cantik”, “ saya anak baik”, dan seterusnya.
            Persepsi kita tentang diri sering kali tidak sama dengan kenyataan adanya diri yang sebenarnya. Penglihatan tentang diri hanyalah merupakan rumusan, definisi atau subjektif pribadi kita terhadap diri sendiri, penglihatan tersebut dapat sesuai atau tidak sesuai dengan kenyataan diri kita yang sesungguhnya. Kecenderungan individu apabila di hadapan orang lain atau masyarakat sering kali berusaha menyembunyikan segi-segi tertentu dari diri kita untuk menciptakan kesan yang lebih baik. Akibatnya, di mata orang lain kita kerap tidak tampak sebagaimana kita melihat diri sendiri (Centi, 1993). Gambaran yang kita berikan tentang diri sendiri juga tidak bersifat permanen, terutama gambaran yang menyangkut kualitas diri kita dengan membandingkan dengan kualitas diri dalam suatu kelompok tertentu. Misalnya “ aku pintar” dalam cakupan tertentu, dalam cakupan yang lebih luas gambaran diri bisa berubah karena perbedaan kualitas diri orang lain.
            Harapan. Dimensi kedua dari konsep diri adalah dimensi harapan atau diri yang dicita-citakan di masa depan. Ketika kita mempunyai sejumlah pandangan tentang siapa kita sebenarnya, pada saat yang sama kita juga mempunyai sejumlah pandangan lain tentang kemungkinan menjadi “ apa” diri kita di masa mendatang. Pengharapan ini merupakan diri-ideal (self-ideal) atau diri yang dicita-citakan. Cita-cita diri (self-ideal) terdiri atas dambaan, aspirasi, harapan, keinginan bagi diri kita, atau menjadi manusia seperti apa yang kita inginkan.
            Harapan atau cita-cita diri anda akan membangkitkan kekuatan yang mendorong anda menuju masa depan dan akan memandu aktivitas anda dalam perjalanan hidup anda. Apapun standar diri ideal yang anda tetapkan, sadar atau tidak anda senantiasa berusaha untuk dapat memenuhinya. Oleh sebab itu, dalam menetapkan standar diri ideal haruslah lebih realistis, sesuai dengan potensi atau kemampuan diri yang dimiliki, tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu rendah.
            Penilaian. Dimensi ketiga konsep diri adalah penilaian kita terhadap diri kita sendiri. Penilaian diri sendiri merupakan pandangan kita tentang harga atau kewajaran kita sebagai pribadi. Menurut Calhoun dan Acocella (1990), setiap hari kita berperan sebagai penilai tentang diri kita sendiri, menilai apakah kita bertentangan ; 1) pengharapan bagi diri kita sendiri (saya dapat menjadi apa), 2) standar yang kita tetapkan bagi diri kita sendiri (saya seharusnya menjadi apa). Singkatnya, dapat dipahami bahwa penilaian akan membentuk penerimaan terhadap diri (self-acceptance), serta harga diri (self-esteem) seseorang.
            Menurut Centi (1993), meski kita dapat memandang diri sebagai amat berharga atau sama sekali tak berharga, biasanya kita senang dengan beberapa ciri atau sikap yang kita miliki, dan tidak senang dengan beberapa ciri dan sikap yang lain. Cara melihat diri kita sebagai memiliki ciri-ciri positif dan negatif tersebut merupakan titik awal untuk menilai diri kita apa adanya, secara realistis.
            Ketiga dimensi konsep diri sebagaimana diuraikan di atas bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain. Konsep diri kita memang tidak pernah tersusun secara jelas dan stabil. Pemahaman diri selalu berubah-ubah, mengikuti perubahan pengalaman yang terjadi hampir setiap hari.

Konsep Diri dan Perilaku
            Konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan tingkah laku seseorang. Bagaimana seseorang memandang dirinya akan tercermin dari keseluruhan perilakunya. Artinya, perilaku individu akan selaras dengan cara individu memandang dirinya sendiri. Menurut Felker (1974), terdapat tiga peranan penting konsep diri dalam menentukan perilaku seseorang, yaitu :
            Pertama, self-concept as maintainer of inner consistency. Konsep diri memainkan peranan dalam mempertahankan keselarasan batin seseorang. Bila individu memiliki ide, perasaan, persepsi atau pikiran yang tidak seimbang atau saling bertentangan, maka akan terjadi situasi psikologis yang tidak menyenangkan. Untuk dapat menghilangkan ketidakselarasan tersebut, individu akan mengubah perilaku atau memilih suatu sistem untuk mempertahankan kesesuaian antara individu dengan lingkungannya. Individu berusaha mengubah dirinya seperti apa yang diungkapkan lingkungan sebagai cara untuk menjelaskan kesesuaian dirinya dengan lingkungannya.
            Kedua, self-concept as an interpretation of experience. Konsep diri menentukan bagaimana individu memberikan penafsiran atas pengalamannya. Seluruh kejadian dan pandangan individu terhadap dirinya sangat memengaruhi individu tersebut dalam menafsirkan pengalamannya. Penafsiran positif terhadap pengalaman hidup disebabkan oleh pandangan dan sikap positif terhadap dirinya.
            Ketiga, self-concept as set of expectations. Konsep diri juga berperan sebagai penentu pengharapan individu. McCandless, sebagaimana dikutip Felker (1974) menyebutkan bahwa konsep diri terdapat dalam seperangkat harapan-harapan dan evaluasi terhadap perilaku yang merujuk pada harapan-harapan tersebut. Apa yang anda ucapkan tentang diri anda mengenai hal yang akan anda lakukan, itulah cerminan harapan-harapan anda, dan harapan-harapan itu akan menjadi pandangan anda dalam berperilaku.

Konsep Diri dan Prestasi Belajar
            Sejumlah ahli psikologi dan pendidikan berkeyakinan bahwa konsep diri dan prestasi belajar mempunyai hubungan yang erat. Nylor (1972), mengemukakan bahwa banyak penelitian yang membuktikan hubungan positif yang kuat antara konsep diri dengan prestasi belajar di sekolah. Peserta didik yang memiliki konsep diri positif, memperlihatkan prestasi yang baik di sekolah, menunjukkan hubungan antarpribadi yang positif, dapat menentukan target belajar yang realistis, serta memiliki kemandirian dalam belajar, sehingga tidak bergantung kepada guru semata.
            Siswa yang berprestasi tinggi cenderung memiliki konsep diri yang berbeda dengan siswa yang berprestasi rendah. Siswa yang berprestasi rendah akan memandang diri mereka sebagai orang yang tidak mempunyai kemampuan dan kurang dapat melakukan penyesuaian diri yang kuat dengan siswa lain. Siswa yang memandang dirinya negatif, akan menganggap keberhasilan yang dicapai karena faktor keberuntungan saja. Lain halnya dengan siswa yang memandang dirinya positif, akan menganggap keberhasilan sebagai hasil kerja keras dan karena faktor kemampuannya.
Baca SelengkapnyaPerkembangan Konsep Diri