SAATNYA DAN SELAYAKNYA ANDA MENGETAHUI

Jumat, 02 Agustus 2013

Teori Belajar Konstruktivisme

A. Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme

Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.


Salah satu prinsip psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak begitu saja memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa yang harus aktif membangun pengetahuan dalam pikiran mereka. Tokoh yang berperan pada teori ini adalah Jean Piaget dan Vygotsky. Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti :

  1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
  2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
  3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
  4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
  5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
  6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.


Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian dari teori kognitif juga.

Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skema yang dimilikinya. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan tersebut (Suparno, 1996: 7).

Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Belajar merupakan proses untuk membangun penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).

Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak. Pada teori ini konsekuensinya dalah siswa harus memiliki ketrampilan unutk menyesuaikan diri atau adaptasi secara tepat. Menurut C. Asri Budiningsih menjelaskan bahwa ada dua macam proses adaptasi yaitu adaptasi bersifat autoplastis, yaitu proses penyesuaian diri dengan cara mengubah diri sesuai suasana lingkungan, lalu adaptasi yang bersifat aloplastis yaitu adaptasi dengan mengubah situasi lingkungan sesuai dengan keinginan diri sendiri.

Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skema sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

B. Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu dan pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.

Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.

Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.

Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari pada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Selain itu Slavin menyebutkan strategi-strategi belajar pada teori kontruktivisme adalah top-down processing( siswa belajar dimulai dengan masalah yang kompleks untuk dipecahkan, kemudian menemukan ketrampilan yang dibutuhkan, cooperative learning(strategi yang digunakan untuk proses belajar, agar siswa lebih mudah dalam menghadapi problem yang dihadapi dan generative learning(strategi yang menekankan pada integrasi yang aktif antara materi atau pengetahuan yang baru diperoleh dengan skemata.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivis

Berdasarkan hasil analisis Akhmad Sudrajat terhadap sejumlah kriteria dan pendapat sejumlah ahli, Widodo, (2004) menyimpulkan tentang lima unsur penting dalam lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu :

1. Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.

2. Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna
Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari kehidupan sehari-hari, dan juga penerapan konsep.

3. Adanya lingkungan sosial yang kondusif,
Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.

4. Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur kegiatan belajarnya.

5. Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.
Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.

Pembelajaran konstruktivisme merupakan pembelajaran yang cukup baik dimana siswa dalam pembelajaran terjun langsung tidak hanya menerima pelajaran yang pasti seperti pembelajaran bihavioristik. Misalnya saja pada pelajaran pkn, tentang tolong menolong dan siswa di tugaskan untuk terjun langsung dan terlibat mengamati suatu lingkungan bagaimana sikap tolong menolong terbangun. Dan setelah itu guru memberi pengarahan yang lebih lanjut. Siswa lebih mamahami makna ketimbang konsep.

C.  Kesimpulan
Jadi teori kontruktivisme adalah sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian dari teori kognitif juga. Piaget menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Baca SelengkapnyaTeori Belajar Konstruktivisme

Menemukan Kebahagiaan Hidup Di Dunia

KEBAHAGIAAN DALAM HIDUP DI DUNIA

Setiap manusia yang hidup di dunia, selalu menginginkan kebahagiaan. Setiap orang memiliki jenis kebahagiaan yang berbeda-beda, ada yang kebahagiaannya diukur dari berapa banyak hartanya, seberapa tinggi jabatan pekerjaannya, atau lain sebagainya dan Anda pun pasti memiliki indikator-indikator tersendiri dalam mengategorikan kehidupan yang bahagia. Jadi, apa hakikat kebahagiaan? Apakah ada kebahagiaan di dunia ini? Apa penyebab dan kondisinya? Apakah mungkin menwujudkannya? Apakah kebahagiaan itu sesaat atau mutlak.

Para Pemimpin

Sejatinya, apapun yang Anda inginkan dari kehidupan di dunia ini semua itu pada dasarnya ada pada diri Anda. Keinginan-keinginan yang ada pada diri Anda saat ini adalah hasil dari pilihan-pilihan Anda dalam memposisikan kebahagiaan bagi diri Anda. Contohnya; seseorang merasa puas dan bangga telah memiliki rumah dengan hasil usahanya sendiri, namun Anda pribadi mungkin belum tentu puas hanya karena memiliki rumah, mungkin Anda masih menginginkan mobil sendiri, perabotan-perabotan, atau lain sebagainya.

Mengapa seperti itu, pernahkah kita menyadarinya.? Jadi, kita boleh bersimpulan bahwa kebahagiaan itu banyak dan setiap orang memiliki standar dan kepuasan sendiri-sendiri. Benarkah seperti itu.? seandainya kita berasumsi bahwa tidak ada kategori khusus yang mengatur standar dan syarat kebahagiaan manusia, berarti wajarlah realitas yang terdapat dalam kehidupan ini. Sekarang kita bisa melihat begitu banyaknya perilaku dan tindakan kriminal, asusila, anomali, apatis, dan lain sebagainya. Sekilas kalau kita melihat secara seksama, mungkin tidak ada hubungannya dengan kebahagiaan pada diri Anda, namun coba sama-sama kita renungkan karena kita menganggap bahwa kebahagiaan itu ada banyak, jadi pastinya semua aspek-aspek lain keluar pula dari batasannya. Contoh gambarannya seperti ini; Anda berasumsi bahwa indikator kebahagiaan itu ada pada masing-masing individu, jadi hal-hal yang lain seperti kebenaran, kejahatan, kebaikan, keburukan, dan sifat-sifat yang lainnya mungkin saja indikatornya sesuai asumsi masing-masing orang. Bisa Anda bayangkan kalau keadaannya kehidupan seperti itu, apa yang akan terjadi.??.

Pada dasarnya manusia itu memiliki kemampuan ‘membedakan’ dan selalu berusaha mencari kebenaran dalam setiap aspek dari kehidupannya. Mungkin Anda bisa dengan mudah membedakan mana sifat-sifat yang baik dan mana sifat-sifat yang buruk dengan menggunakan aqal, namun bisa saja Anda masih sulit membedakan mana sifat-sifat yang pasti benar dan mana sifat-sifat yang pasti salah karena untuk membedakan hal tersebut tidak hanya membutuhkan aqal, namun juga memerlukan suatu ‘dalil’ atau dasar yang betul-betul absolut dan mutlak. Contohnya seperti ini: “secara empirik dan teruji kebenarannya bahwa pada dasarnya manusia itu memiliki kepribadian dan kepribadian-kepribadian itu tidak ada yang sama persis pada tiap-tiap orang.” Pernyataan tersebut adalah suatu contoh yang disebut dengan ‘dalil’ atau konsep (dasar) dalam menyatakan kepribadian manusia. Masalahnya adalah, apakah benar dalil itu.? apakah mutlak kebenaran dari konsep tersebut.? Jawabnya adalah “belum tentu”, mengapa belum tentu.? Karena secara mutlak, konsep tersebut belum bisa sepenuhnya di ukur dan belum bisa sepenuhnya digeneralisasi operasionalnya. Jadi, bagaimana yang disebut itu ‘dalil’ apakah tidak ada yang benar-benar mutlak di dunia ini?.

Dari penjelasan singkat ini, mungkin kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kehidupan dunia ini tidak ada yang mutlak dalam hal asumsif. Semuanya relatif, namun bukan berarti tidak ada yang mutlak dalam artian benar-benar pasti ada dalam kehidupan ini. Bahkan untuk memastikan kebenaran yang pasti benar itu, Anda wajib memilih untuk mempercayainya atau tidak mempercayainya bahwa ada ‘dzat’ yang benar-benar mutlak. Dzat itu mutlak ada, mutlak berbeda, dan mutlak menguasai seluruh semesta hingga alam pikiran kita (manusia). Apakah dzat itu, saya rasa Anda paham apa yang dimaksudkan.

“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. Al-Baqarah : 147).

Kembali kepada bahasan tentang kategori kebahagiaan itu, Anda boleh mempercayainya atau tidak bahwa kebahagiaan merupakan pencarian dan tujuan. Meski pemahaman kebanyakan manusia belum mengristalkan pada satu arti nama (kata). Namun, sebagian orang mengartikan kebahagiaan sebagai; ketenangan dan kenyamanan. Selain itu, dalam setiap pemahaman manusia telah terbayang arti kebahagiaan dengan segala definisinya.

Meski ada perdebatan mengenai inti kebahagiaan, sebagian orang mengingkarinya, dengan anggapan bahwa dunia adalah tempat yang penuh malapetaka dan penderitaan. Sedangkan sebagian lain mencitrakan kebahagiaan sebagai keadaan sesaat. Banyak manusia yang mencari sebab kebahagiaan melalui kemewahan, pangkat, kemuliaan, kepemimpinan, kekuatan, kecantikan, kedamaian, mewujudkan cita-cita, mencapai berbagai target, kesehatan, keberanian, kelezatan, hobi, kemasyuran, dan bahkan ketika Anda membaca ulasan ini, sebenarnya Anda berusaha untuk memastikannya.

Sebagian orang menyatakan bahwa kebahagiaan hanyalah kata-kata yang tidak ada kenyataannya. Orang-orang yang menganggap kebahagiaan itu ada, mereka hanyalah berfantasi dan mendustai realitas, nampak sekali mereka ini bodoh dan berkhianat. Karena mereka tidak dapat berfikir bahwa Tuhan telah menciptakan kita pada alam semesta yang luas ini dengan berbagai kebaikan, kenikmatan, dan berkah.

Dalam ajaran Islam dikatakan apabila manusia lalai memandang dirinya, niscaya dia akan menemukan dirinya itu terbentuk dari; tubuh yang kepentingannya hanyalah makan, minum, dan tambahan asupan tanpa batas; jiwa yang kepentingannya hanya untuk bersenang-senang dalam dosa dan kedurhakaan; hati yang selalu terguncang dengan kecemasan dan kesedihan; lidah yang selalu berbicara hal yang sia-sia yang melukai dan tidak dapat disembuhkan.

Seorang tokoh yang bernama ‘Tsabit bin Qarrah’ mengemukakan jalan yang dapat mencapai kebahagiaan. Ia berkata untuk mencapai kebahagiaan dibutuhkan, “ketenangan tubuh dalam sedikit makanan, ketenangan jiwa dalam sedikitnya dosa, ketenangan hati dalam sedikit kesedihan, dan ketenangan lidah dalam sedikit berbicara.

Ketenangan Tubuh dalam Sedikit Makanan. Tubuh hanyalah sebuah alat yang bahan bakarnya adalah makanan. Sesuai konsepnya bahwa bahan bakar yang wajib diberikan kepada tubuh adalah bahan bakar yang sesuai dengan porsinya. Apabila ditambahi atau dikurangi maka alat tersebut dapat diluar kendali kita dan menimbulkan malapetaka. Jadi, langkah awal mencapai kebahagiaan adalah “makan untuk hidup” bukan hidup untuk makan.

Ketenangan Jiwa dalam Sedikit Dosa. Jiwa adalah wujud yang wajib manusia kuasai, musuh utama jiwa adalah hawa nafsu, ibarat sebuah kuda, kuda itu harus dijinakkan oleh kita untuk bisa dikendalikan diperintah oleh diri (jiwa). Jiwa yang mampu Anda kuasai akan menghindarkan anda dari perbuatan keji (dosa) dan melampaui batas, senjata Anda untuk mengikat jiwa Anda adalah dengan iman dan taqwa, serta membatasi antara jiwa dan hawa nafsu. “singkirkan hawa nafsumu dan waspadalah, karena ia dapat mengendalikanmu, jika hawa nafsu mengendalikanmu, sungguh celakalah kamu”.

Ketenangan Hati dalam Sedikit Kesedihan. Hati adalah jantung perasaan dari manusia, seperti halnya jantung yang sangat penting bagi fisik, hati juga sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia secara ruhani. Menjaga hati dari kesedihan, kedukaan, kesakitan, dan penderitaan secara tidak langsung Anda telah memasuki tahap kebahagiaan di dunia. Menjaga hati dari racun dan penyakit hati dapat menumbuhkan sikap puas diri dan selalu siap menghadapi tantangan, mental Anda akan kebal dari ketakutan dan ketidakmampuan terhadap materi apa pun di dunia ini.

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).

Ketenangan Lidah dalam Sedikit Berbicara. Lidah adalah gambaran utuh seorang manusia, dikatakan bahwa seseorang itu dinilai oleh orang lain berdasarkan apa yang dia lisankan (katakan). Seorang bijak pernah ditanya, “kapan seorang pria menjadi kuat?” ia menjawab, “ketika lidahnya ingin mengucapkan kata-kata yang tidak bijaksana, tapi ia menahannya dengan segenap kekuatan dan kemampuannya.”

Ini adalah jalan kebahagiaan menurut perspektif agama, yaitu ketika tubuh dapat dicegah dari makan yang berlebihan, jiwa dapat dicegah dari perbuatan keji (dosa), hati dapat dicegah dari kesedihan dan kecemasan yang berat, sedangkan lidah dapat dicegah dari ucapan yang sia-sia, niscaya Anda akan lurus dan menjadi orang yang benar-benar bahagia.

Jadi, dapat kita simpulkan bahwa ada kebahagiaan yang benar-benar haq’ dalam dunia kita. Ketika Anda mampu bijaksana dalam memahami dan menjalani hidup, pandangan Anda terhadap dunia akan terjungkir balik ke arah kebahagiaan di dunia. Sebagaimana Socrates menyatakan bahwa :

“Berapa kali kecantikan memakan korban karena menjadi penggoda yang tidak tahu malu. Berapa kali kekuatan menipu manusia, hingga mereka binasa di jalan-jalan, tanpa daya untuk menahannya, tubuhnya yang fana menderita. Betapa banyak pribadi yang mendapat kekayaan dan kelapangan, tapi justru bahaya besar menghancurkan angan-angan kenikmatannya. Betapa banyak pribadi yang namanya terdengar dan dikenal oleh semua orang, yang mulia, tapi kemuliaan dan kepercayaan manusia kepada mereka justru menjadi faktor kehancuran mereka.”

Jika demikian, kebahagiaan bukanlah bersumber dari suatu sisi materi, tapi lebih mengarah kepada pengondisian jiwa yang terwujud pada pengendalian (kebijaksanaan) keinginan diri, hingga Anda tidak keluar dari batas kemampuan yang Anda miliki. Socrates memisalkan hal itu pada jiwanya dengan batasan yang jauh, ia membatasi keinginan-keinginannya dan memegang kendali jiwanya. Suatu ketika, Socrates pernah dihina karena memandang kebahagiaan bagi dirinya yang pada zamannya, kebahagiaan itu ditentukan oleh kekayaan dan kejayaan, namun jawaban Socrates pada masa itu tidak dapat dibantah sepenuhnya oleh para bangsawan pada zamannya :

“Aku tidak merasa terhalangi terhadap sesuatu yang aku inginkan. Mengapa Anda melecehkan makananku? Apakah itu lebih buruk dari makananmu dari sisi kesehatan atau dari sisi gizinya? Apakah karena sulit mendapatkannya? Apakah karena langka? Apakah karena terlalu mahal? Apakah Anda tidak tahu, bahwa selera tidak membutuhkan bumbu? Bukankah orang yang minum dengan lezat tidak dapat memikirkan jenis-jenis minuman yang ia tidak bisa mendapatkannya? Apakah Anda menganggap aku terus-menerus berada di rumah karena kedinginan? Atau untuk berteduh dari teriknya matahari? Atau aku tidak mampu pergi kemana yang aku inginkan karena luka di kakiku?”

Jika demikian arti kebahagiaan menurut pandangan Socrates berasal dari puas diri (Qana’ah), namun puas diri menurutnya bukan berarti lemah, ia banyak menghimbau untuk selalu aktif dan bekerja. Ia memandang bahwa kemalasan akan menjauhkan manusia dari kebahagiaan, yang juga akan menjauhkannya dari akhlak yang mulia.

“Wahai yang Maha membolak-balikkan Hati, teguhkan hatiku pada agama-Mu.” (HR. Ahmad)


Semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan kita bersama, billahi fii sabilil haq’ fastabiqul khairat, wabillahi taufiq walhidayah, wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh...!
Baca SelengkapnyaMenemukan Kebahagiaan Hidup Di Dunia