SAATNYA DAN SELAYAKNYA ANDA MENGETAHUI

Jumat, 02 Agustus 2013

Menemukan Kebahagiaan Hidup Di Dunia

KEBAHAGIAAN DALAM HIDUP DI DUNIA

Setiap manusia yang hidup di dunia, selalu menginginkan kebahagiaan. Setiap orang memiliki jenis kebahagiaan yang berbeda-beda, ada yang kebahagiaannya diukur dari berapa banyak hartanya, seberapa tinggi jabatan pekerjaannya, atau lain sebagainya dan Anda pun pasti memiliki indikator-indikator tersendiri dalam mengategorikan kehidupan yang bahagia. Jadi, apa hakikat kebahagiaan? Apakah ada kebahagiaan di dunia ini? Apa penyebab dan kondisinya? Apakah mungkin menwujudkannya? Apakah kebahagiaan itu sesaat atau mutlak.

Para Pemimpin

Sejatinya, apapun yang Anda inginkan dari kehidupan di dunia ini semua itu pada dasarnya ada pada diri Anda. Keinginan-keinginan yang ada pada diri Anda saat ini adalah hasil dari pilihan-pilihan Anda dalam memposisikan kebahagiaan bagi diri Anda. Contohnya; seseorang merasa puas dan bangga telah memiliki rumah dengan hasil usahanya sendiri, namun Anda pribadi mungkin belum tentu puas hanya karena memiliki rumah, mungkin Anda masih menginginkan mobil sendiri, perabotan-perabotan, atau lain sebagainya.

Mengapa seperti itu, pernahkah kita menyadarinya.? Jadi, kita boleh bersimpulan bahwa kebahagiaan itu banyak dan setiap orang memiliki standar dan kepuasan sendiri-sendiri. Benarkah seperti itu.? seandainya kita berasumsi bahwa tidak ada kategori khusus yang mengatur standar dan syarat kebahagiaan manusia, berarti wajarlah realitas yang terdapat dalam kehidupan ini. Sekarang kita bisa melihat begitu banyaknya perilaku dan tindakan kriminal, asusila, anomali, apatis, dan lain sebagainya. Sekilas kalau kita melihat secara seksama, mungkin tidak ada hubungannya dengan kebahagiaan pada diri Anda, namun coba sama-sama kita renungkan karena kita menganggap bahwa kebahagiaan itu ada banyak, jadi pastinya semua aspek-aspek lain keluar pula dari batasannya. Contoh gambarannya seperti ini; Anda berasumsi bahwa indikator kebahagiaan itu ada pada masing-masing individu, jadi hal-hal yang lain seperti kebenaran, kejahatan, kebaikan, keburukan, dan sifat-sifat yang lainnya mungkin saja indikatornya sesuai asumsi masing-masing orang. Bisa Anda bayangkan kalau keadaannya kehidupan seperti itu, apa yang akan terjadi.??.

Pada dasarnya manusia itu memiliki kemampuan ‘membedakan’ dan selalu berusaha mencari kebenaran dalam setiap aspek dari kehidupannya. Mungkin Anda bisa dengan mudah membedakan mana sifat-sifat yang baik dan mana sifat-sifat yang buruk dengan menggunakan aqal, namun bisa saja Anda masih sulit membedakan mana sifat-sifat yang pasti benar dan mana sifat-sifat yang pasti salah karena untuk membedakan hal tersebut tidak hanya membutuhkan aqal, namun juga memerlukan suatu ‘dalil’ atau dasar yang betul-betul absolut dan mutlak. Contohnya seperti ini: “secara empirik dan teruji kebenarannya bahwa pada dasarnya manusia itu memiliki kepribadian dan kepribadian-kepribadian itu tidak ada yang sama persis pada tiap-tiap orang.” Pernyataan tersebut adalah suatu contoh yang disebut dengan ‘dalil’ atau konsep (dasar) dalam menyatakan kepribadian manusia. Masalahnya adalah, apakah benar dalil itu.? apakah mutlak kebenaran dari konsep tersebut.? Jawabnya adalah “belum tentu”, mengapa belum tentu.? Karena secara mutlak, konsep tersebut belum bisa sepenuhnya di ukur dan belum bisa sepenuhnya digeneralisasi operasionalnya. Jadi, bagaimana yang disebut itu ‘dalil’ apakah tidak ada yang benar-benar mutlak di dunia ini?.

Dari penjelasan singkat ini, mungkin kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kehidupan dunia ini tidak ada yang mutlak dalam hal asumsif. Semuanya relatif, namun bukan berarti tidak ada yang mutlak dalam artian benar-benar pasti ada dalam kehidupan ini. Bahkan untuk memastikan kebenaran yang pasti benar itu, Anda wajib memilih untuk mempercayainya atau tidak mempercayainya bahwa ada ‘dzat’ yang benar-benar mutlak. Dzat itu mutlak ada, mutlak berbeda, dan mutlak menguasai seluruh semesta hingga alam pikiran kita (manusia). Apakah dzat itu, saya rasa Anda paham apa yang dimaksudkan.

“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. Al-Baqarah : 147).

Kembali kepada bahasan tentang kategori kebahagiaan itu, Anda boleh mempercayainya atau tidak bahwa kebahagiaan merupakan pencarian dan tujuan. Meski pemahaman kebanyakan manusia belum mengristalkan pada satu arti nama (kata). Namun, sebagian orang mengartikan kebahagiaan sebagai; ketenangan dan kenyamanan. Selain itu, dalam setiap pemahaman manusia telah terbayang arti kebahagiaan dengan segala definisinya.

Meski ada perdebatan mengenai inti kebahagiaan, sebagian orang mengingkarinya, dengan anggapan bahwa dunia adalah tempat yang penuh malapetaka dan penderitaan. Sedangkan sebagian lain mencitrakan kebahagiaan sebagai keadaan sesaat. Banyak manusia yang mencari sebab kebahagiaan melalui kemewahan, pangkat, kemuliaan, kepemimpinan, kekuatan, kecantikan, kedamaian, mewujudkan cita-cita, mencapai berbagai target, kesehatan, keberanian, kelezatan, hobi, kemasyuran, dan bahkan ketika Anda membaca ulasan ini, sebenarnya Anda berusaha untuk memastikannya.

Sebagian orang menyatakan bahwa kebahagiaan hanyalah kata-kata yang tidak ada kenyataannya. Orang-orang yang menganggap kebahagiaan itu ada, mereka hanyalah berfantasi dan mendustai realitas, nampak sekali mereka ini bodoh dan berkhianat. Karena mereka tidak dapat berfikir bahwa Tuhan telah menciptakan kita pada alam semesta yang luas ini dengan berbagai kebaikan, kenikmatan, dan berkah.

Dalam ajaran Islam dikatakan apabila manusia lalai memandang dirinya, niscaya dia akan menemukan dirinya itu terbentuk dari; tubuh yang kepentingannya hanyalah makan, minum, dan tambahan asupan tanpa batas; jiwa yang kepentingannya hanya untuk bersenang-senang dalam dosa dan kedurhakaan; hati yang selalu terguncang dengan kecemasan dan kesedihan; lidah yang selalu berbicara hal yang sia-sia yang melukai dan tidak dapat disembuhkan.

Seorang tokoh yang bernama ‘Tsabit bin Qarrah’ mengemukakan jalan yang dapat mencapai kebahagiaan. Ia berkata untuk mencapai kebahagiaan dibutuhkan, “ketenangan tubuh dalam sedikit makanan, ketenangan jiwa dalam sedikitnya dosa, ketenangan hati dalam sedikit kesedihan, dan ketenangan lidah dalam sedikit berbicara.

Ketenangan Tubuh dalam Sedikit Makanan. Tubuh hanyalah sebuah alat yang bahan bakarnya adalah makanan. Sesuai konsepnya bahwa bahan bakar yang wajib diberikan kepada tubuh adalah bahan bakar yang sesuai dengan porsinya. Apabila ditambahi atau dikurangi maka alat tersebut dapat diluar kendali kita dan menimbulkan malapetaka. Jadi, langkah awal mencapai kebahagiaan adalah “makan untuk hidup” bukan hidup untuk makan.

Ketenangan Jiwa dalam Sedikit Dosa. Jiwa adalah wujud yang wajib manusia kuasai, musuh utama jiwa adalah hawa nafsu, ibarat sebuah kuda, kuda itu harus dijinakkan oleh kita untuk bisa dikendalikan diperintah oleh diri (jiwa). Jiwa yang mampu Anda kuasai akan menghindarkan anda dari perbuatan keji (dosa) dan melampaui batas, senjata Anda untuk mengikat jiwa Anda adalah dengan iman dan taqwa, serta membatasi antara jiwa dan hawa nafsu. “singkirkan hawa nafsumu dan waspadalah, karena ia dapat mengendalikanmu, jika hawa nafsu mengendalikanmu, sungguh celakalah kamu”.

Ketenangan Hati dalam Sedikit Kesedihan. Hati adalah jantung perasaan dari manusia, seperti halnya jantung yang sangat penting bagi fisik, hati juga sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia secara ruhani. Menjaga hati dari kesedihan, kedukaan, kesakitan, dan penderitaan secara tidak langsung Anda telah memasuki tahap kebahagiaan di dunia. Menjaga hati dari racun dan penyakit hati dapat menumbuhkan sikap puas diri dan selalu siap menghadapi tantangan, mental Anda akan kebal dari ketakutan dan ketidakmampuan terhadap materi apa pun di dunia ini.

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).

Ketenangan Lidah dalam Sedikit Berbicara. Lidah adalah gambaran utuh seorang manusia, dikatakan bahwa seseorang itu dinilai oleh orang lain berdasarkan apa yang dia lisankan (katakan). Seorang bijak pernah ditanya, “kapan seorang pria menjadi kuat?” ia menjawab, “ketika lidahnya ingin mengucapkan kata-kata yang tidak bijaksana, tapi ia menahannya dengan segenap kekuatan dan kemampuannya.”

Ini adalah jalan kebahagiaan menurut perspektif agama, yaitu ketika tubuh dapat dicegah dari makan yang berlebihan, jiwa dapat dicegah dari perbuatan keji (dosa), hati dapat dicegah dari kesedihan dan kecemasan yang berat, sedangkan lidah dapat dicegah dari ucapan yang sia-sia, niscaya Anda akan lurus dan menjadi orang yang benar-benar bahagia.

Jadi, dapat kita simpulkan bahwa ada kebahagiaan yang benar-benar haq’ dalam dunia kita. Ketika Anda mampu bijaksana dalam memahami dan menjalani hidup, pandangan Anda terhadap dunia akan terjungkir balik ke arah kebahagiaan di dunia. Sebagaimana Socrates menyatakan bahwa :

“Berapa kali kecantikan memakan korban karena menjadi penggoda yang tidak tahu malu. Berapa kali kekuatan menipu manusia, hingga mereka binasa di jalan-jalan, tanpa daya untuk menahannya, tubuhnya yang fana menderita. Betapa banyak pribadi yang mendapat kekayaan dan kelapangan, tapi justru bahaya besar menghancurkan angan-angan kenikmatannya. Betapa banyak pribadi yang namanya terdengar dan dikenal oleh semua orang, yang mulia, tapi kemuliaan dan kepercayaan manusia kepada mereka justru menjadi faktor kehancuran mereka.”

Jika demikian, kebahagiaan bukanlah bersumber dari suatu sisi materi, tapi lebih mengarah kepada pengondisian jiwa yang terwujud pada pengendalian (kebijaksanaan) keinginan diri, hingga Anda tidak keluar dari batas kemampuan yang Anda miliki. Socrates memisalkan hal itu pada jiwanya dengan batasan yang jauh, ia membatasi keinginan-keinginannya dan memegang kendali jiwanya. Suatu ketika, Socrates pernah dihina karena memandang kebahagiaan bagi dirinya yang pada zamannya, kebahagiaan itu ditentukan oleh kekayaan dan kejayaan, namun jawaban Socrates pada masa itu tidak dapat dibantah sepenuhnya oleh para bangsawan pada zamannya :

“Aku tidak merasa terhalangi terhadap sesuatu yang aku inginkan. Mengapa Anda melecehkan makananku? Apakah itu lebih buruk dari makananmu dari sisi kesehatan atau dari sisi gizinya? Apakah karena sulit mendapatkannya? Apakah karena langka? Apakah karena terlalu mahal? Apakah Anda tidak tahu, bahwa selera tidak membutuhkan bumbu? Bukankah orang yang minum dengan lezat tidak dapat memikirkan jenis-jenis minuman yang ia tidak bisa mendapatkannya? Apakah Anda menganggap aku terus-menerus berada di rumah karena kedinginan? Atau untuk berteduh dari teriknya matahari? Atau aku tidak mampu pergi kemana yang aku inginkan karena luka di kakiku?”

Jika demikian arti kebahagiaan menurut pandangan Socrates berasal dari puas diri (Qana’ah), namun puas diri menurutnya bukan berarti lemah, ia banyak menghimbau untuk selalu aktif dan bekerja. Ia memandang bahwa kemalasan akan menjauhkan manusia dari kebahagiaan, yang juga akan menjauhkannya dari akhlak yang mulia.

“Wahai yang Maha membolak-balikkan Hati, teguhkan hatiku pada agama-Mu.” (HR. Ahmad)


Semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan kita bersama, billahi fii sabilil haq’ fastabiqul khairat, wabillahi taufiq walhidayah, wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh...!

Tidak ada komentar: