SAATNYA DAN SELAYAKNYA ANDA MENGETAHUI

Minggu, 08 Juli 2012

Mengenal Nilai-nilai yang Terdapat Dalam BK

Menghargai Nilai-Nilai Pribadi Klien/ Konseli
  A.    Konsep nilai-nilai pribadi
Secara umum hubungan konseling dimaknai sebagai hubungan yang bersifat membantu, artinya pembimbing berusaha membantu terbimbing agar tumbuh, berkembang, sejahtera dan mandiri. Shertzer & Stone (1981) mendefinisikan hubungan konseling sebagai: “ interaksi antara seorang dengan orang lain yang dapat menunjang dan memudahkan secara positif bagi perbaikan orang tersebut”. Selanjutnya Rogers mendefinisikan hubungan konseling sebagai : “ Hubungan seorang dengan orang lain yang datang dengan maksud tertentu”. Hubungan itu bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan, perkembangan, kematangan,memperbaiki fungsi dan memperbaiki kehidupan. Sedangkan sifat dari hubungan konseling adalah menghargai terbuka, fungsional untuk menggali aspek-aspek tersembunyi (emosional, ide, sumber-sumber informasi dan pengalaman dan potensi secara umum). Benyamin (dalam Shertzer & Stone,1981) mengartikan hubungan konseling adalah interaksi antara seorang profesional dengan konseli, dengan syarat bahwa profesional itu mempunyai waktu, kemampuan untuk memahami dan mendengarkan, serta mempunyai minat, pengetahuan dan keterampilan. Hubungan konseling yang terjadi harus memudahkan dan memungkinkan orang yang dibantu untuk hidup lebih mawas diri dan harmonis. Sofyan S. Willis (2004) menjelaskan sejumlah karakteristik dari hubungan konseling, yang dapat membedakan antara hubungan konseling dengan relasi antarmanusia biasa seperti yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Karakteristik yang dimaksud, antara lain :
1. sifat bermakna.                                                      
Maknanya adalah bahwa hubungan konseling mengandung harapan bagi konseli dan konselor, juga bertujuan, yaitu tercapainya perkembangan konseli.
2. bersifat efek.
Efek adalah perilaku-perilaku emosional, sikap dan kecenderungan-kecenderungan yang didorong oleh emosi. Efek hadir dalam hubungan konseling karena adanya keterbukaan diri ( self-disclosure) konseli, keterpikatan, keasyikan diri (self-absorbed ) dan saling sensitif satu sama lain.
3. integrasi pribadi.
Integritas pribadi menyangkut sikap yang genuine” dari kedua belah pihak (konseli dan konselor), yaitu sikap yang menunjukkan ketulusan, tanpa kepura-puraan, menampilkan keaslian diri, membuang kesombongan, arogansi dan kebohongan. Adanya ketulusan, kejujuran keutuhan dan keterbukaan.
4. persetujuan bersama.
Hubungan konseling terjadi atas persetujuan bersama,adanya komitmen bersama, bukan sebuah paksaan.
5. kebutuhan.
Hubungan konseling yang terjadi didasarkan atas faktor kebutuhan,yaitu kebutuhan konseli dalam hubungannya dengan persoalan yang tengah dihadapi. Maka hubungan konseling selalu bercorak pemecahan masalah ( problem solving).
 6. perubahan.
Tujuan hubungan konseling adalah perubahan positif yang terjadi pada diri konseli. Misalnya kemampuan konseli dalam mengatasi masalah,mampu melakukan penyesuaian diri, mampu mengembangkan diri secara optimal

   B.      Terbentuknya nilai-nilai pribadi
   C.      Keyakinan konselor terhadap hakikat manusia
B.F Skinner dan Watsan (Gerold Corey, Terjemahan E. Koeswara, 1988). Menerangkan tentang hakikat manusia : Manusia dipandang memiliki kecenderungan-kecenderungan positif dan negatif yang sama. Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budaya. Segenap tingkah laku manusia itu dipelajari. Manusia tidak memiliki kemampuan untuk membentuk nasibnya sendiri.
Virginia Satir (Dalam Thompson dan Rodolph, 1983). Memandang bahwa manusia pada hakikatnya positif, Satir berkesimpulan bahwa pada setiap saat, dalam suasana apapun juga, manusia dalam keadaan terbaik untuk menjadi sadar dan berkemampuan untuk melakukan sesuatu.
Hal pertama yang perlu diperhatikan ialah keyakinan atau pandangan konselor tentang hakikat manusia. Manusia itu pada dasarnya baik. Demikianlah konseli,yang adalah manusia, pada dasarnya baik. Harus diyakini bahwa konseli (yang adalah manusia) pada dirinya mengandung kebaikan-kebaikan yang perlu dan dapat dikembangkan. Justru tugas konselorlah membantu konseli menemukan, mengungkapkan, dan mengembangkan kebaikan-kebaikan pada diri konseli itu. Pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan yang positif. Kecenderungan yang positif itu kadang-kadang terganggu karena konseli mengalami sesuatu masalah. Dalam hal ini, sekali lagi, konselor bertugas membantu meringankan beban konseli dan membebaskannya dari gangguan masalah ini. Jika konseli terbebas dari gangguan itu, maka dasar-dasar kebaikan dan kecenderungan yang positif dapat dipastikan akan terwujud dalam bentuk-bentuk yang baik dan positif pula.
Filsafat bimbingan dan konseling bersumber dari filsafat tentang hakikat manusia. Ragam penafsiran dalam memahami hakikat manusia dapat digolongkan ke dalam tiga model. Pertama, penafsiran rasionalistis atau klasik, bersumber dari filsafat yunani dan romawi, yang memandang manusia sebagai makhluk rasional dan manusia di pahami dari segi hakikat dan keunikan pikirannya. Pandangan ini merupakan pandangan optimistik, terutama mengenai keyakinan akan kemampuan pikirannya. Kedua, penafsiran teologis melihat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan dibuat menurut aturan Tuhan. Manusia hanya akan menemukan dirinya apabila dia mampu mengakui hakikat dirinya kepada Tuhan. Penafsiran ini tidak melihat manusia dari segi keunikan pikiran atau hubungannya dengan alam. Ketiga, penafsiran ilmiah yang diwarnai ragam sudut pandang keilmuan, antara lain ilmu-ilmu fisis yang menganggap manusia sebagai bagian dari alam fisikal sehingga harus dipahami dari segi-segi hukum fisis dan biologisnya.
Ketiga penafsiran tersebut bukanlah penafsiran yang komprehensif tentang hakikat manusia. Penafsiran rasionalistis melupakan unsur kehendak yang ada pada manusia dan harapan sosial yang harus menjadi rujukan dalam proses berpikir manusia. Penafsiran teologis meletakkan manusia hanya bergantung kepada kekuatan transendental dan nilai-nilai ke-tuhanan menjadi sesuatu yang sempit dan statis karena tidak bisa dipikirkan oleh manusia. Penafsiran ilmiah hanya melihat manusia sebagai bagian kecil dari dunianya yang harus tunduk kepada hukum-hukum alam, atau manusia sebagai produk sosial belaka.
Unsur pikiran, fitrah, kehendak, kebebasan, harapan sosial, hukum alam, dan nilai-nilai transendental adalah faktor-faktor eksistensial yang melekat pada kehidupan manusia. Memahami hakikat manusia berarti memahami seluruh faktor yang disebutkan secara komprehensif dan utuh. Manusia adalah makhluk Allah Yang Maha Kuasa, yang memiliki kehendak dan kebebasan, manusia patut mengembangkan diri atas dasar kemerdekaan pikiran dan kehendak yang dilandasi keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, dalam tatanan kehidupan bersama yang tertuju kepada pencapaian kehidupan sejalan dengan fitrahnya. Kondisi eksistensial manusia mengandung makna bahwa manusia berada dalam proses menjadi menuju keberadaan diri sebagai makhluk pribadi, sosial dan makhluk Allah Yang Maha Kuasa.
Baca SelengkapnyaMengenal Nilai-nilai yang Terdapat Dalam BK