SAATNYA DAN SELAYAKNYA ANDA MENGETAHUI

Selasa, 25 September 2012

Perkembangan Peserta Didik Usia Sekolah Menengah


Perkembangan Remaja
 A.    Perkembangan Fisik
Peserta didik usia 12-19 tahun merupakan periode remaja transisi, yaitu periode transisi antara masa kanak-kanak dan usia dewasa. Pertumbuhan dan perubahan fisik sangat nyata pada peserta didik usia ini, baik laki-laki maupun perempuan. Dimensi perkembangan psikoseksual pun mengalami pematangan yang luar biasa.
Pubertas adalah waktu perkembangan fisik yang cepat, menandakan akhir masa kanak-kanak dan awal kematangan seksual. Awal pubertas wanita dan pria berada pada kisaran usia 6 sampai 7 tahun. Perkembangan hormon “ bertanggung jawab ” bagi pengembangan dari kedua karakteristik seks, baik karakteristik seks primer (primary sex characteristics, struktur yang secara langsung berhubungan dengan reproduksi) maupun karakteristik seks sekunder (secondary sex characteristics, struktur yang tidak berhubungan langsung dengan reproduksi).
Selama masa kanak-kanak, laki-laki menghasilkan hormon endrogen sama dengan perempuan menghasilkan estrogen. Pada masa pubertas, kelenjar pituitary merangsang perubahan hormon di seluruh tubuh, termasuk dalam kelenjar adrenal, endokrin, dan seksual. Waktu pubertas merupakan hasil dari kombinasi faktor genetik, lingkungan, dan kesehatan.
Perempuan umumnya mulai pubertas beberapa tahun lebih awal daripada laki-laki, sekitar usia 11-12 tahun. Peningkatan estrogen memicu badan tumbuh tinggi, pinggul melebar, payudara menjadi bulat dan besar, rambut bertumbuh pada kaki, bawah lengan, dan sekitar kelamin, labia menebal, klitoris memanjang, rahim membesar, dan menstruasi. Sekitar usia 12 atau 13 tahun perempuan mulai menstruasi, permulaan menstruasi disebut menarche, pada fase tersebut perempuan sudah siap mengandung/ hamil.
Peningkatan kadar hormon testosteron memicu masa pubertas anak laki-laki sekitar 12 hingga 14 tahun. Anak laki-laki menjadi lebih tinggi, lebih berat, dan kuat, suara dalam mereka makin tampak terdengar, bahu melebar, rambut tumbuh di bawah lengan, wajah, sekitar kelamin, dan pada bagian lain dari tubuh, testis menghasilkan sperma, dan penis serta organ reproduksi lainnya membesar. Anak remaja laki-laki juga dapat mengalami pelepasan “ semen “ pada saat tidur yang disebut emisi nokturnal (nocturnal emissions) atau mimpi basah.
Perubahan yang dihasilkan pada masa pubertas dapat berefek luas pada tubuh anak remaja. Perubahan yang drastis ini, termasuk waktu pematangan seksual, dapat menjadi sumber kecemasan dan frustrasi bagi mereka.

B.     Masalah Kesehatan
Masalah kesehatan remaja sering berkorelasi dengan status sosial ekonomi yang rendah, pola makan yang buruk, dan perawatan kesehatan yang tidak memadai, berani mengambil kegiatan berisiko, masalah kepribadian, dan gaya hidup. Tiga kemungkinan masalah kesehatan utama yaitu gangguan makan, depresi, dan penyalahgunaan zat.

1.      Gangguan Makan
Gangguan makan sering muncul akibat keasyikan dengan makanan. Keasyikan dengan makanan ini berdampak paling umum di kalangan remaja, yaitu obesitas (obesity) atau kegemukan. Obesitas disertai dengan potensi stigma sosial, tekanan psikologis, dan masalah kesehatan kronis.
Kebiasaan mengurangi makan untuk menghindari kegemukan atau obesitas pun bisa berbahaya, yaitu dapat menyebabkan anoreksia nervosa (anorexia nervosa) atau kelaparan. Anoreksia yang khas adalah model remaja yang terobsesi dengan membeli makanan, memasak, dan menyiapkan makanan, tetapi sangat sedikit makan. Dia mungkin perfeksionis dan mengalami distorsi persepsial atas bahaya kegemukan, sehingga cenderung “ kelaparan “. Langsing tapi tidak sehat, dan sebagainya.
Erat kaitannya dengan anoreksia adalah bulimia nervosa, berupa gangguan yang mengikuti pola pembersihan makan yang sudah dimakan. Setelah makan sampai kenyang, bulimia muntah, mengambil obat pencahar, atau olahraga keras untuk membakar kalori yang baru saja dikonsumsi.

2.      Depresi
Sebanyak 40% remaja memiliki masa depresi (depression), jenis gangguan mood yang ditandai dengan perasaan harga diri rendah dan tak berharga, hilangnya minat dalam aktivitas kehidupan, serta perubahan pola makan dan tidur. Depresi remaja sering disebabkan oleh perubahan hormon, tantangan hidup, atau masalah penampilan.
Konsekuensi nyata dan tragis dari depresi pada remaja adalah bunuh diri. Angka statistik menunjukkan, sekitar 13% remaja dilaporkan setidaknya sekali mencoba bunuh diri. Faktor risiko yang menyebabkan orang yang merasa putus asa untuk bunuh diri adalah “ keasyikan “ bunuh diri.

3.      Penyalahgunaan Zat
Beberapa remaja, termasuk peserta didik, menyalahgunakan zat atau obat-obatan terlarang untuk menghindari rasa sakit, mengatasi stres sehari-hari, atau untuk kepentingan “ solidaritas “ dengan rekan-rekannya. Bahkan sebagai simbol mereka telah dewasa, penggunaan alkohol dan tembakau/ nikotin menjadi “ kebiasaan “, karena memang mudah diperoleh dan relatif terjangkau.
Penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) pun sangat marak. Secara keseluruhan masih banyak anak muda merokok, minum minuman keras, dan menggunakan obat-obatan terlarang.

C.    Perkembangan Kognitif
Kebanyakan peserta didik mencapai tahap operasi formal (formal operations) versi Piaget pada usia sekitar 12 tahun atau lebih, di mana mereka mengembangkan alat baru untuk memanipulasi informasi. Titik puncak atau jatuh tempo perkembangan kognitif terjadi ketika peserta didik sudah memasuki usia dewasa dan jaringan sosial makin berkembang. Pengalaman duniawi memainkan peran besar dalam mencapai tingkat operasi formal, sebagian peserta didik sesungguhnya cerdas, namun kurang berprestasi (underachiever), akibat tidak mengoptimalkan diri.
Banyak hasil studi yang menunjukkan bahwa kemampuan rasional yang abstrak dan kritis berkembang melalui proses pendidikan dan pembelajaran, serta pelatihan secara berkelanjutan.

1.      Pengembangan Intelektual
Menurut Robert Sternberg, kecerdasan terdiri dari tiga aspek atau dikenal dengan triarkis teori (triarchic theory), yaitu : componentil, experiential, dan contextual. Komponensial adalah aspek kritis, pengalaman adalah aspek berwawasan, dan konstektual adalah aspek praktis.
Kecerdasan komponensial (componential Intelligence) yaitu bermakna kemampuan untuk menggunakan strategi pemrosesan informasi internal ketika peserta didik mengidentifikasi dan berpikir tentang pemecahan masalah dan mengevaluasi hasil.
Kecerdasan eksperiensial (experiential Intelligence) adalah kemampuan mentransfer pembelajaran secara efektif untuk memperoleh keterampilan baru. Kecerdasan eksperiensial adalah kemampuan untuk membandingkan informasi lama dan baru, dan untuk menempatkan fakta-fakta bersama dengan cara-cara yang asli.
Kecerdasan konstektual (contextual Intelligence) adalah kemampuan untuk menerapkan kecerdasan praktis, termasuk memiliki kepedulian sosial, budaya, dan konteks historis. Individu yang kuat dalam kecerdasan kontekstual dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan mereka, dapat berubah ke lingkungan lainnya, dan bersedia memperbaiki lingkungan mereka bila diperlukan.

2.      Pengembangan Moral dan Penilaian
Lawrence Kohlberg, mengedepankan suatu teori perkembangan moral manusia dengan tiga tingkat yang terdiri dari enam tahap.
·         Tingkat pertama, moralitas prakonventional (preconventional morality), harus dilakukan dengan alasan moral dan perilaku didasarkan pada aturan-aturan dan takut dihukum (tahap 1) dan kepentingan non-empatetik (nonempathetic) diri sendiri (tahap 2).
·         Tingkat kedua, moralitas konvensional (conventional morality), mengacu pada kesesuaian dan membantu orang lain (tahap 3), serta mematuhi hukum dan menjaga ketertiban (tahap 4).
·         Tingkat ketiga, moralitas pascakonvensional (postconventional morality), terkait dengan sifat relatif menerima dan berubah dari peraturan dan perundang-undangan (tahap 5), serta mengarahkan perhatian hati nurani dengan hak asasi manusia (tahap 6).
Sebagian pengembangan moral peserta didik tergantung pada munculnya empati, rasa malu, dan rasa bersalah. Internalisasi moralitas dimulai dengan empati atau kemampuan untuk memosisikan diri dengan “ rasa sakit atau suka cita “ orang lain. Sebagai bukti bahwa peserta didik meningkat kemampuan kognitif-nya, mereka mampu menimbang konsekuensi dari sudut kepentingan pribadi dan kepentingan orang-orang di sekitar mereka.
Sebuah pemikiran alternatif atas teori atau model Kohlberg adalah dari Carol Gilligan yang mengedepankan pemikiran baru bahwa laki-laki dan perempuan menunjukkan dengan jelas alasan moral yang sama layak, tetapi muncul dalam bentuk yang berbeda.
Fenomena yang mirip dengan perkembangan moral adalah perkembangan agama (religious development). Prekonvensional versi Kohlberg bermakna egosentris fundamentalistik yang bersifat hitam-putih dan berpikir berdasarkan hukum agama dan regulasi atau peraturan. Konvensional versi Kohlberg bermakna sesuai dengan tradisi dan standar agama yang diterima. Kohlberg pascakonvensional bermakna relativistik atau berpikir abu-abu, pengakuan dari kontradiksi agama, Interpretasi manusia, dan sifat aturan yang berubah-ubah.

3.      Pencarian untuk Identitas : Usia 12-19 Tahun
Developmentalis secara tradisional melihat masa remaja sebagai “ masa badai “ dan stres psikososial, sebuah beban yang memang harus dilalui laksana bantalan menuju kedewasaan. Para developmentalis cenderung melihat remaja sebagai waktu yang positif bagi peluang pencarian identitas dan pertumbuhan.
Freud menjelaskan selama tahap genital, perkembangan seksual peserta didik selayaknya manusia dewasa pada umumnya, mereka telah mencapai kematangan, sehingga tumbuh kemampuan secara sehat untuk mencintai dan bekerja, khususnya bagi yang telah berhasil berkembang melalui tahap-tahap sebelumnya.
Sebaliknya, Erikson mencatat bahwa konflik utama yang dihadapi peserta didik berusia remaja adalah munculnya salah satu dari apa yang disebut sebagai identitas versus kebingungan identitas (identity versus identity confusion). Mereka harus bergulat dengan isu seperti memilih karir, kuliah, agama, aspirasi politik, dan lain-lain.
Peneliti Carol Gilligan dan Deborah Tannen menemukan perbedaan antara laiki-laki dan perempuan dalam mencapai identitas diri. Gilligan telah mencatat bahwa perempuan utamanya mencari “ keintiman hubungan “. Sedangkan laki-laki mengejar kemandirian dan prestasi. Deborah menjelaskan perbedaan ini sebagai akibat, cara sosialisasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Perubahan hormon pubertas mempengaruhi emosi peserta didik yang berusia remaja, hal ini nyata dalam perilaku mereka seiring dengan munculnya fluktuasi emosional dan seksual, muncul pula kebutuhan peserta didik berusia remaja untuk mempertanyakan otoritas dan nilai-nilai sosial, serta batas kelayakan dalam hubungan yang ada.
Adat istiadat masyarakat dan harapan masa remaja sering kali menahan rasa ingin tahu, di satu sisi, dorongan dan tekanan rekan untuk mencoba hal baru dan berperilaku dengan cara tertentu juga sangat kuat. Muncullah tarik-menarik dari keinginan peserta didik remaja untuk meningkatkan tanggung jawab pribadi dan kemerdekaan diri dari orang tua mereka, bersama dengan hasrat yang terus tumbuh sangat kuat dalam dimensi seksualitas.

D.    Orientasi Seksual dan Seksualitas
Peserta didik pada usia sekolah menengah berusaha secara total menemukan satu identitas, berupa perwujudan orientasi seksual (sexual orientation), tercermin dari hasrat seksual, emosional, romantis, dan atraksi kasih sayang.
Pada tahun 1940 dan 1950-an, Alfred Kinsey dkk menemukan bahwa orientasi seksual manusia ada di sepanjang kontinum. Kinsey berspekulasi bahwa kategori dari orientasi seksual tidak begitu berbeda. Singkatnya, Kinsey dkk berkesimpulan bahwa dilihat dari ilmu perilaku heteroseksualitas, homoseksualitas, dan biseksual kesemuanya merupakan orientasi seksual yang terpisah namun berhubungan.
Penyebab dari heteroseksualitas, homoseksualitas, dan biseksual belum benar-benar terungkap oleh para peneliti. Teori orientasi seksual itu bisa dikaji dari dimensi biologis, psikologis, sosial, interaksional. Teori fisiologis tradisional berpandangan bahwa homoseksualitas dipicu oleh terlalu sedikit testosteron pada laki-laki dan terlalu banyak testosteron pada perempuan, ketidakseimbangan hormon prenatal, kesalahan biologis kehamilan karena stres ibu, perbedaan dalam struktur otak, serta perbedaan genetik dan pengaruh. Freudian percaya bahwa homoseksualitas berkembang sebagai respons terhadap hubungan keluarga yang bermasalah, seorang ibu yang terlalu sayang dan dominan pada satu sisi dan ayah yang pasif, atau kehilangan satu atau kedua orang tua pada sisi lain.
Peneliti telah menemukan bukti bahwa faktor pembelajaran sosial (sosial-learning) dapat memunculkan pemahaman tertentu mengenai homoseksualitas. Para pendukung teori interaksional (interactional theory) meyakini bahwa homoseksualitas merupakan orientasi seksual yang berkembang dari interaksi kompleks atas faktor-faktor psikologis, sosial, biologis. John Money menjelaskan bahwa tindakan hormon kehamilan pertama pada embrio dan otak janin menciptakan kecenderungan fisiologis menuju orientasi seksual tertentu.
Aktivitas “ seksual “ peserta didik remaja banyak diwarnai oleh pikiran bahwa mereka sedang jatuh cinta kepada satu orang secara khusus untuk waktu yang lama, tetapi mereka (peserta didik) tidak memiliki tingkat kematangan yang diperlukan untuk mempertahankan “ hubungan intim “ dan penuh kasih. Kebanyakan dari orang muda meredakan ketegangan seksual melalui masturbasi, yang pada usia ini dipicu atau termotivasi oleh perilaku erotis.

E.     Kenakalan Remaja
Tekanan teman sepermainan atau rekan yang sangat selama masa remaja, kadang-kadang begitu banyak sehingga remaja terlibat dalam tindakan-tindakan antisosial berupa kenakalan remaja (juvenile delinquency). Ada dua kategori kenakalan remaja yaitu :
1.      Anak-anak yang melakukan kejahatan dan dihukum sesuai dengan aturan hukum, seperti perampokan, pencurian, dll.
2.      Anak-anak yang melakukan tindak pidana yang biasanya tidak dianggap kriminal, seperti membolos, berkelahi, olok mengolok, dll.

Remaja laki-laki biasanya lebih banyak melakukan aksi-aksi kenakalan dibandingkan dengan remaja perempuan. Kemungkinan peserta didik usia remaja yang menjadi remaja nakal lebih banyak ditentukan oleh kurangnya pengawasan orang tua dan disiplin ketimbang status sosial ekonomi.
Pemberontakan remaja dapat tumbuh dari ketegangan antara “ keinginan remaja untuk memenuhi kebutuhan secara segera “ dan “ desakan orang tua agar menunda keinginan itu “. Para orang tua yang tidak mampu melakukan pengawasan dan menyosialisasikan “ disiplin diri “ dan “ menakar kemampuan diri “ biasanya akan menimbulkan masalah bagi anak-anaknya dikemudikan hari.
Guru juga semestinya ikut mempersuasi anak agar sebisa mungkin menghindari tindakan “ lebih besar pasak daripada tiang “, atau pun tindakan kenakalan remaja yang lainnya.
Baca SelengkapnyaPerkembangan Peserta Didik Usia Sekolah Menengah